Adik Suamiku 18 Mas Arif menatap ibu dengan penuh amarah, tapi aku mencoba untuk membuatnya tetap tenang. Meskipun apa yang dikatakannya benar, tetap saja kita tidak boleh mengambil tindakan gegabah. Apalagi sampai menatap ibu dengan tajam, terkesan seolah kita adalah anak durhaka yang suka menghardik ibu kandungnya sendiri. Aku tidak terbiasa seperti ini. Meksipun dulu orang tua mendidikku tanpa kasih sayang, aku tidak pernah memberikan tatapan tajam. Aku cukup sadar kalau tugas kita berbakti kepada orang tua itu atas perintah Allah. Jadi jangan melihat bagaimana sifat orang terhadap kita. Begitupun ketika kita ingin berbagi kepada orang lain, jangan sampai hanya orang baik saja yang kita beri karena dia selalu memberikan apapun yang dia punya kepada kita. Tidak seperti itu. Jika kita ingin berbagi, niatkan karena Allah atau Tuhan. Jangan lihat bagaimana sifat orang tersebut, karena urusannya memang dengan Allah. Bukan manusia. "Sebaiknya kita sholat subuh dulu, Mas." Aku ber
Adik Suamiku 19 Via langsung keluar dari rumah ketika aku mengucapkan beberapa kata tadi. Sudahlah, lagipula apa yang aku katakan memang benar adanya, tuh. Kalau saja dia punya harga diri meskipun sedikit, dia tidak akan pernah mendekati laki-laki yang sudah menjadi suami orang lain. "Apa yang kau lakukan?" Ibu berteriak sambil berusaha untuk mendorongku, tapi Mas Arif langsung menahan serangannya. "Jangan bela dia, istrimu ini sudah keterlaluan!" teriaknya kepada Mas Arif. "Loh, apanya yang keterlaluan? Apa yang dilakukan istriku itu benar. Kalau bukan Ibu yang cari gara-gara lebih dulu, mana mungkin Lily bisa berbicara begitu." Mas Arif membalas kata-kata ibu dengan nada biasa. Alhamdulillah, jangan sampai kita terbawa emosi. Karena aku tidak mau perkataan atau perilaku kita menyakiti ibu. Apapun yang ibu lakukan, ya sudahlah. Kita tidak berhak mengeluarkan kata-kata yang membuat hatinya sakit. "Apanya kamu bilang? Sepertinya matamu sudah rabun. Apa kamu tidak lihat Via sampai
Adik Suamiku 20 Setelah kepergian mereka berdua, kini aku dan Salwa kembali bisa tenang. Namun, baru saja aku membantu Salwa untuk tidur, ketukan pintu kembali terdengar. "Mama ke sana sebentar, ya. Kakak tunggu di sini." Aku menaikkan selimutnya dan anakku hanya mengangguk. Aku berjalan ke arah pintu dan menyingkap sedikit gorden untuk melihat siapa yang datang. Ternyata teman-teman mengajinya Salwa. "Wa'alaikumussalam, ada apa, ya?" Aku membuka pintu sedikit. "Assalamu'alaikum, Mama Salwa. Kami mau pergi ke rumah neneknya Salwa. Salwanya mana?" Salah satu dari mereka bicara. Wah, bahaya ini. Cucianku masih di dalam mesin cuci dan lantai belum disapu pel. Tapi aku tidak mungkin juga meninggalkan Salwa sendirian di rumah itu. Meksipun bersama teman-temannya, tidak jadi jaminan Salwa aman. "Bentar, ya. Kalian tunggu saja dulu di rumah neneknya Salwa. Nanti Salwa nyusul," jawabku setelah berpikir cukup lama. Ketika anak-anak hendak pergi, mereka memanggil Salwa yang ternyata sud
Adik Suamiku 21 Salwa selalu menolak apapun yang mereka berikan. Jadi aku bisa bernapas lega. Bahkan teman-temannya Salwa tidak berhenti memujinya melebihi pujian anak Rina yang sedang ulang tahun. Akan tetapi karena anak-anak berteman dengan baik, jadi anaknya Rina sama sekali tidak masalah. Tidak seperti ibunya yang sudah seperti cacing kepanasan. Sebelum acara selesai, Salwa sudah meminta pulang. "Huh, dasar menantu yang pemalas. Bantu di rumah mertuanya saja gak mau." Ibu langsung mengeluarkan kata-kata sindiran. "Kenapa? Ibu mau aku bantu atau aku bayarkan orang untuk bantu?" Aku bertanya tanpa nada angkuh sama sekali karena aku sedang membawa motor keluar dari parkiran. "Kamu sombong banget, ya. Kamu pikir kami tidak bisa bayar pembantu, hah? kamu pikir yang kaya hanya kamu dan kami miskin?" Rina dan Ratih langsung mendekat ke arahku dan Salwa. Berhubung ada anak-anak yang melihat, tidak mungkin aku bertengkar di sini. "Oh, jadi kalian tidak terima dan mau menantangku?
Adik Suamiku 22 Seharian ini aku dan Salwa mulai hidup normal, tidak ada lagi yang mengganggu dari pagi sampai sore ini. Lebih tepatnya dari semalam. Meksipun kami sangat bersyukur, tapi kami juga heran dengan sikap orang-orang yang baru pertama kali membiarkan kami hidup dengan tenang. Andai saja dari dulu seperti ini, mungkin aku tidak akan selalu mengalami sakit kepala. Ah, mungkin aku terlalu serakah. Padahal aku hanya perlu menutup mata dan telinga saja. Hanya saja terkadang mereka memang berbuat hal yang membuatku kecewa, yaitu melibatkan Salwa, dan juga ibu mertua. Semenjak bapak nimbrung di grup keluarga waktu itu, tidak ada lagi yang mengirimkan pesan sampai sekarang. Alhamdulilah. "Assalamu'alaikum." Mas Arif langsung masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. "Wa'alaikumussalam warahmatullah." "Hari ini aman?" Mas Arif bertanya dengan wajah berseri. "Aman, Mas." Aku menjawab cepat dengan wajah berseri juga. "Tadi Mas langsung minta Surya untuk antar motor, b
Adik Suamiku 23 Mas Arif dan aku tertawa kecil ketika melihatnya berlari seperti itu, begitupun Salwa. Jujur saja sangat lucu. Padahal selama ini dia tidak takut dengan apapun, termasuk Dandy. Makanya barusan kami sangat terkejut ketika wajahnya langsung pucat. "Emang Mas telpon Dandy?" tanyaku sambil membawa Salwa ke pangkuan. "Enggak. Tadi Mas cuman tes saja, iseng. Eh, gak taunya malah bekerja." Mas Arif menjawab tanpa dosa. Kami kembali tertawa ketika mendengarnya. Bisa-bisanya Mas Arif kepikiran cara untuk membuatnya takut, tapi aku juga tidak kalah kaget dengan sikap Ratih ini. Biasanya juga dia tidak kenal takut, kenapa sekarang jadi takut sama Dandy, seperti ada yang mencurigakan. Esoknya sebelum berangkat bekerja, Mas Arif langsung memberikan nomor ponsel temannya. "Kabari Mas ke nomor ini kalau kulkasnya sudah mau diantar ke rumah, ya," pesannya. "Lain kali kalau ada yang pinjam uang sama kamu, jangan dikasih juga, ya. Kecuali mereka memang tidak punya beras, uang jaja
Adik Suamiku 24 Sejauh ini rekening Mas Arif memang sangat besar, tidak mungkin aku pinjam dalam beberapa tahun ke depan kalau bisa mengelolanya dengan sangat baik. Maka dari itu aku tidak terima ketika dia bilang ekonomi keluargaku sedang turun. Perkataan Mas Arif beberapa tahun lalu pun melintas di pikiran. "Meskipun Mas hanya punya bengkel kecil dan tua, tapi akan Mas usahakan untuk memberikan apapun yang Adek inginkan. Mau itu kuliah, buka usaha, buat rumah mewah, apapun itu. Mas hanya mau satu, yaitu Adek bahagia hidup dengan Mas," pintanya kala itu. Bukan hanya hatiku yang meleleh, tapi juga orang-orang yang ada di samping kita pun langsung terdiam sambil menatapnya haru. Alhamdulillah sampai sekarang kita memang tidak pernah kekurangan uang, cuman ya itu, masalahnya ada sama ibu mertua, dan adik-adiknya. Ratih langsung pergi ke rumah ibu dengan berjalan kaki. Aku pun langsung buru-buru melihat keadaan di dapur. "Bu, kulkasnya sudah terpasang sempurna. Mau dicek dulu?" tan
Adik Suamiku 25 Bukannya takut, aku malah ingin tertawa mendengar perkataannya yang terlalu percaya diri. Memangnya apa yang bisa dia lakukan pada Salwa? Apa dia pikir Mas Arif selaku ayahnya akan diam saja? Lucu. Bapak melemparkan tatapan tajam dengan sikap Ratih. "Sudah kubilang kamu jangan terlalu memanjakan anak-anak, jadinya mereka melunjak," ucapnya pada ibu. "Kapan aku memanjakan mereka. Mana ada." Ibu mengelak. Daripada ikut campur masalah bapak dan ibu, aku pamit pulang untuk memindahkan isian kulkas ke kulkas yang baru. "Tuh orangnya datang!" Ibu-ibu tetangga sudah berkumpul di warung depan. Aku sudah tidak kaget lagi jika menjadi topik utama pembicaraan mereka. "Permisi, Bu." Berhubung aku enggan mendengarkan omongan yang tidak penting, aku hanya mengatakan permisi sambil lewat. Salwa pun hanya aku tuntun dan kami langsung masuk ke dalam rumah. Rencananya. Akan tetapi, aku kembali mengurungkan langkah ketika mendengar tawa mereka yang renyah setelah aku mengatakan