"Harta harus dibagi dua."
"Kamu lucu banget! Harta siapa yang kamu bagi dua?" Aku tertawa sinis. Mungkin ia buta harta.Tak berapa lama lagi, nama om Arga di panggil oleh penjaga apotik. Segera bergegas pergi meninggalkan Ilham tanpa ucapan perpisahan.Aku berjalan menuju UGD rumah sakit. Rita dan tante Vivi duduk tak jauh dari UGD. Malas sekali berpapasan dengan benalu.Tante Vivi melangkah dan menghalangi jalanku. Aku mengangkat dagu dan dadaku."Ternyata kau masih hidup," ucapnya seakan-akan menginginkanku mati.Tante Vivi belum tahu kalau Rico tertangkap dan saat ini berada di penjara bawah tanah. Sengaja, tak memberitahukannya agar semua rencanaku berjalan lancar."Alhamdulillah, aku masih melihat dunia dengan para benalu yang masih terus menempel di sekitarku berdiri." Aku bersiap-siap menguatkan hati dan telinga."Bagus kalau kamu masih hidup. Setidaknya bisa melihat kami menjadi miliader.""SyukurlaKuinjak rem tiba-tiba dan menoleh ke arah bangku samping. Laki-laki tua ini benar-benar menyebalkan. Suka menghina dan tak mau kalah sama perempuan. Kubuka pintu mobil dan menutupnya kencang sehingga bunyinya terdengar nyaring. "Hei Intan, tunggu! Kamu mau ke mana? Intan!" teriaknya membuka jendela.Rasanya muak dengan lelaki tua itu. Sikapnya menyebalkan. Aku tak peduli dengan panggilannya. Hingga suara klakson terdengar berkali-kali. "Wey, minggirin mobilnya," teriak salah satu pendengendara yang berada di belakang mobil Om Arga..Aku berhenti di tengah-tengah jalan raya. Tak peduli dengan kondisi yang terjadi saat ini . Mulut lelaki itu menyakiti hatiku. Jika tak tahu apa-apa jangan berucap."Intan! Om gak bisa jalan. Intan tolong!" pintanya membuka jendela mobil. Suaranya sedikit berteriak hingga aku jelas mendengar. Aku berdiri di pinggir jalan menunggu taksi lewat. Om Arga berteriak memanggil nam
"Vivi adalah tetangga kami. Ia tinggal di ujung gang. Dia juga sering bermain ke rumah. Temannya Mba Elsi.""Apa dia memang seperti benalu?""Benalu?" tanyanya mengernyit heran."Benalu yang selalu menumpang dengan orang lain dan menghisap harta dari orang yang ditumpanginya.""Bukannya benalu itu tumbuhan?""Hadeh, Om. Lahir di zaman apa, sih? Itu istilah untuknya atau tepatnya julukan.""Dulu, Vivi anak dari orang paling kaya di rt kami. Tapi, semua itu berubah ketika orang tuanya meminjam uang kepada rentenir. Kehidupan mereka kacau balau.""Apa ada kejadian buruk yang kalian alami?""Ada, dia itu wanita dengki dan iri hati. Apa yang dimiliki Mba Elsi harus dimiliki olehnya bagaimana caranya. Mba' ku tak percaya kalau Vivi melakukan semua dan fitnah palsu untuknya.""Bunda, terlalu baik. Ia tak mudah percaya dengan omongan orang.""Apakah tante Vivi mengenal Om David?""Tentu saja,
"Kamu sudah mencari kado buat pernikahan Om David, Cher?" tanyaku di depan pintu masuk gedung milikku. "Tentu sudah Bos, jangan khawatir. Semuanya beres tinggal selangkah lagi." Mengedipkan mata kanan. "Buat kado spesial buat mereka. Kalau perlu kado yang sangat besar agar mereka terlihat bahagia," saranku menambahkannya."Oke bos, semuanya beres. Sesuai keinginan Bu Bos." Mengedipkan mata sebelah kanan untuk kedua kali. "Jangan lupa isinya untuk mereka. Biar heboh!""Sudah pasti itu sesuai keinginan Bos.""Aku suka kerja kamu Cher. It' s very good.""Kayak iklan saja. Ha ... ha ...." Cheri tertawa meledekku. "Kira-kira warna bungkusnya apa?" tanya Cheri setelah tawanya mereda. "Berikan saja warna yang cerah agar terlihat menyilaukan mata mereka.""Bagaimana kalau warna emas atau silver?""Boleh juga warna emas yang agak terang.""Siap Bos. Laksanakan!"Aku masuk ke dalam ruangan kerja.Melangkah perlahan dan mendudukkan bongkok ke kursi. Membuka laptop yang berada di atas meja. Me
"Benarkah, sepertinya akan seru.Sayang sekali aku tak bisa menyaksikannya.""Tenang saja Om, aku akan mengirim video kepada kamu.""Sepertinya bakal jadi kejutan yang tak bisa terlupakan. Bagaimana kalau kamu melakukan kejutan yang lebih dahsyat lagi?""Apa itu Om?""Kemarilah Om akan beritahu!"Aku mendekati Om Arga yang bersandar pada ranjang. Kakinya masih diperban ia membisikkan sesuatu di telinga kananku.Ucapannya membuatku terkejut dan aku setuju sekali idenya sangat luar biasa."Bagaimana caranya Om?""Tenanglah. Om akan memberitahumu. Kamu kirim semuanya ke ponsel saya. Saya akan mengerjakan selanjutnya.""Oke, aku akan lakukan sesuai perintah Om. Idenya luar biasa.""Tentu saja cantik. Kita lihat saja nanti. Ini pembalasan Om untuk dirinya yang telah menyakiti Elsi sehingga dia menjadi gila.""Baiklah Om, tunggu saja kirimanku." Mengedipkan mata sebelah kanan. Bukan maksud mengodanya. Perlakuan itu muncul tiba-tiba.Selama di dalam kamar aku dan om Arga saling berbicara dan b
Kupinggirkan mobil ke swalayan terdekat rumah mama. Aku ingin memberikan sesuatu kepada Bayu. Beberapa jajanan kesukaannya.Tak sengaja aku bertabrakan dengan seorang pria. Aroma tubuh lelaki itu membuatku mendongakkan kepala."Mas Ilham!""Intan!"Kami berdua sama-sama terkejut."Tumben kamu belanja di sini? Apa gak ada swalayan di sana?" tanyaku curiga."Aku ingin bertemu anakku," ucap mas Ilham santai. Matanya memandangku dengan rindu."Silakan hubungi aku dulu, kalau mau bertemu Bayu. Aku gak mau kejadian dulu terulang lagi.""Apakah aku harus perlu izin untuk menemui anakku?""Tentu saja. Kemarin kamu membuatnya takut.""Maaf, aku janji gak akan melakukan lagi."Menatap matanya dengan iba. Penampilannya berubah drastis. Entah apa pekerjaannya sekarang.Mas Ilham menelusuri penampilanku dari atas hingga bawah. Matanya tak berkedip sedikitpun.Sekara
"Tumben ada tamu," tanyaku. Biasanya Mama tak akan mengizinkan orang bertamu pukul delapan."Oh itu. Mama Memang mengundangnya datang ke sini biasanya kalau malam minggu dia akan datang ke sini menemani Bayu bermain."Setiap malam minggu datang ke sini? Apa dia ngapelin Mama," candaku kepada wanita yang selalu menerimaku apa adanya."Ya, bukan malam minggu saja. Kadang-kadang baru dua hari kesini sudah datang lagi lihat aja tuh mainan banyak seperti itu dari dia." Tunjuk mama ke arah tumpukan mainan."Dia itu siapa?" Mengernyit heran."Aduh, Intan masa kamu lupa. Sebentar Mama bukakan pintu dulu. Kasihan dia menunggu." Beranjak dari duduknya. Melewati mas Ilham dan Bayu.Mama membukakan pintu, seorang pemuda dengan senyum manis mencium tangan Mama takzim. Aku terperangah dengan sosoknya. Apa yang dia lakukan di rumahku.Kenapa dia selalu ada di hadapanku. Apa lelaki itu mengikuti langkah kakiku. Baru saja bertemu tadi so
Hari pernikahan Om David tiba, saat yang paling aku nantikan adalah hari ini. Hari untuk bersenang-senang. Rasanya tak sabar untuk sampai di tempat tersebut. Semua posisi sudah siap. Semoga kejadian ini akan membuat Om David jera. Aku berdiri di antara kumpulan para tamu undangan dengan memakai masker agar mereka tak mengenaliku.Para tamu undangan sudah memenuhi gedung ini. Sepertinya akan menjadi tempat bersejarah yang tak terlupakan bagi kedua mempelai pengantin. Akad nikah pun segera di mulai. Kuambil ponselku dalam tas. Merekam kejadian yang akan terjadi selama proses ijab qobul mereka.Mengambil gambar dengan jarak aman agar om David atau siapapun tak melihatku. "Saya nikahkan Amira bin Sutoyo dengan mas kawin seperangkat alat salat di bayar ...."Satu ... dua ... tiga ...Duar!Aku tertawa dibalik masker. Kado yang kuletakkan dekat mereka meledek. Isi di dalamnya berhamburan mengenai mereka.Memang tak bahaya atau menyakiti orang lain. Tapi, isi di dalam kado itu sangatlah m
"Tunggu! Kalian tak malu melawan wanita?" sindirku menatap rendah.Mereka bertiga berhenti dan saling pandang."Ha ... ha ... memangnya kamu mau melawan berapa?"Kupanggil teman-temanku yang bersembunyi di balik tembok. Cheri, Sherly dan aku berdiri berhadapan dengan mereka."Ternyata, kalian komplotan.""Kenapa, elu takut?" sindir Cheri. Ia hanya mengenakan celana pendek dan sepatu kat."Ngelawan wanita, kecil. Bagaikan upil." Merendahkan kaum wanita. Ia tak tahu siapa kami sebenarnya."Kita buktikan dulu sebelum elu rendahin wanita!" Sherly terlihat geram."Kita bawa aja mereka ke Bos," ucap salah satu dari mereka."Coba saja kalau berani!" Aku menyeringai. Saat ini yang aku tunggu. Kapan lagi seperti ini.Mereka menghampiri kami. Pria bertopi merah tersenyum mengoda." Lebih baik kita ke ranjang saja," ucapnya merayuku dengan mengedipkan mata."Menjijikkan!"Ia hendak menyentuh kepalaku dengan lengan kanan. Aku menarik dan memutar ke belakang tubuhnya dengan gesit. Menjambak rambut