Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita
Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T
Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap
Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se
"Intan kenalkan ini calon istri Mas," ucapnya tanpa beban sedikit pun. Tangan mereka saling bertautan. Melihat hal itu hatiku terasa teriris sembilu. Namun, berusaha untuk tegar dan tenang. Aku melirik ke arah mereka yang berdiri tak jauh dariku. Sengaja memilih acara talk show yang lucu agar hatiku tak terluka parah."Intan, tolong kecilkan suaranya. Ini Rita calon istri Mas," bentaknya merasa tak dianggap. "Oo ...."Adegan Sule dan Andre di televisi membuatku tertawa hingga air mata ini menetes.Mas Ilham mematikan televisi dan berdiri tepat di depanku. Sorotan matanya menyeramkan dan bagian rahang telihat mengeras. "Intan, aku sedang bicara denganmu. Ada tamu malah nonton TV," sungutnya kesal. Melirik wanita yang berdiri tak jauh dari kami. Aku mendongakkan wajahku dan berdiri tepat di depannya. Wajah mas Ilham terlihat memerah. Memutar bola mata malas dan melewati tubuhnya tanpa berucap. "Intan, minggu depan aku akan menikahinya," teriaknya di belakang tubuhku. Mungkin ia kes
"Hancurkan mereka semua atau bom saja rumahnya. Aku tunggu kalian di basecamp,"ucapku di ponsel rahasia yang selalu aku simpan di tempat aman. Aku yakin mereka mengerti perintahku. Suamiku tak tahu siapa aku sebenarnya. Aku geram melihat keegoisannya. Tak memikirkan perasaan dan hati kami. Enam tahun menikah, ia tak tahu apa-apa. Lelaki itu hanya tahu aku selalu berada di rumah sebagai ibu rumah tangga. Istri penurut yang selalu memuja suaminya. Apapun yang dilakukan suami, aku akan mendukung kecuali menikah lagi. Melakukan semua yang selalu menyenangkan hatinya.Dulu, kami adalah pasangan yang serasi bagaikan amplop dan perangko, ke mana-mana selalu menempel. Mas Ilham yang masih setia selalu menyanjungku, istri tercintanya. Melakukan hal romantis.Awal menikah sangat indah. Bayangan yang selalu terlihat jelas di kepala. Tapi, itu dulu kini semua sudah berubah begitu juga diriku. Benar pepatah bilang. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula godaannya. Menarik napas dalam da
Aku berdiri dihadapan makam papaku. Memandang gudukan tanah bertaburan bunga warna-warni. Rumah tempat terakhir milik papa selalu bersih dan terawat. "Pa, lihatlah! Menantu pilihan papa telah menghianatiku. Aku pikir kami akan bahagia, ternyata kebahagian itu hanya sesaat. Ia seorang b*jingan." Hanya senyum yang hanya bisa aku berikan. Lelaki tua yang telah terkubur di dalam tanah, ia yang memaksaku untuk menikah dengan mas Ilham. Tak menyalahkannya hanya saja aku kecewa dengan keegoisan beliau ketika masih hidup. Aku akan merebut kembali apa yang telah ia berikan kepada mantu kesayangannya. Wanita yang telah mendampinginya selama hidupnya hanya mendapatkan rumah dan uang bulanan dari perusahaan. Air mataku tak dapat kutahan. Kehidupanku ternyata menyakitkan." Sejak pertama kali bertemu aku tak mencintainya. Setelah rasa itu tumbuh dengan cepat. Ia menikahi wanita lain." Isakku semakin kencang. Aku kecewa namun, tak menyalahkan papa karena memilih mas Ilham. Ponselku berdering d
Aku tersenyum puas melihat mereka yang panik dari layar laptopku. Empat cctv mini tersembunyi di ruang keluarga, ruang tamu, ruang kerja, dan juga kamarku. Tante Vivi Sepertinya mengamuk. Ia tak betah berdiam diri di dalam rumah. "Kamu Ilham, kenapa juga mengundang orang untuk hadir di pernikahanmu. Kalau begini kita semua yang kebingungan. Bagaimana kalau salah satu dari kita positif," makinya. Mas Ilham diam tak menjawab. "Iya, nih. Bikin repot. Udah gak ada pembantu lagi. Siapa yang masak dan beres-beres rumah ini. Aku gak mau dan gak sudi." Lisa, adik Rita menimpali. "Pokoknya saya gak mau tahu. Kamu harus menanggung semuanya!" "Tenang, Ma. Mas Ilham akan tanggung jawab. Sekarang ada M-banking dan delivery. Semua pasti gak kelaparan. Iya, kan Sayang." "Kalian mau makan apa?" tanya mas Ilham. Ia mengeluarkan ponselnya. Di saku celana. "Mama mau bubur ayam jamur, ice capucino dan tomyum seafood untuk nanti siang jangan lupa tambah udon. Pesan di Oishi suki saja. Di sana rasan