Share

7. Serpihan Hati

Salwa tersentak. Matanya membulat, menangkap sepasang manik yang menatapnya dengan cemas. Jemarinya Salman terangkat hendak mengusap wajahnya, tetapi refleks tangannya menampiknya. Sontak Salman terkejut, begitu juga dengan dirinya. 

“Maafkan aku,” ucapnya sambil berpaling. Lukanya kini kian bertambah. Seumur hidupnya berusaha menjadi wanita yang taat pada suaminya. Lalu tiba-tiba berani melawan merupakan musibah baginya. Yang membuatnya semakin terluka, kini ia mempunyai anggota tubuh yang kadang sulit dikendalikannya. 

Semua bermula karena cintanya telah hancur. Cinta pengendali segalanya. Perbedaan menjadi dapat dimaklumi. Cinta dapat meredam emosi. Cinta dapat menghilang kabut dalam rumah tangga. Cinta membuat semuanya membuat berat menjadi ringan. 

Kini, cinta itu telah berkeping. 

Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan menu itu? Belum lagi perbedaan selera warna, hobi, kebiasaan bahkan cara berpikir. 

Bagaimana ia bisa menghadapi semua keadaan di esok hari? Ia tidak yakin iming-iming surga dapat membuatnya bertahan.

Ia menenggelamkan wajah ke bantal meredam deru tangisnya. Tangisnya semakin sulit dikendalikan ketika Salman menaruh kepalanya di pangkuan. “Maafkan aku. Maafkan aku," ucapnya  nyaris tak berbunyi. 

“Abi yang seharusnya minta maaf,” bisik Salman sambil menciumi rambutnya. Sesal tentu saja menyelimuti perasaan Salman. Hatinya hancur melihat keadaan Salwa dan dirinyalah penyebabnya. Naif sekali. Sekarang jelaslah bahwa dirinya hanyalah pahlawan kesiangan.

Salwa semakin menenggelamkan kepala mendengar permohonan maaf suaminya. Apa artinya permohonan maaf? Semua telah terjadi. Cintanya terlanjur hancur. Sekarang apa yang harus dilakukannya dengan hati yang hancur? Mampukah ia mengumpulkan serpihan-serpihan hati menjadi utuh? Mungkin waktu bisa mengumpulkan semuanya, tetapi tidak akan seperti semula. 

‘Dibanding meratapi nasib, lebih baik waktu anti digunakan untuk mengobati hati dan jangan mengungkit kesalahan suami, karena itu akan membuat hatimu semakin hancur. Banyak bersyukur akan membuat hati sedikit lebih dan ikhlas,’ ucap Silmi saat itu. 

“Umi kenapa nangis?” tanya Salsabila dengan wajah meringis. 

Salwa terkesiap. Ia segera bangun sambil mengusap wajahnya. “Tidak, Sayang. Umi cuma sedikit tidak enak badan.”

Salman membantu merapikan rambutnya yang berantakan. 

“Kenapa wajah umi merah?” Salsabila sudah duduk di samping ayahnya. 

“Umi cuma sakit. Salsa hari ini mau kan ke rumah nenek dulu? Atau sama Ammah di pondok? Supaya Umi bisa istirahat. Salsa mau kan?” 

Salsabila mengangguk. "Salsa mau sama Ammah di pondok.”

“Baiklah kalau begitu.” Salman beralih ke Salwa. Kembali tangannya terangkat, mengelus rambutnya dengan lembut. “Umi izin libur saja ya.”

Salwa mengangguk. 

“Umi mau makan apa? Biar aku belikan nanti di jalan. In sya Allah.”

*** 

Salwa berusaha memaksa diri beraktifitas. Diam hanyalah membuat hatinya semakin nelangsa. Saat Salman datang dari mengantar Salsabila, ia sedang di dapur membuat telur mata sapi. Salam Salman hanya dijawabnya dari dapur, tanpa merasa harus menyambutnya. 

 “Bikin apa? Bukannya tadi aku bilang akan membelikan makanan?” tanya Salman sambil meletakkan makanan yang baru saja dibelinya. Ia mengambil mangkuk dan piring dari lemari, lalu menuang sayur ke mangkuk, sedang ikan ke piring. 

Salwa hanya menjawab dengan senyuman dipaksakan. Ia meletakkan telur mata sapi buatannya ke dalam piring lalu menaruh ke atas meja.  Saat ditanya mau dibelikan apa, ia menyerahkan kepada Salman. Namun belakangan, ia tidak yakin apakah Salman akan membelikan makanan sesuai seleranya. Ia tidak ingin insiden bubur terulang lagi. Sungguh sangat menyiksa, perut ingin memuntahkan isi, tetapi tidak ada yang  bisa dikeluarkan. 

“Pagi-pagi sudah ada jual sayur masak?” tanyanya sambil memperhatikan isi mangkuk.

Salman mengangguk sambil memeluknya dari belakang. Ia meletakkan dagunya di leher Salwa. “Pas kebetulan tadi baru buka. Maafkan Abi. In sya Allah, tidak akan beli bubur lagi.”

Salwa mengernyit. Ia merasakan tubuhnya bereaksi. Ya. Ia mengakui, kalau dirinya sangat merindukan laki-laki itu. Andai itu dulu, ia akan berbalik lalu memeluk erat. Kali ini, gengsi menahannya. Ia takut, kalau kerinduannya tidak berimbang dengan Salman. Tentu akan menambah luka lagi. 

“Tidak apa. Entah kenapa tadi perutnya tiba-tiba mual. Tunggu sebentar.” Ia berusaha melepaskan dua tangan yang bertautan di pinggangnya, tetapi kedua tangan itu semakin mengerat. “Aku mau mengambil piring buat tempat nasi. Abi sudah makan belum?”

Salman melepaskan pegangannya. Namun, tanpa disangka tiba-tiba badan Salwa terpaling dan langsung tenggelam dalam pelukan Salman. 

“Aku sangat merindukanmu,” bisik Salman. 

Kalimat yang sering membuatnya melayang kini berubah rupa. Fakta yang baru didapatkan pagi ini, perasaannya tidak sepenuhnya lagi percaya pada ucapan Salman. 

“Bagaimana mungkin Abi merindukanku. Sedang selama tiga hari dia selalu menamani. Barang baru, tentu memberikan sensasi baru,” ucap Salwa nada bergelombang. 

Salman semakin mengeratkan pelukannya. “Jangan bilang begitu. Bagaimanapun dia orang baru, aku perlu beradaptasi dengannya. Sedangkan kamu, sudah menjadi belahan jiwaku. Sehari saja tidak bertemu, betapa hati ini sangat tersiksa.”

Salwa berdecak. Mengapa ia merasa Salman menjadi seorang penggombal. Ia melepaskan diri dari pelukan Salman. “Aku mau mengambil piring.”

Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status