Haira tersenyum mencebik melihat wajah ibunya. “Apaan sih, Mama. Aku sudah memutuskan masuk di pondok mana." “Tapi dari mana kamu tahu informasi pondok itu?” tanya Jamilah cemas.“Ada deh,” jawab Haira cuek. Ia mengambil remote televisi dari tangan Haikal. “Tapi sebagai orang tua, kami harus tahu dan melihat langsung pondok itu, sebelum kamu mendaftar ke sana. Kami harus memastikan kamu nyaman di pondok itu.”“Ada orang yang aku kenal di sana, Ma. Dia baik. Aku juga pernah ke sana. Aku menyukainya, jadi Mama nggak usah khawatir. Selain itu, aku ga mau Mama ke sana.”Jamilah tersentak dengan ucapan Haira yang terakhir. “Berita Mama kawin dengan suami orang sudah tersebar di sekolahku, aku tidak ingin juga menyebar ke pondok. Cukup Kak Haikal yang jadi waliku.”Jamilah menatap Salman untuk meminta pendapatnya. Salman hanya membalasnya dengan anggukan. “Baiklah, jika itu maumu. Meski sedih, Mama menurut saja. Mama percayakan itu pada Haikal. Semoga kamu betah di sana. Almarhum Papa p
Aditya terlonjak. Ia meluruskan badannya ke arah Salman. Keningnya mengerut tajam. “Bukankah itu gedung warisan dari orang tuamu?"“Memang benar. Tapi aku telah memberikan padanya. Sekarang lagi proses pengalihan nama.”Wajah Aditya sedikit mulai melentur, tetapi tetap saja ia sangat malas harus bekerjasama dengan suami mantannya. “Kalau memang tidak ada yang dibicarakan lagi, aku duluan.Terima kasih, Pak Bayu. Senang bertemu dengan Bapak,” ucap Salman sambil mengulurkan tangannya ke arah Bayu. “Sama-sama,” jawab Bayu. “Semoga kita berjodoh, Pak.”Sayangnya, Bayu tidak mendengar ucapan amin dari Salman. Tak lama Salman telah hilang dari pandangan mereka. Berselisih dengan karyawan yang mengantarkan minuman untuk mereka. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kau punya perasaan terhadap istrinya?” tanya Bayu sambil menggeser gelas minuman yang diletakkan karyawan.“Tepatnya mantan,” sahut Aditya dengan wajah masih saja suram. Bayu tidak memperlihatkan wajah terkejut. Ia meneguk kopi yang
Salwa duduk. Perlu beberapa saat ia mengendalikan dirinya. Jika menyinggung keinginan Salman, ia perlu persiapan mental terlebih dahulu. Ia menarik napasnya pelan. “Tidak apa. Tidak salahnya kan aku meminta sesuatu pada Abi?"“Tidak salah! Tapi kenapa baru sekarang? Dan kenapa menjadikan persyaratan?” Salman ikutan duduk.“Itu karena jika Abi menikah otomatis harta itu Abi gunakan untuk dua rumah tangga. Sedang aku delapan tahun menemani Abi, susah senang kita hadapi bersama. Apa salahnya kan jika meminta sebagian harta Abi sebelum dengan perempuan itu? Selain itu juga atas nama Salsabila. Aku hanya ingin mendapatkan jaminan masa depan Salsabila.” “Aku mengerti. Tapi kamu tahu, jika aku menikah lagi, otomatis kebutuhanku akan semakin bertambah.”Lahar di dalam diri yang berusaha ditekannya kini semakin liar. Ia semakin kewalahan menahan lahar itu. “Mengapa? Abi tidak rela Jamilah kesulitan? Padahal itu telah Abi lewati bersamaku? Bi, Bangunan itu memang warisan dari orang tua Abi, ta
Sektika kalimat itu menghantam Salman. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. “Jadi sebenarnya, jika aku memberikannya dari dulu, kau juga akan melakukan hal yang sama?” tanya Salman lesu.“Tergantung kamu. Memangnya selama ini aku terlihat matre?”“Bukan begitu! Tapi kenapa kamu mengujiku seperti ini?” protes Salman.“Aku tidak mengujimu. Aku juga tidak terpikirkan akhirnya kamu rela melepaskan ruko itu demi Jamilah! Padahal dulu aku meminta atas nama Salsa. Aku semakin kecewa padamu. Kamu seperti tidak mengenalku.”Salman tertegun. Ia meraih kedua tangan Salwa. “Aku mohon, jangan bicarakan perceraian. Pandanglah anak kita!”Kali ini wajah Salwa meredup. Berganti dengan air mata yang menganak sungai.“Apakah selama ini kamu memandangnya? Pernahkah kamu berpikir bagaimana ayah yang sangat dicintainya telah membagi hati? Selama ini jika kamu pergi, dia selalu menantimu pulang. Ke depannya, aku akan bilang apa padanya jika kamu membagi waktumu untuk orang lain?”Tangan Salman terangkat, te
"NENEK!" teriak Salwa. Ibunya berpaling, begitu juga dengan laki-laki yang sejak tadi ngobrol dengan ibunya. Seketika wajah laki-laki itu membuat Salwa tersentak. "Aditya?" gumamnya. "Hei, Salwa ke sini? Ya Allah … miang, Cu. Nanti gatal." Pegangan Salwa kini terlepas. Salsabila telah berlari ke arah neneknya, tetapi Salwa berjalan semakin pelan. Laki-laki di samping ibunya terus saja menatapnya. Dejavu. Kenangan waktu kecil di kebun semangka bersama laki-laki itu kini mengulang di benak. Sampai besar pun mereka masih saja suka bermain-main di kebun semangka jika musim bertanam semangka. Bahkan ia ingat betul, pernah berlari ke laki-laki itu saat mereka akan berpisah waktu hendak kuliah. Tiba-tiba saja ia merindukan hal itu. Betapa dulu setiap ada masalah ia tinggal menyeberang, masalah akan selesai. Tidak ada soal yang tidak bisa dijawab Aditya. Tidak ada kesedihan yang tidak hilang di bahu Aditya. Aditya selalu bisa menghiburnya dengan cara yang unik. "Apa kabar, Salwa?" B
Salwa menengadahkan wajahnya demi melihat wajah Haikal. Ia kembali menoleh ke wajah Haira. Ia penasaran bagaimana ibu kedua anak rupawan ini?"Ya sudahlah kalau begitu. Kalian cuma berdua? Maksudnya tidak bersama ibumu?"Haira menggeleng. "Ya, sudah. Enggak apa-apa kok. Asal ibu kalian mengizinkan, enggak masalah. Kalian masuklah ke bagian administrasi, itu kantornya," tunjuk Salwa pada sebuah pintu. Seorang laki-laki dewasa memasuki pintu itu. "Haira, kamu tau kan di mana menemui Tante nanti?""Iya, Tante."Salwa mengangguk. "Kalian masuklah!"Ia masih saja berdiri menatap punggung kedua bersaudara itu. Melihat mereka ia teringat masa remajanya. Teringat Aditya yang selalu membersamainya. Tiba-tiba terbersit di benaknya. "Haikal!" Langkah Haikal terhenti. Ia bergegas mendekati keduanya. Ia melepaskan gelang dari kayu kokka berbentuk tasbih dengan butiran kecil-kecil di tangannya, lalu menyerahkan pada Haikal. Haikal menyambutnya heran. "Ini pemberian sahabat Tante. Sekarang Ta
“Untuk apa?” Kali ini Salman mengangkat setengah badannya dengan bertopang tangan. “Biasanya Umi sering memberi masukan atau apa?”“Biasanya Abi bertanya, sekarang hanya menyampaikan keputusan. Jadi suara Umi buat apa?"Ia menghempaskan kepalanya ke bantal. "Setidaknya bertanya mengapa?""Andai pun Umi tahu alasannya apa, untuk apa? Dan seandainya ada ketidakcocokan cara berpikir kita, hanya akan menambah runyam kan?"“Tidak salahnya kan Abi tahu pendapat Umi?”Salwa menghempaskan napasnya. “Sebenarnya apa yang ingin Abi katakan?”“Aneh aja, tanpa komentar Umi,” lirih Salman dengan memasang wajah merajuk dan memejamkan mata.“Baiklah, sebenarnya Umi penasaran, mengapa Abi menolaknya, padahal harga sewa lumayan tinggi? Dan Abi tahu sendiri mencari penyewa itu susah, apalagi zaman sekarang ini. Kalaupun ada belum tentu berjalan mulus, dan Abi sering ngalamin itu. Sedang Aditya, aku tahu betul sifatnya. Dia akan selalu bertindak jujur dan bertanggung jawab, apapun itu.” “Ini yang aku t
“Sayang, lihat deh, ini baguskan?” Jamilah memperlihatkan gambar gamis syar’i di sebuah toko daring. Haikal yang nyemil di dapur ikut menyimak. Tangannya menatap layar ponsel, tetapi telinganya memindai percakapan di ruang tengah. Ia ingin tahu bagaimana respon ayah tirinya terhadap kebiasaan ibunya. “Bagus,” ucap Salman setelah mencermati gambar itu. “Tapi ini terlalu heboh.”Jamilah berdecak. “Ketinggalan zaman banget sih kamu."“Bukan ketinggalan zaman enggaknya. Dari segi warna juga desain, ini terlalu mencolok. Hal ini seperti akan mengundang perhatian. Fungsi pakaian adalah menutupi aurat, apa artinya tertutup kalau pada akhirnya jadi perhatian dan kalau di tempat umum kita tidak bisa menghindarkan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.”Haikal mengernyit. Tanpa sadar ia mengambil kacang goreng di toples dan menyuap, padahal mulutnya masih penuh.“Sayang, sederhanakanlah gaya hidup kita. In sya Allah, hidup kita akan nyaman. Tanpa harus dituntut oleh hawa nafsu juga zaman.