Share

6. Pengendali Itu Pecah

Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke dada Salman. 

“Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” 

*** 

Setelah Salman pulang, Jamilah segera menelpon Haikal agar menjemput adiknya. Ia langsung memukul bokong Haira begitu sampai di rumah. “Gadis nakal!"  

“Aaa ... sakit, Ma!” teriak Haira sambil berusaha menghindar dari ibunya. 

"Ke mana saja kamu berapa hari ini, ha? Tidak tahu malu!”

Haikal langsung berlari menjauhkan adiknya dari ibu mereka. “Ma!”

“Haikal, kamu jangan membela dia. Ini gara-gara kamu, dia jadi manja!” seru Jamilah, sambil berusaha menarik badan Haira, tetapi Haikal terus menghalanginya. 

“Tidak tahu malu?!” teriak Haira. “Bukannya Mama yang tidak malu, merebut suami orang?”

“Haira, diam!” tegur Haikal.

“Benar 'kan, Kak?! Mama menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga 'kan? Apa itu tidak termasuk tidak malu?!” 

“Haira, umurmu sudah 16 tahun, seharusnya kamu bisa membedakan mana yang merebut dan poligami.”

“Sama saja, Ma. Mama pikir, ada wanita yang mau suaminya menikah lagi. Mama sendiri tidak aku akan melakukan itu kan? Mama telah merebut kebahagiaan orang lain. NGACA MA!!” teriak Haira.

“HAIRA!!” bentak Jamilah dengan wajah merah padam.

“Sudahlah, Ma! Dia baru datang, seharusnya Mama tanyakan bagaimana keadaannya, tapi malah memukuli dia.” Haikal beralih ke adiknya. “”Haira, kamu sudah makan?”

Haira mengangguk. 

“Kamu masuklah! Siap-siap sekolah. Kakak antar ke sekolah."

Haira mengangguk ceria. “Kalau begitu aku mandi dulu.” Haira berlalu tanpa menoleh pada ibunya.

Haikal berpaling pada ibunya. “Ma, seharusnya Mama kontrol diri. Dia anak gadis, Ma. Sikap Mama membuatnya tidak betah diam di rumah. Kalau dia sering keluar rumah, itu berbahaya.” 

“Kontrol diri kamu bilang?! Kamu tahu apa perasaan orang tua? Ibu mana yang tidak marah putrinya keluar rumah tanpa pamit dan  bermalam di rumah orang?”

“Seharusnya Mama tanyakan mengapa dia keluar rumah tanpa pamit. Mama pasti tahu penyebabnya. Jika Mama ingin marah pada dia, seharusnya Mama marahi juga diri Mama sendiri.”

“Kau—“ 

Haikal tak menghiraukannya lagi. Ia berlalu ke kamarnya, tak lama terdengar dentuman pintu.

*** 

“Abi!!” teriak Salsabila menyongsong ayahnya yang baru saja membuka pagar. Anak itu telah menunggu ayahnya sejak bagun tidur. 

Terasa ada yang mengiris di hati Salwa. Kini semuanya tidak sama lagi dengan beberapa hari yang lalu. Sebelum Salman menikah lagi. Salman bepergian bukanlah pertama kali. Setiap akan datang ia selalu berusaha menghiasi dirinya juga putrinya. 

Teriakan Salsabila menjadi sesuatu yang mendebarkan. Orang yang pertama kali Salman peluk adalah putrinya. Ia akan bersabar menahan diri menunggu putrinya melepas rindu dan bercengkrama terlebih dahulu.

Kini teriakan Salsabila menjadi seiris sembilu yang menoreh luka di hatinya. Ia berharap Salsabila terus memeluk atau bercengkrama dengan ayahnya, setidaknya dapat memperlambat dengan dirinya. Apakah dia tidak merindukannya? Ia pasti merindukan laki-laki yang telah menemaninya sekian tahun. Rindu sesuatu yang nelangsa tetapi indah. Kini kerinduan itu bertambah komposisinya. Nelangsa, indah, juga menyiksa. 

“Abi kemana saja? Kenapa Abi tidak menelepon Salsa dan Umi?” tanya Salsabila, masih dalam gendongan ayahnya. Salman membawanya ke dapur, mendekati Salwa yang terlihat melap meja makan. Bohong. Kenyataannya, mereka belum sarapan. Tidak ada kegiatan yang membuat meja kotor. 

“Maafkan Abi, Sayang,” jawab Salman. Ia meletakkan sebuah plastik hitam, lalu mendudukkan Salsabila. Sesaat ia melirik Salwa yang telah sibuk membuka kantong plastiknya. Ia ingin merengkuh bahu Salwa, tetapi gagal. Salwa telah menjauh, membuka lemari, lalu mengeluarkan beberapa buah mangkuk. 

“Umi tidak memeluk Abi?” tanya Salsabila. 

Gerakan Salwa terhenti. Ia menatap suaminya yang sepertinya juga mengharapkannya.

 “Mmm ... Umi ingin menuang bubur ini, Sayang,” ucapnya sambil bergegas mengeluarkan isi di dalam kantong plastik. Salsabila masih saja menatapnya heran. 

“Banyak sekali mangkuknya, Mi?" 

Salwa kembali terkesiap. Sesaat ia menjadi orang linglung. Menatap tiga buah mangkuk yang sudah tersusun. Ia lupa, kalau mereka terbiasa makan satu wadah bersama. “Mmm ... Ummi ingin membuat ini,” ucapnya sambil mengambil gorengan tempe yang sejak tadi masih di atas tirisan minyak. 

“Membuat gorengan dalam mangkuk, Mi?” tanya Salsabila. 

Salwa kembali tergagap. Ia membuka mulut, tetapi kembali menutup. Ia merasakan, mendadak otaknya sedang lumpuh. 

Salman berusaha tertawa. 

“Anak Abi cerewet banget ya," Salman mencubit bibir putrinya. "Kenapa Salsa lebih memperhatikan itu? Salsa tidak merindukan Abi?" 

Salman memasang wajah merajuk.  

Salsabila mengalihkan perhatiannya. Sejenak Salwa dapat bernapas lega. Ia segera mengambil dua buah mangkuk yang tadi di atas meja, lalu mengembalikan dalam lemari dan menggantinya dengan sebuah piring. 

“Rindu, Abi. Sangat rindu. Abi tahu tidak, tiga hari ada kakak di sini. Haira namanya.”

“Haira?” sontak Salman setengah berteriak, membuat putrinya terkejut. 

Salwa menoleh padanya. “Abi kenal dengan Kak Haira?"

Salman menggeleng cepat. “Mana mungkin Abi mengenalnya. Bertemu saja belum.”

“Iya ya,” jawab Salsabila. 

“Sekarang kita makan, yuk!” Salwa mendekatkan sebuah mangkuk yang telah berisi bubur pada mereka. Salman mendudukkan putrinya pada kursi tengah, lalu ia duduk di kursi samping Salsabila. 

“Masih panas,” ucap Salwa sambil mengaduk-ngaduk bubur. Terlihat asap keluar dari bubur itu, menguarkan aroma bumbu. Mendadak Salwa menjadi muak menciumnya. 

Ia memang tidak terlalu suka dengan aroma bumbu, termasuk dari bubur. Hanya saja, selama ini ia menikmatinya karena kebersamaan yang mereka miliki. Entah kenapa, ia tidak bisa bertoleran lagi. Tiba-tiba perutnya merasa mual menciumnya. 

Ia menyuapkan bubur itu ke mulut Salwa, lalu ke mulut Salman. Ia kembali ingin mengambil, tetapi Salman merebut sendok yang dipegangnya. Tak lama sesendok bubur telah berada di dekatnya. Sesaat ia menatap Salman yang sedang menunggu mulutnya terbuka.

Ia memaksakan diri untuk membuka mulutnya. Baru saja, bubur itu menyentuh lidahnya, tiba-tiba mual di perut melonjak. Menuntut dikeluarkan. 

Ia segera beranjak ke kamar mandi memuntahkan bubur yang tadi disuap. Malangnya, perutnya terus kontraksi, sedang di perutnya tidak ada makanan sedikitpun. Bahkan kini hanya keluar cairan yang menguning, perutnya masih saja melonjak. 

“Umi kenapa?” tanya Salman yang wajah cemas. 

“Tidak apa? Abi temani Salwa makan saja,” ucapnya dengan napas tersengal. “Hoak ....!”

Salman ingin bersuara, tetapi urung ketika melihat putrinya muncul dengan wajah cemas. Ia keluar dari kamar mandi, lalu mengangkat Salsabila ke dapur. 

“Umi kenapa?” tanya Salsabila. 

Salman tak menjawab. Ia mengambil mangkuk bubur, membawa Salsabila ke ruang tengah. “Kita makan di sini saja, ya.”

Salwa berjalan, melewati mereka dengan sisa-sisa tenaga. Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang, begitu sampai ke kamar. 

 “Salsa suap sendiri ya. Abi mau lihat Umi dulu. Salsa mau kan?” 

Salsa mengangguk ragu. 

“Anak solehah,” ucap Salman sambil mengusap lembut rambut keriting anaknya. 

Sampai di kamar ia mengambil minyak kayu putih, membuka penutupnya lalu menyerahkan pada Salwa. Salwa segera membaui aroma dari minyak kayu putih itu dengan mata terpejam. Jasmaninya sedikit lebih lega, tetapi sesak masih membalutnya. 

“Umi nangis?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status