Share

2. Ruang Tamu

Rasanya Dinara ingin mencak-mencak meluapkan seluruh kekesalannya. Hari minggu yang biasanya menjadi hari temaram kesayangannya kini seolah berubah menjadi mimpi buruk. Sepertinya Dinara harus menandai kalender hari ini sebagai hari apes khususnya.

Bertahun- tahun tidak bertemu, tadi pagi Dinara justru bertemu si menyebalkan Sandi Arsena dengan tampilan paling memalukan. Padahal Dinara kan ingin sekali seperti gadis- gadis di cerita fiksi yang seolah membalaskan dendam pada lelaki masa lalu yang menolak mereka. Tumbuh menjadi gadis cantik dan sukses yang bisa memamerkan kesuksesannya sehingga para lelaki bodoh itu menyesal menyia-nyiakan mereka.

Ah, itu semua tinggal angan- angan. Sandi sudah merusak khayalan sempurnanya itu pagi tadi. Meskipun bukan seratus persen salah lelaki tinggi itu, tetap saja Dinara tidak terima. Kenapa juga dia harus tampil memalukan seperti itu?

Tapi masalahnya belum berakhir. Sekarang ini Dinara benar- benar tidak tahu lagi harus meletakkan wajahnya dimana. Sandi Arsena yang tiba- tiba menjelma menjadi tetangganya itu sekarang justru duduk santai berhadapan dengannya.

Sandi berada tepat dihadapannya, duduk di ruang tamu kediaman Dinara. Entah berapa kebetulan lagi yang harus Dinara percayai? Setelah mengetahui bahwa Sandi adalah tetangga barunya, fakta bahwa mamanya dan mama Sandi merupakan bestie semasa sekolah menengah membuatnya kembali tercengang. Sejak kapan sih dunia jadi sempit begini?

Duo mama sedang asik berbincang disebelah mereka. Dinara rasanya mau kabur dari situasi canggung ini, tapi dia masih punya malu. Dia tak mau dianggap ketus atau kurang ramah, makanya dia bertahan sembari memasang senyum pertahanan diri khas miliknya.

Tawa kencang dari dua bocah lelaki di sofa sedikit mengalihkan perhatiannya. Ada adik lelaki Dinara yakni Dikta yang kini menginjak kelas tiga sekolah menengah pertama sedang bermain game bersama Sean. Sean adalah adiknya Sandi yang baru masuk sekolah menengah pertama tahun ini. Mungkin karena usia kedua bocah laki- laki itu tidak terpaut begitu jauh, makanya mereka jadi cepat akrab begitu.

Sementara orang- orang disebelahnya sibuk dengan dunia dan euforia mereka masing- masing, Dinara dan Sandi justru duduk berhadapan canggung.

Keduanya? Mungkin sebenarnya yang merasa canggung hanya Dinara. Pasalnya sedari tadi Sandi terlihat santai, sesekali dia menimpali percakapan duo mama sembari makan kudapan yang mama Dinara sajikan. Benar- benar santai seperti sudah di rumah sendiri.

Dinara enggan memulai pembicaraan, lebih- lebih karena Sandi sedari tadi juga tidak memulai pembicaraan apapun dengannya juga. 

Satu yang jelas. Meskipun sama sekali tak bicara, Sandi terang- terangan menatap Dinara dengan jenis tatapan yang sulit diartikan. Jenis tatapan yang membuat Dinara merasa risih sampai-sampai rasanya ingin sekali menggunakan kentang goreng dihadapannya untuk mencolok mata kurang ajar Sandi. 

Tapi Dinara tak mau tampil bar- bar dan semakin merusak citranya.  

Untungnya ditengah kekalutan, satu dering panggilan masuk terdengar dan langsung menarik perhatian Dinara. Dia langsung cepat- cepat bangkit dan permisi mengangkat telepon.

"Halo Kal? Kenapa?"

"Dinaraaa astagaaa, gue kira lo gak bakal angkat telponnn!"

Suara cempreng khas milik Kalila langsung mendengung membuat Dinara harus menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Santai aja Kal, gue gak budeg!" Dinara ikut nyolot.

Terdengar kekehan ringan diseberang panggilan, "kirain Dinn. Soalnya biasanya lo gak bakal aktifin hape kalo lagi hari libur gini. Gue ngeliat W******p lo centang dua aja udah beneran bikin kaget. Ini beneran lo kan Din?"

Dinara memutar bola matanya dengan malas. Kalila memang terkadang dramatis, namun untuk urusan kali ini dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Kalila. Kenyataannya memang demikian. Dinara seolah akan memutus seluruh kontak media sosialnya di hari minggu sehingga tak ada pekerjaan kantor ataupun hal- hal sehubungan pekerjaan yang akan mengganggu hari istirahatnya.

"Syukur gue angkat nih, Kal! Udah ah, cepetan! Ada apa lo nelpon gue?"

Meskipun kekehan milik Kalila terdengar belum berhenti, namun kali ini nada gadis itu terdengar sedikit lebih serius.

"Ada klien yang minta rombak hasil. Gue udah kirim poin-poinnya via email. Kalo sempet, tolong kerjain sekalian ya, Din! Soalnya Bu Alana minta draft secepatnya buat doi bawa rapat besok siang," jelasnya.

Dinara sama sekali tak suka mengerjakan tugas diluar jam kerja. Kalau biasanya mungkin Dinara akan menolak mentah- mentah. Namun karena sepertinya yang satu ini urgent dan juga kebetulan bisa dia jadikan tameng, gadis itu justru tersenyum penuh arti.

"Oke bisa! Secepatnya gue kirim balik ya!"

Tanpa basa- basi Dinara mematikan ponsel dan berjalan kecil menuju ruang tamu.

"Ma, tante, Dinara izin keatas dulu ya. Ada kerjaan urgent yang harus aku kerjain sekarang," ucapnya dengan wajah dan suara semanis mungkin.

"Tumben? Biasanya kamu paling anti bawa kerjaan pulang," celetuk sang mama.

Dinara tertawa canggung, "yaa, soalnya urgent ma," jawabnya pendek.

Si mama hanya ber 'oh' ria. Dinara melirik mama Sandi yang masih tersenyum kepadanya,

"Lho, Dinara sudah kerja? Bukannya kamu juga belum wisuda, ya?"

Dinara membalas dengan senyum kecil santun, "kemarin magangnya disana, tante. Setelah magang kebetulan ditawarin untuk jadi karyawan meskipun tanpa ijazah. Yaa saya ambil aja, lumayan mengisi waktu," balasnya santun.

Tante Sandra tersenyum sembari manggut- manggut. "Keren lho kamu, Din! Padahal kamu bisa istirahat dulu sebelum kerja beneran, tapi justru langsung ambil peluang disana," pujinya.

Dinara menggeleng tak enak, sementara mamanya justru langsung menyahut dengan sedikit tawa, "bagaimana ya, jeng? Dinara anaknya memang gak bisa diam. Dulu waktu kuliah terlalu aktif kegiatan, lalu magang dan langsung kerja. Rasanya gak bisa saya temukan di rumah kecuali hari minggu begini. Sampai- sampai saya hampir lupa punya anak perempuan," ujarnya meledek. 

"Yaa gak apa, toh larinya kegiatan positif, kan?"

Diberi pembelaan oleh mama tetangga membuat Dinara refleks ingin mengejek mamanya sendiri.

"Jangan dipuji terus, jeng! Nanti jadi besar kepala dia," ledek sang mama lagi.

Dinara sih langsung pasang ekspresi ingin meledek tapi malu. Maka dengan cepat dia pamit dan naik menuju kamarnya diatas. Mengabaikan Sandi yang masih memandangnya intens seolah akan menguliti Dinara hidup- hidup. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status