FAZER LOGINMenyaksikan pengkhianatan suami dan sahabatnya, Almira tidak meledak dalam amarah, tidak menangis, tidak mengungkapkan luka yang mengoyak hatinya. Ia hanya tersenyum. Tapi bukan senyuman kepasrahan, melainkan itu adalah senyuman seseorang yang sedang merancang sesuatu… sesuatu yang akan mengubah segalanya. Dalam senyap, ia mengatur langkahnya dengan cermat, mengawasi pergerakan mereka, menyusun akhir yang tak mereka bayangkan. Suami dan sahabatnya merasa aman, menikmati kemenangan dalam bayang-bayang kebohongan mereka. Mereka tidak tahu, permainan yang sebenarnya baru saja dimulai. Namun, sebuah rencana sebesar ini tidak pernah tanpa resiko. Akankah Almira benar-benar keluar sebagai pemenang, atau justru terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri?
Ver maisPintu apartemen terbuka perlahan, suara gesekan antara engsel dan kayu terdengar pelan, hampir seperti peringatan akan badai yang akan datang. Aiman melangkah masuk, melepaskan jasnya dengan gerakan lelah. Seharian bekerja menguras tenaganya, membuat tubuhnya terasa berat, dan pikirannya hanya menginginkan satu hal, tidur dan ketenangan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring menghantam udara. "Jadi gini caramu pulang? Diam aja, seolah gak ada yang perlu dibahas?" Aiman menghela napas panjang, meletakkan tasnya tanpa menoleh. Dadanya terasa sesak, bukan karena kelelahan, tapi karena tahu percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik. "Lia, aku capek." ucapnya, suaranya lebih sebagai permohonan daripada pernyataan. Tapi Lia tidak terpengaruh, "Aku juga capek, Bebz! Capek nunggu kamu ngelakuin sesuatu! Kamu pikir rumah itu bakal balik sendiri kalau kamu cuma duduk manis?" Aiman menutup matanya sejenak, berusaha mencari sedikit kesabaran yang masih tersisa.
Siang itu, mobil Almira terhenti di depan kedai kopi. Jam tangannya menunjukkan pukul 11:45, lima belas menit lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Tak masalah, lebih baik menunggu daripada tergesa-gesa. Almira memesan cappuccino dan duduk di sudut ruangan, mengamati setiap orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar mendekat. Lia muncul dengan ekspresi penuh emosi, matanya menyala tajam, dan tanpa membuang waktu, ia langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Almira. "Kamu gila, ya?!" suara Lia meluncur tanpa basa-basi, nadanya tinggi, tajam. Tanpa menoleh, Almira tetap tenang, hanya meraih cangkirnya dan menyesap sedikit sisa cappuccino di dalamnya. "Siapa yang gila?" jawabnya datar, seolah tidak tertarik untuk memasuki perdebatan yang sudah ia duga akan terjadi. Lia, yang baru saja duduk di hadapannya, tampak kehilangan kesabaran dalam sekejap. "Kamu! Kenapa kamu jual rumah itu?! Apa kamu nggak kepikiran kalau aku bakal tinggal di s
Suasana malam itu terasa begitu sunyi, hanya diiringi suara hembusan angin yang sesekali menggetarkan tirai jendela. Aiman melangkah masuk, wajahnya terlihat lelah, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik, beban yang tak terlihat, yang menggantung di pikirannya seperti awan mendung yang tak kunjung pecah. Lia yang sejak tadi duduk di sofa langsung menoleh begitu melihat Aiman memasuki ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, ekspresinya penuh antusias. "Gimana, bebz? Udah selesai? Almira sudah keluar dari rumah itu?" tanyanya dengan mata berbinar. Aiman tidak menunjukkan banyak reaksi. Langkahnya tetap terjaga, tanpa memperlambat sedikit pun. Dengan suara datar, ia menjawab singkat, "Sudah." Jawaban itu seolah terlalu biasa, terlalu ringan dibandingkan besarnya keputusan yang baru saja terjadi. Namun, Lia tidak peduli. Baginya, jawaban itu cukup untuk membuatnya melompat dari duduknya, mengikuti Aiman yang kini menuju kamar. "Kapan kita pindah
Aiman memandang rumah itu sejenak, jendela-jendela tertutup rapat, tetapi lampu teras masih menyala, memberi sedikit kehidupan di tengah keheningan malam. Ia menghembuskan napas panjang, meraih gagang pintu mobil, lalu melangkah keluar. Langkahnya mantap, tetapi pikirannya penuh tanda tanya yang belum terjawab. Seharusnya, ini tidak perlu terjadi. Seharusnya, Almira tidak perlu melakukan hal sejauh ini untuk meninggalkan semuanya. Tetapi ia tetap melangkah. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia menekan bel. Detik demi detik berlalu, terasa lebih lambat dari biasanya. Pintu pun akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Bu Ami di belakang pintu. Wanita itu berdiri tegak, memandang Aiman dengan ekspresi yang sulit ditebak, tidak sepenuhnya dingin, tetapi juga tidak hangat seperti dulu. Ada jeda beberapa detik sebelum Aiman akhirnya berkata, "Malam, Bu. Almira ada?" suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap kata yang akan keluar harus diper


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.