LOGINHinaan harus diterima Danisha Manuela tepat setelah ia menikah oleh suami yang sudah dipacarinya selama tiga tahun karena foto-foto panas Danisha telah beredar di keluarga besar. Tidak peduli ketidaktahuan Danisha tentang fitnah itu, Bian, sang suami, langsung menceraikan Danisha di tempat. Danisha terlantar di jalan dan kehilangan kesadaran hingga seorang pria asing menyelamatkannya.
View More"PLAK! " Suara tamparan itu bergema di malam pernikahan Danisha dan Bian. Sebuah awal yang mengerikan untuk kisah cinta yang seharusnya penuh kebahagiaan.
"Brengsek!" teriak Bian. Wajahnya merah padam, amarah membara. "Kenapa baru sekarang kebusukanmu terbongkar, hah?" Sebuah fitnah keji menghancurkan pernikahan mereka. Danisha, yang baru saja mengucap janji suci pernikahan setelah tiga tahun berpacaran, kini dituduh telah berselingkuh. Foto-foto yang dilemparkan Bian menjadi bukti yang tak terbantahkan. Padahal mereka baru kembali dari hotel tempat acara, harusnya ini menjadi malam indah untuk mereka, dan menikmati malam pertama seperti pengantin pada umumnya. Tapi ini malah bertengkar. BRUK!!! Kali ini Bian mendorong Danisha sampai tubuh ramping itu menghantam meja kopi yang ada di pojok ruangan. Seketika Danisha terdiam, keningnya berdarah, gaun pengantinnya ternoda. Ia tak berdaya menghadapi tuduhan yang tak berdasar itu dari suami. "Coba kau lihat sendiri! Apa aku harus diam saja melihat istri yang baru kunikahi pernah tidur dengan pria lain, hah?" Antara syok, sakit, dan juga bingung, Danisha merangkak ke depan sepatu Bian, lalu memunguti satu per satu foto yang tadi dilempar oleh pria itu. "A-apa ini?" Saat dilihat, alangkah terkejutnya Danisha ketika melihat seorang wanita sedang berbaring di tempat tidur tanpa busana. Lalu si pria mengambil gambar dari atasnya. Beberapa adegan lain sangat tidak nyaman untuk dilihat. Danisha pun segera melempar foto-foto itu ke lantai, merasa ngeri dengan wajah wanita yang sangat mirip dengannya itu. "A-aku tidak tahu! Aku sungguh tidak tahu! A-ku tidak pernah berfoto seperti itu! Ak-aku ...." "Pembohong!" Belum sempat Danisha menjelaskan, Bian langsung menendang tubuh Danisha beberapa kali sampai wanita itu menjerit kesakitan. "Dasar kau wanita pembohong!" "Aaaa! Ampun! Ampun, Sayang! Aku tidak melakukan hal itu. Aku tidak melakukannya, sungguh ..." jerit Danisha penuh dengan ketakutan. Danisha pun mencoba menahan kaki panjang yang memakai sepatu kulit berwarna hitam yang terus menendangnya itu. Ia memeluk kaki Bian di lantai, lalu berbicara dengan pelan. "Sayang, dengarkan dulu! Itu ... foto itu, aku sungguh tidak tahu! Aku tidak pernah tidur dengan pria lain. Aku selalu menjaga kesucianku hanya untukmu. Percayalah!" Danisha pun mendongak, menatap suami dengan wajah yang nampak kotor karena darah terus mengalir dari kening. Berharap Bian mengerti dan mau mendengarkan penjelasannya. "Halah! Wanita murahan! Tadi kakakmu bilang di telepon, kalau ini bukanlah hal yang aneh. Bahkan kau pernah aborsi saat SMA. Sekarang, Ayah, ibu, dan kakakmu sudah tidak peduli lagi terhadapmu. Mereka malu punya anak murahan sepertimu!" balas Bian sambil menghempaskan tangan Danisha dari kakinya. Detik berikutnya, ia menginjak jari kecil di lantak dengan sepatu kulit. Seketika jeritan memenuhi seisi kamar yang sudah berantakan. Semua anggota keluarga Bian yang masih berkumpul di lantai satu pun mendengar jeritan itu. Mereka segera naik ke atas dan menggedor pintu kamar Bian. Kalau sudah marah, Bian selalu hilang kendali. Ia selalu membabi buta tanpa memikirkan siapa yang sedang dia sakiti. "Bian! Apa yang terjadi? Kenapa istrimu menjerit-jerit seperti itu?" teriak Maria sambil menggedor pintu. "Keluarlah! Biar kita bicara di ruang keluarga!" sambung pamannya dari balik pintu kamar. Semua anggota keluarga sudah tahu kalau Bian sedang marah pada istrinya. Bian mengadu terlebih dulu pada keluarga sebelum akhirnya dia naik ke lantai dua dan melampiaskan amarahnya pada Danisha. *** Di ruang keluarga yang nampak ramai karena masih ada saudara-saudaranya yang jauh datang untuk menghadiri pernikahan Bian—sedangkan ayah Bian sudah meninggal beberapa tahun yang lalu—Danisha dibawa ke ruangan itu dan dilihat oleh semua orang. "Duduk!" ucap Bian sambil melepaskan tangan Danisha dengan kasar. Belum sempat bokongnya menyentuh sofa, tiba-tiba asbak kaca melayang ke arah Danisha dan menghantam dahi yang sebelumnya sudah terluka. Brak! "Ah!" Seketika pecahan kaca berserakan di lantai. Danisha pun terdiam, terkejut dengan serangan yang tiba-tiba dilakukan oleh ibu mertuanya. Sedangkan dirinya tidak sempat untuk menghindar. "Bagus kau, ya, lonte gila! Kau merasa dirimu cantik, tidur dengan pria lain, lalu menikah dengan putra tunggalku! Sampai dunia ini hancur pun, aku tidak akan memaafkanmu!" maki Maria dengan napas yang terengah karena marah. "Bu!" Danisha memberanikan diri berbicara sambil menahan sakit di kepalanya. "Apa Ibu pernah memeriksa kebenaran foto itu? Apa Ibu yakin, semua itu asli? Apa Ibu sudah siap menerima konsekuensi jika foto-foto itu tidak benar?" Ia tidak tahu lagi harus bagaimana membela diri di depan semua orang. Fitnah keji itu telah membuat keningnya terluka dua kali. Dan sekarang, keningnya sangat sakit, rasanya kepalanya akan pecah. "Kau berbicara konsekuensi denganku? Yang ada, kau yang harus menerima konsekuensi atas apa yang kau lakukan, Danish!" jawab Maria sambil bangkit berdiri. Maria ingin menjambak rambut menantunya dan membenturkannya ke tembok agar otaknya menjadi encer dan dia mengakui kesalahannya. Namun rencananya langsung dicegah oleh Baron—adik Maria—yang bekerja di kantor sebagai wakil Maria. "Ckckck, Bian! Kau memacari wanita murahan ini selama 3 tahun. Tapi di belakangmu dia malah tidur dengan pria lain! Mau ditaruh di mana muka keluarga kita kalau berita ini sampai tersebar ke luar?" cibir Baron dengan senyum sinis sambil memperhatikan tubuh indah Danisha yang dibalut dengan gaun pengantin seksi yang terbuka di bagian atas. "Ya, benar! Kau salat dari mana wanita murahan seperti itu!" timpal keluarga yang lain. "Dasar wanita murahan! Kurung dia di kamar! Suruh dia mengakui perbuatannya! Bila perlu, ceraikan dia sekarang juga! Aku tidak sudi putra tunggalku menikahi wanita murahan sepertimu," teriak Maria sambil berkacak pinggang. Danisha tak berdaya. Ia sudah tidak ada kekuatan untuk membela diri. Semua orang menyerangnya, semua orang menyudutkannya. Mau berkata jujur pun, itu tidak ada gunanya lagi. Sekarang, ia hanya bisa pasrah menerima nasib. Padahal dulu, Danisha dan Bian saling mencintai, menikah pun memang karena cinta. Tapi sekarang, Bian menyeretnya, membawa Danisha ke kamar belakang tanpa perasaan. "Renungkan semua yang telah kau perbuat! Aku tidak akan membuka pintu sampai kau mengaku dan meminta maaf!" "Ah, ya, satu lagi!" Bian menambahkan, "Setelah apa yang kau lakukan terhadapku, aku tidak mungkin menjadikanmu sebagai seorang istri! Kita bercerai! Dengar itu baik-baik!" Setelah itu dia pergi.Hari-hari telah berlalu, hujan tipis-tipis mengguyur kota malam itu. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalan, membuat suasana sendu. Wihaldy duduk di kursi kemudi mobilnya, menatap kosong ke depan. Sejak tiga minggu terakhir, hidupnya terasa hampa. Ia kembali mengikuti aturan ayahnya, kembali mengikat diri pada Jane, kembali menjadi putra Mahendra yang patuh. Tiba di rumah orang tuanya, begitu melangkah masuk, suara Tuan Wilhem langsung menyambutnya dari ruang tamu. “Dari mana saja kau, Haldy?” suaranya berat, penuh wibawa, namun juga curiga. Wihaldy berhenti, menundukkan kepala sejenak. “Ada urusan!” “Urusan? Atau kau menemui wanita itu lagi?” Wilhem meletakkan koran di meja, menatap putranya dengan sorot tajam. Jantung Wihaldy berdegup keras. Sekilas wajah Danisha terbayang di wajahnya. Seperti biasa, setiap malam ia mengikuti wanita itu ke tempat kerja, melihatnya masuk ke salah satu ruangan dan keluar setelah beberapa jam. Setelah itu, dirinya pun langsung pulang
Malam turun perlahan, menutup kota dengan cahaya neon dan keramaian. Di depan cermin, Danisha menatap bayangan dirinya. Riasan tipis menutupi sisa sembab di matanya. Gaun sederhana yang dipilihkan Stefia kembali melekat di tubuhnya, memberikan kesan anggun meski hatinya masih penuh luka. “Cantik,” suara Stefia terdengar dari balik pintu kamar. “Kau sudah siap?” Danisha membuka pintu. Stefia berdiri dengan balutan dress merah menyala, rambutnya ditata rapi. Senyumnya penuh percaya diri, seakan dunia malam adalah panggung tempat ia bersinar. “Aku… aku masih merasa aneh, Stef,” bisik Danisha lirih. “Tapi aku akan coba!” Stefia menepuk bahunya. “Tidak apa-apa! Kau tidak sendirian. Ingat, aku selalu ada di sampingmu.” *** Mereka tiba di gedung karaoke mewah yang sama. Lampu-lampu neon berkelip, suara musik berdentum samar dari dalam. Begitu masuk, aroma parfum bercampur alkohol langsung menyambut. Bagi Danisha, dunia ini masih asing. Ia merasa seperti terlempar ke dalam realit
Siang itu, apartemen terasa begitu hening. Matahari menyorot masuk lewat celah tirai, tapi sinarnya tidak mampu menghangatkan hati Danisha yang dingin. Ia duduk di sofa, memeluk lutut, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Suara presenter di layar bergerak-gerak, tapi otaknya tak menangkap apa pun. Hanya ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Sejak semalam, ia sudah mencoba menelepon, mengirim pesan, bahkan menunggu sampai hampir fajar. Namun nomor itu tak pernah aktif. Tak ada balasan. Tak ada kabar. Seolah lelaki itu menghilang dari permukaan bumi. “Apa aku melakukan kesalahan?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air matanya menggenang, tapi Danisha berusaha menahannya. Ia sudah terlalu sering menangis. Ia takut kalau air mata itu tak akan ada habisnya. Namun semakin ditahan, semakin perih rasanya di dada. Ia berdiri, melangkah gontai menuju balkon. Kota terlihat ramai dari lantai dua puluh apartemennya. Orang-orang berjalan, kendaraan lalu lalan
Pagi itu udara di rumah besar keluarga Mahendra begitu sejuk. Embun masih menempel di dedaunan taman yang terawat rapi, sementara sinar matahari perlahan menerobos kaca jendela besar ruang makan. Seisi rumah seakan tahu bahwa badai yang sempat mengguncang keluarga itu akhirnya sudah reda. Tuan Wilhem, kepala keluarga Mahendra, duduk di kursi utama meja makan panjang dengan wajah riang yang jarang ia tunjukkan. Koran harian terbuka di tangannya, sesekali ia menghela napas puas. Baginya, ketertiban dan kepatuhan anak-anaknya adalah hal terpenting, bahkan lebih penting dari perasaan mereka. Di seberangnya, Jane duduk anggun dengan gaun rapi warna gading. Rambut hitam panjangnya ditata gelombang lembut, wajahnya terlihat manis seperti biasa, namun tatapan matanya menyimpan kebahagiaan yang menusuk. Senyum tipis di bibirnya tak pernah lepas sejak semalam. “Om,” panggil Jane lembut, suaranya seperti madu, tapi ada tekanan terselubung di baliknya. “Terima kasih sudah memberikan kepercayaa
Di malam hari, Danisha duduk di sebuah kafe remang bersama teman baiknya. Wajahnya dihiasi riasan tipis namun matanya masih menyimpan duka. Di depannya, Stefia menepuk tangannya. “Sha! Kau harus kuat! Dunia ini keras, tapi kau tidak boleh menyerah,” ucap Stefia dengan penuh rasa khawatir. Danisha sudah menceritakan semuanya, dari mulai masalah di kantor sampai dengan kondisinya saat ini. Stefia pun sedikit syok, tidak menyangka hidup teman baiknya akan rumit setelah beberapa waktu keduanya tidak bertemu. Tadi sebelum pulang kerja, Danisha sudah memberikan surat pengunduran dirinya pada Syam. Awalnya Syam tidak menerima, namun keputusan Danisha sudah dipertimbangkan matang-matang. Itu terbaik untuk Syam dan perusahannya. “Aku tidak tahu harus ke mana lagi, Stef! Aku kehilangan segalanya! Semuanya kacau gara-gara aku!” Danisha tersenyum getir. Stefia menatapnya serius. “Kalau begitu ikut aku! Tempatku memang bukan dunia yang bersih. Tapi di sana, setidaknya kau bisa hidup. S
Suasana di ruang kerja Tuan Wilhel terasa mencekam. Lampu gantung kristal berkilau, namun tak mampu menetralkan hawa tegang yang menggantung di udara. Di balik meja kayu besar berwarna gelap, Tuan Wilhem duduk tegak dengan wajah dingin. Jemarinya mengetuk permukaan meja berulang kali, menandakan betapa kesabarannya sudah menipis. Pintu terbuka. Wihaldy masuk, mengenakan setelan kerja yang seharusnya rapi, namun hari ini tampak sedikit berantakan dan basah. Ikatan dasinya longgar, rambutnya kusut, wajahnya penuh lelah setelah melewati hari-hari berat bersama Danisha. “Papa,” sapanya pelan, mencoba menjaga nada suaranya agar tidak terdengar menantang. Tuan Wilhem menoleh dengan tatapan tajam. Lalu memerintahkan, “Duduk!” Wihaldy menurut, meski tahu pertemuan ini tidak akan berakhir baik. Begitu ia duduk, sang ayah langsung menggebrak meja. “Apa yang kau pikirkan, Haldy?! Sebentar lagi kau akan menikah, tapi kenapa malah menemui wanita itu terus?” "Sebelum pulang ke rumah, k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments