Share

3. Grasa-Grusu Pagi Hari

Dinara mengenakan sepatu hak tinggi miliknya dengan tergesa. Berkas masih belum rapi dan tas yang bertanggar di bahu keadaan resleting terbuka. Gadis dua puluh dua tahun itu hampir saja terjerembab jatuh dari tangga kalau saja tadi sang adik tidak menahan tubuhnya. 

"Kakak panik banget ! Hati- hati dong!" teriak Dikta yang telah mengenakan seragam sekolah lengkap. 

Dinara tak mengindahkan kicauan siapapun, dia langsung menarik satu potong roti dan berlalu keluar pintu rumah. "Semuanyaa, Dinara berangkat duluan!" teriaknya sambil berlalu.

Kalau saja kemarin malam dia tidak memaksakan diri mengerjakan berkas sampai subuh, mungkin sekarang Dinara tidak akan terlambat bangun. Sebenarnya kalaupun tidak dikerjakan, gadis itu masih punya cukup waktu untuk mengerjakannnya di kantor. Tapi begitulah Dinara jika sudah tenggelam dalam satu pekerjaan. Mungkin jika ada gempa bumi-pun dia tidak akan sadar. 

Langkah grasa-grusunya terhenti kala netranya menyadari bahwa mobilnya tak berada di tempat semestinya. Masih dengan mulut penuh roti dan mata membulat ssempurna, Dinara berbalik badan mendapati sang mama telah menyusulnya. 

"Ma, mobil Dinara mana?" tanyanya dengan mulut penuh. 

Sang mama mendengus, "makanya dengar dulu! Kamu sih langsung pergi- pergi aja. Itu sepupu kamu, Keenan, tadi pagi pinjam mobil buat jemput tante Nia. Soalnya mobil dia lagi di bengkel," jelas si mama sembari berkacak pinggang.

Dinara melotot, "kok mama gak bilang Dinara dulu, sih?!"

"Ya kamunya kan masih tidur. Lagipula mama kira hari ini kamu bareng sama Kalila," jawab wanita parubaya yang seolah masih belum punya kerutan di wajahnya itu. Dia nampak santai saja meskipun putrinya terlihat benar- benar cengo sekarang.

Dinara menghela nafas lelah, tidak ada waktu baginya untuk berdebat.  "Papa mau jalan jam berapa?" tanyanya ketika menyadari yang tersisa di garase hanyalah mobil sang papa.

"Papa kamu masih mandi. Nanti juga dia berangkat sekalian anter Dikta ke sekolah."

Dinara melirik jam di pergelangan tangannya, "Dikta kok belum berangkat? Ini sudah hampir jam sembilan lho, ma!" 

Mama Dinara  kembali menggeleng- gelengkan kepalanya, "sekolahnya Dikta hari ini ada acara, murid kelas sembilan justru diintruksikan datang jam sepuluh," penjelasan sang mama membuat Dinara makin pasrah. Kalau sudah begini, tidak ada harapan numpang ngebut bareng papanya. 

Biasanya memang Dinara berangkatnya santai. Kadang naik ojek online, kadang nebeng teman, kadang juga bawa mobil sendiri. Tapi hari ini Dinara sudah hampir terlambat, jadi dia tentu memikirkan opsi paling cepat. Tapi siapa sangka kesialan sepertinya sedang menyapa?

"Ah, mama punya ide!"

Dinara melongo saat mama cantiknya itu berjalan cepat melewati tubuhnya. Matanya lagi- lagi membulat kaget saat menyadari sang mama sudah membuka gerbang dan tengah berbincang dengan seseorang disana. Netranya menyipit sehingga dia baru menyadari itu Sandi Arsena yang tengah tersenyum ramah disana.

Entah apa yang mamanya katakan, yang jelas sekarang wanita empat puluhan tahun itu melambai kearahnya. Lebih tepatnya memanggil Dinara untuk segera mendekat.

"Tante titip Dinara ya, San! Maaf kalau ngerepotin," ujar sang mama lembut. Lembut sekali sampai rasanya Dinara tak ingat kapan mamanya bicara selembut itu pada putrinya sendiri.

"Gak apa kok, tan. Saya juga kebetulan lewat sana jadi bisa sekalian," Sandi melirik Dinara sekilas sebelum dia memutari mobil dan membuka pintu sebelah kemudi. 

Melihat Dinara masih melongo dan hendak protes, sang mama justru mendorongnya untuk masuk kedalam mobil.

"Sudah sana berangkat! Katanya gak mau sampai terlambat, kan?" satu kerlingan nakal hinggap di mata sang mama yang membuat Dinara meringis sebal. 

Sementara Sandi kini sudah berada disebelahnya, duduk memasang seat belt. Lelaki yang kali ini tampil dengan rambut rapi itu melirik Dinara penuh arti, "seat belt-nya dipakai, Dinara," ujarnya halus. 

Dinara tanpa babibu langsung mengikuti perintah. Mobil Civic milik Sandi pun berlalu membelah jalanan, meninggalkan kompleks perumahan keduanya.

"Lo absensi jam berapa, Nar?" tanya Sandi yang  fokus dengan setir.

"Sembilan pagi," jawabnya singkat.

Sandi melirik jam dengan merk ternama yang melekat di pergelangan tangannya. Sisa lima belas menit dan mau tak mau Sandi mempercepat laju kendaraannya. 

Lajunya cukup cepat dan Sandi menyalip secara teratur. Kalau di jalanan depan tidak macet, Dinara memperhitungkan dia bisa sampai tepat waktu. Namun tetap saja, gadis itu harus menahan kaget dan takut. Dia bahkan beberapa kali memejamkan mata dan mencengkram tasnya setengah takut.

Menyadari itu, Sandi menampilkan sedikit seringaian miring sembari memperlambat sedikit laju kendaraannya. Dinara yang merasakan laju mobil sudah lebih tenang mulai membuka mata. Mereka sekarang sudah memasuki wilayah industrial dimana gedung-gedung kantor pencakar langit berada. Mobil di daerah sini sudah lebih padat daripada jalanan sebelumnya sehingga turut menjadi alasan bagi Sandi untuk memperlambat laju kendaraan.

Tepat berhenti di depan gedung kantornya. Dinara termenung sebentar saat menyadari bahwa nyawanya ternyata masih ada di tempat. Sebenarnya hendak protes, namun Dinara masih cukup tahu diri setelah dibantu. Dinara melirik jam tangannya dan ternyata sisa lima menit lagi. Sebelum keluar dari mobil, tak lupa gadis itu mengucapkan terimakasih pada Sandi yang memberikannya tumpangan (nyaris maut) gratis.

"Makasih banyak, San! Sorry jadi ngerepotin," ujarnya.

Sandi tersenyum simpul, "sering- sering juga gak apa," balas Sandi.

"Hah?" Dinara tak begitu mendengarnya karena Sandi bicara sembari langsung keluar dari mobil. Sementara Dinara masih planga-plongo, lelaki dengan kemeja biru tua itu ternyata sudah membuka pintu penumpang dan tentu mengagetkan Dinara. Apalagi secara tiba- tiba Sandi membawa masuk setengah tubuhnya dan melewati wajah Dinara saat ia berusaha membantu melepaskan seat belt di tubuh Dinara.

"Dinara.."

Dinara mengerutkan kening saat jari telunjuk Sandi menunjuk garis bibir Dinara. Mata Dinara membulat, apa- apaan ini? Jangan bilang Sandi memintanya untuk

"Remahan rotinya berantakan disekitar bibir."

Ada semacam angin lalu yang membuat Dinara berdesirlebih tepatnnya karena malu. Bisa-bisanya otak kotornya berpikiran yang tidak- tidak. Ini pasti akibat ikut-ikutan menonton drama romansa rekomendasi Kalila! 

"Makasih," ucap Dinara singkat sembari mengusap sekitar bibirnya. Sandi juga sudah menarik diri dan keluar dari mobil. 

"Udah, makasihnya nanti aja.  Keburu telat tuh nanti," tutur Sandi lagi mengingatkan. 

Dinara mengangguk lalu dengan segenap tenaga berlari menuju pintu masuk. Syukurnya dia masih bisa absensi tepat waktu meskipun harus melewati beragam drama pagi hari. Baru menghela nafas lega, suara- suara menyebalkan tiba- tiba terdengar dari belakang punggungnya. 

"Cie Dinn, siapa tuh yang tadii?"

"Ganteng yang ini, Din! Supir Grab yang ini ada nomornya, gak?"

"Astaga Dinara akhirnya deket sama cowok guys!!"

Bola matanya dia rotasikan dengan malas. Bagaimana ya? Seumur- umur Dinara tidak pernah diantar ke kantor oleh yang tampan begini. Kalaupun ada lelaki yang mengantar Dinara, paling hanya sebatas adik sepupunya, si ayah, atau supir saja. 

Pemandangan semacam tadi sudah pasti akan jadi santapan besar untuk grup ghibah kantor.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status