“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.
“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali.“Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu.“Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa.“Tapi jangan khawatir, aku sa“Menurutmu Ummi bagaimana mengenai poligami?” Deg. Salwa merasakan debaran hebat di dadanya. Lebih dari itu, ia pun merasakan tubuhnya juga mulai bergetar. Ia tahu, bukan tanpa alasan suaminya bertanya demikian. Ia menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya. Berharap gejolak dalam dirinya sedikit bisa tenang. “Tergantung niatnya. Jika untuk memuaskan nafsu, ini sangat tercela. Poligami bukan sekadar urusan perut. Lapar makan, lalu dibuang. Kalau hanya untuk urusan begini, apa bedanya kita dengan hewan? Niat untuk agama pun, tentu harus dipikirkan matang-matang. Jika tidak mempunyai pondasi yang kuat, alih-laih memberi hidayah, malah kita yang tenggelam,” ucap Salwa panjang lebar. Bagai bendungan air yang baru saja dibukanya setelah sekian lama ia tutup. Terdengar napas berat Salman. Ia mengeratkan pelukannya di bahu Salwa. Sesaat ia mencium ubun-ubun istrinya. “Bagaimana menurutmu dengan Jamilah?”***Di dalam kamar mandi Salwa menumpahkan segala sesak yang terpendam sehari
"Aku takut sekali, Tante! Bagaimana jika Tante tidak membukakan pintu untukku?!” Tangis gadis itu semakin nyaring, tetapi tertelan suara guntur yang menggelegar. Sekilas cahaya putih memperlihatkan duka mereka pada semesta. “Haira, kita masuk dulu!” ***Salwa membawa Haira ke kamar putrinya. Terlihat Salsabila tertidur pulas. Haira tersenyum melihat gadis kecil yang berusia 6 tahun itu. Melihat Salsabila ia teringat kecelakaan yang akhirnya mempertemukan mereka. Secara tiba-tiba saja ia langsung jatuh cinta pada Salwa. Saat itu ia marah pada ibunya karena ingin menikah lagi. Kehilangan seorang ayah sudah menjadi pukulan baginya. Haruskah ia kehilangan lagi seorang sosok ibu gara-gara ibunya jatuh cinta lagi? Dengan perasaan kalut ia mengendarai motor milik ibunya. Mau kemana? Ia pun tidak tahu. Tanpa direncana motornya melaju di daerah sekitar Siringan, salah satu taman kota yang menjadi tempat peristirahatan orang-orang di sela kejenuhan. Tiba-tiba seorang anak kecil berlari ke
Jamilah tersentak, dikejutkan oleh ketukan nyaring dan beruntun. Salman yang tidur di sampingnya ikut terkejut. “Ma! Haira hilang!”Mata Jamilah membelalak. Sesaat ia saling bersitatap dengan suaminya, lalu meloncat dari ranjang. “Jamilah, kenakan pakaianmu!” seru laki-laki yang baru saja menikahinya. Jamilah tersadar badannya tanpa mengenakan sehelai kain pun. Secepat kilat ia menyambar handuk piyama yang tergantung di dinding lalu mengenakannya sambil berjalan. Anak pertamanya mondar-mandir dengan telepon di ruang tengah dengan ponsel di telinga. “Bagaimana bisa hilang? Kapan kamu terakhir melihatnya?” tanya Jamilah sambil mengikat tali handuk piyamanya. “Seharusnya aku yang tanya sama Mama!” Haikal keburu menutup mulutnya begitu melihat ayah sambungnya berdiri di belakang ibunya. Ia mendekati ibunya. “Ma, aku tidak akan memaafkan Mama, kalau Haira kenapa-napa!” ancam Haikal dengan wajah berapi-api.Jamilah termundur. Hampir saja tubuhnya limbung andai tidak segera disangga su
Seketika cairan bening dari matanya menetes. [Saat ini hak istri barumu. Bersikaplah adill. Janganlah menghubungiku. Percayakan diriku dan Salsa pada Allah]***Mata Salwa membesar menyaksikan pemandangan indah di depan matanya. Haira gadis yang ia kenal pertama kali mengenakan hoodie dengan celana jeans pendek di atas paha telah berubah menjadi manis dan anggun. “Tante, jangan memandangku begitu! Aku kan jadi malu,” ucap Haira tersipu. Ia menunduk, menatap tubuhnya yang sekarang berbalut gamis milik Salwa dengan sedikit kepanjangan. “Kamu cantik sekali, Haira. Tante benar-benar kaget v dibuatmu.”Haira merengut. “Benar, Tante?! Menurut Tante, Haira cantikan mana dengan pakaian Haira biasanya?" Sesaat Salwa terdiam. Ia perlu waktu untuk memilah ucapan supaya tidak memaksakan kehendak, tetapi bisa menyentuh Haira “Selera orang berbeda, Haira. Kalau menurut Tante sih yang ini lebih cantik, anggun dan dewasa. Namun, satu hal yang ingin Tante sampaikan pada Haira. Allah yang memberi
Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang dan mencari surga yang lain?” “Astagfirullah …. Salwa, jangan coba berpikir tentang perceraian! Ana tidak akan bilang cerai itu perkara halal yang dibenci karena anti tau soal itu. Tapi pikirkan anak anti, Salsabila. Dia masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah.”Salwa menghempaskan napas. “Ana pun memikirkan itu. Tapi apa ana terus bisa bersikap baik pada Salman dengan kondisi hati yang sudah hancur? Ketidakharmonisan orang tua juga akan mempengaruhi perkembangan anak-anak.” Giliran Silmi yang menghempaskan napas. “Anti benar.” Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Bagaimana kalau anti fokuskan untuk mengobati hati anti? Siapa tahu itu membuat langkah anti sedikit lebih ringan.”“Mengobati hati? Silmi, luka yang diduakan itu berdarah-darah, membusuk bahkan bernanah. Setiap saat luka itu menguarkan aroma tidak nyaman sehing
Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke dada Salman. “Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” *** Setelah Salman pulang, Jamilah segera menelpon Haikal agar menjemput adiknya. Ia langsung memukul bokong Haira begitu sampai di rumah. “Gadis nakal!" “Aaa ... sakit, Ma!” teriak Haira sambil berusaha menghindar dari ibunya. "Ke mana saja kamu berapa hari ini, ha? Tidak tahu malu!”Haikal langsung berlari menjauhkan adiknya dari ibu mereka. “Ma!”“Haikal, kamu jangan membela dia. Ini gara-gara kamu, dia jadi manja!” seru Jamilah, sambil berusaha menarik badan Haira, tetapi Haikal terus menghalanginya. “Tidak tahu malu?!” teriak Haira. “Bukannya Mama yang tidak malu, merebut suami orang?”“Haira, diam!” tegur Haikal.“Benar 'kan, Kak?! Mama menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga 'kan? Apa itu tidak termasuk tidak malu?!” “Haira, umurmu sudah 16 tahun, seharusnya kamu bisa membedakan mana yang
Salwa tersentak. Matanya membulat, menangkap sepasang manik yang menatapnya dengan cemas. Jemarinya Salman terangkat hendak mengusap wajahnya, tetapi refleks tangannya menampiknya. Sontak Salman terkejut, begitu juga dengan dirinya. “Maafkan aku,” ucapnya sambil berpaling. Lukanya kini kian bertambah. Seumur hidupnya berusaha menjadi wanita yang taat pada suaminya. Lalu tiba-tiba berani melawan merupakan musibah baginya. Yang membuatnya semakin terluka, kini ia mempunyai anggota tubuh yang kadang sulit dikendalikannya. Semua bermula karena cintanya telah hancur. Cinta pengendali segalanya. Perbedaan menjadi dapat dimaklumi. Cinta dapat meredam emosi. Cinta dapat menghilang kabut dalam rumah tangga. Cinta membuat semuanya membuat berat menjadi ringan. Kini, cinta itu telah berkeping. Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan me
Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan? ‘Banyak bersyukur akan membuat hatimu sedikit lega dan ikhlas,’ ucapan Silmi kembali terngiang. Ia berusaha melenturkan dirinya. Memberontak tidak ada gunanya. Kenyataannya, Salman punya hak atas dirinya. Siapa sangka, di saat ia merelakan diri, Salman melepaskan ciumannya. Matanya terbuka. Jari jemari Salman mengusap wajahnya. “Maafkan aku. Aku janji tidak akan memaksamu.” Mulutnya tak berucap, bahkan air matanya pun seakan bekerjasama. Mengungkapkan segala rasa tanpa bunyi. “Aku telah melakukan banyak kesalahan dan mungkin tidak termaafkan. Namun, beri aku kesempatan untuk mengobati hatimu. Ya.” Salwa mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Salman. Salman kembali memajukan wajahnya, tetapi tubuhn