Manusia tidak bisa saling paham dengan apa yang ada dalam pikiran manusia lainnya. Kali ini, Sandi semakin membuat Dinara yakin seratus persen dengan hipotesis itu. Tidak ada satupun tindakan Sandi bisa dia pahami sekarang. Apa sih yang sebenarnya Sandi inginkan darinya? Dalam waktu kurang dari satu bulan, Sandi berhasil memberinya banyak sekali jenis kejutan. Mulai dari sorotan umum, narasi kisah yang harusnya sama sekali tidak dia perlukan, hingga letupan- letupan baru di relungnya yang sama sekali tidak mau Dinara akui keberadaannya. Ya. Dinara benci mengakui bahwa Sandi membuatnya kembali berdebar akan hal- hal yang tidak pasti. Munafik kalau Dinara mengatakan bahwa dia tidak merasakan sesuatu setiap kali berdekatan lagi dengan Sandi. Dia tidak sebodoh itu untuk menangkap sinyal bahwa saat ini Sandi berusaha mendekatinya. Nah, itu dia masalahnya. Untuk apa Sandi mendekatinya? Dinara yakin letupan dan aneka perasaan aneh yang kini menjalar dalam dirinya adalah sebuah sinyal
Senyum penuh wibawa yang tadi dia sampirkan langsung luruh begitu saja begitu kembali pada tempat duduknya. Dinara menghela nafas perlahan, menahan sesak yang menjalar dalam hatinya. Kepalanya sedikit menengadah, takut kalau- kalau ada air mata yang jatuh merusak riasannya.Suasana disini sangat ramai. Dinara duduk di deret keempat dari sekitar 20 deret yang ada. Saat ini, pita toganya sudah digeser Rektor. Giliran bangku dibelakangnya yang ikut prosesi. Alunan lagu dari grup paduan suara mengiringi barisan wisudawan yang menunggu giliran diresmikan. Ini akan berlangsung cukup lama karena Rektor harus meresmikan sekitar lima ratus wisudawan dan wisudawati yang berada di aula utama kampus ini.Hari ini seharusnya menjadi salah satu hari paling bahagia yang dia miliki. Diwisuda sebagai lulusan dengan predikat terbaik di fakultasnya merupakan pencapaian luar biasa untuk Dinara. Sayang sekali kedua orang tuanya tidak bisa turut hadir dalam acara ini. Adiknya juga masih ada ujian sehingga
"Tau darimana gue wisuda hari ini?""Astaga Dinara! Lo kuliah di kampus besar! Jadwal wisuda lo bisa gue dapet dengan mudah, apalagi banyak juga temen- temen gue yang berasal dari kampus ini," ujar Kiran gemas sendiri. Dinara hampir melupakan fakta yang satu itu. Banyak sekali yang posting terkait persiapan wisuda dan semacamnya di media sosial. Kiran yang juga anak jebolan medsos pasti langsung paham akan adanya perhelatan ini. "Om sama tante belum dateng, Din?" Pertanyaan dari Viviane mendadak membuat Dinara sedikit lesu. Meski begitu, dia tetap berusaha untuk terlihat tetap tegar. "Papa masih ada urusan di Jepang, jadi mama juga ikut disana. Dikta masih ada ujian juga," jawabnya sembari memaksakan sedikit senyum. Viviane agaknya merasa bahwa dia keliru bertanya. Jadi dia pada akhirnya hanya bisa tertawa canggung. "Ya udah, anggap kehadiran kita disini penggantinya. Sebagai utusan keluarga lo, hari ini Kiran yang traktir makan!" Ujaran penuh semangat dari Kanaya langsung mendap
Mudah sekali menggoyahkan fokus manusia. Dinara merasa imannya lemah hanya karena terjebak dalam situasi cukup canggung dengan Sandi Arsena sekarang. Berada tepat disamping pengemudi tampan yang tengah memamerkan kedua tangannya akibat lengan kemeja digulung asal. Dua kancing kemeja teratas juga terbuka, seolah sengaja memamerkan kulit dan leher panjangnya. Bukan sesuatu yang luar biasa namun cukup membuat Dinara berusaha mati-matian untuk mempertahankan kewarasan dan kejernihan pikirannya. Panasnya cuaca ibukota hari ini memang harus diakui. Setelah keluar dari gedung wisuda, hampir semua orang yang dia temui mengeluhkan cuaca panas. Termasuk lelaki disebelahnya ini yang langsung tanpa aba- aba melonggarkan berbagai kancing di pakaiannya.Setelah makan bersama di resto dekat kampus, semuanya langsung menuju destinasi yang berbeda. Keluarga Dinara yang dijemput salah seorang staff papanya masih harus kembali ke sekolah Dikta karena mereka meninggalkan tas Dikta disana. Teman- teman
Dinara menghapus makeup di wajahnya dengan gosokan kasar. Seolah dengan gerakan gusarnya itu dia bisa mengembalikan kembali citranya yang sudah terlanjur bingung mau dia sembunyikan dimana. Insiden tadi mungkin berhasil menyelamatkan Sandi dari prasangka buruk temannya. Namun sekaligus juga menghancurkan image Dinara. Setelah menyadari tindakannya, Dinara benar- benar tidak tahu harus berkata apa. Dia benar- benar malu, apalagi kalau nanti menghadapi Sandi yang sedari tadi tak merespon atau membahas apapun juga. "Sayang? Sudah selesai belum?" Lagi- lagi mendengar kata 'sayang' membuat Dinara makin kasar menggosok wajahnya. Rasanya Dinara ingin bersembunyi di kutub paling jauh hanya agar tidak bertemu Sandi Arsena untuk sementara waktu ini. "Dinara?" Menyadari suara sang mama masih memanggilnya depan pintu, Dinara berdehem sebentar melegakan tenggorokannya yang terasa tercekat. Menepuk pipinya lagi untuk menyadarkan dan membawa kembali dirinya ke masa kini. "Masih hapus makeup
"Ngalah dong sama yang lebih muda!""Siniin, punya gue itu!""Eh-eh mati mati, eh woy!""Tolollll"Seperti hari- hari biasanya, Dikta menghabiskan waktu liburnya dengan Sean dan Sandi. Hari ini makin ramai karena sepupunya, Keenan juga ikut menambah keriuhan siang ini. Apalagi terkadang mulutnya memang suka bablas, dengan anak dibawah umur juga masih bisa mengeluarkan kalimat plus kebun binatangnya. Ini kalau Dinara dengar, sudah pasti Keenan didepak dengan tidak hormat karena telah menodai kosakata polos adiknya.Ya untung saja hari ini mereka berada di kediaman Sandi dan Sean yang memang sedang sepi. Ditengah keriuhan itu, Sandi kini sudah tak fokus pada games berkat chat dari dosen pembimbingnya yang baru masuk. Katanya mahasiswa tidak boleh menghubungi dosen di hari libur dan juga diluar jam kerja. Tapi kenapa dosen pembimbingnya ini justru balik suka sekali menghubunginya pada hari libur?Mau tak mau ia membuka bubble chat yang ternyata sudah menumpuk berisi aneka peringatan dan
Tadinya dua onggok manusia itu hendak menyelesaikan tulisan di rumah, namun suara bor dan mesin disebelah agaknya berhasil membuyarkan konsentrasi keduanya. Padahal komplek perumahan ini cukup elit, jarak antar rumah pun tak terlalu dekat. Namun tetap saja, sepertinya tetangga sebelah punya masalah cukup serius sehingga harus menggunakan beberapa alat yang suaranya cukup mengganggu.Mau pakai headset pun menurutnya tidak akan cukup membantu. Selain itu, mungkin akan lebih aman bagi mereka berada diluar rumah. Kondisi rumah kosong begini sangat rawan. Iman masih lemah, takut saja kalau- kalau setan lewat membuat Sandi bertindak diluar ambang sadar, hehehe. Awalnya Sandi hendak mengajak Dinara pergi ke sebuah cafe, namun entah kenapa pada akhirnya mereka berakhir di taman pinggir kota yang kebetulan cukup tenang. Taman tersebut punya pojok khusus semacam tempat belajar yang juga pastinya dilengkapi meja, kursi, wifi, dan steker. Biasanya akan ada beberapa kawula muda yang hinggap d
Langit yang tadinya cerah tiba- tiba makin mendung. Belum sempat Dinara dan Sandi beranjak menuju mobil, keduanya harus terjebak hujan sehingga belum bisa kemana-mana sekarang. Sebenarnya sih Sandi bisa saja menggunakan jaketnya lalu seperti adegan drama menggunakannya untuk melindungi Dinara. Tapi kalau dia pikir-pikir, jaket tipisnya itu tidak akan sanggup menghalau hujan. Apalagi mereka harus berlari sekitar beberapa ratus meter menuju tempat parkir. Ditambah ada laptop di dalam tas tidak waterproof yang Sandi gunakan hari ini. Sandi jelas mengurungkan niatnya. Dia tidak mau kelihatan bodoh pada akhirnya. Toh juga Dinara tidak menggesanya pulang, gadis itu mungkin punya pemikiran yang sama dengannya. Hujan mungkin tidak begitu deras, namun tetap saja mereka sangat malas kalau harus basah- basahan. Ini tidak akan menjadi adegan drama yang romantis. Hanya basah kuyup dan juga flu yang menanti kalau mereka nekat menerobos. Sembari menunggu hujan reda, Dinara kembali menarik foku