"How was your day, kak?"Dinara mengernyitkan sebelah alisnya, si mata juga ikut memicing curiga. Dikta baru saja bangkit dari sofa sembari menjinjing buku bacaan, sebelah tangannya lagi melepas kaca mata baca. Ada senyum tak biasa yang membuat Dinara dapat merasakan sesuatu yang janggal.Ditambah lagi, kalimat tanya itu bukanlah sesuatu yang kerap dilontarkan sang adik. Ketika Dinara pulang kerja atau darimanapun, Dikta mentok hanya bertanya tentang makan ataupun keberadaan orang tua mereka. Melakukan sesuatu diluar dari rutinitas? Itu jelas bukan kebiasaan Dikta adiknya."Sehat?" Dinara balik bertanya sembari meletakkan punggung tangan kanannya diatas dahi sang adik. Suhu tubuhnya terasa normal sih, atau Dinara harusnya perlu termometer, ya?Dikta menepis tangan kakaknya sembari mendengus kesal. "Seharian aku gak ketemu kakak, ditambah kemarin juga aku gak di rumah. Just want to ask you, is it something weird?" tanya Dikta lagi, namun kali ini ditambah sedikit rengutan hampir tiga
"Jadi gimana? Mama masih mau coba jodohin aku sama anak temen mama?"Dinara menganga, rahangnya otomatis turun berbarengan dengan matanya yang ikut melotot. Dia hanya bisa melongo mendengarkan percakapan acak antara ibu anak dihadapannya. Sebenarnya sih dia sama sekali tak ingin ikut campur, tapi ketika namanya dicatut begitu saja, sudah sepatutnya Dinara marah, kan?Ya maunya begitu. Tapi otak dan inderanya sekali lagi tak sinkron. Lidahnya justru kelu seiring dengan kerongkongannya yang terasa kering luar biasa. Dia tidak berkutik dan justru terbengong seperti orang bodoh tengah berusaha memahami semuanya. Otaknya bilang, dia harus menolak! Tapi tatapan intimidasi dari mama Sandi membuat Dinara mendadak ciut. Ini apa sih? Dia tidak berbuat salah, tapi kenapa merasa takut dan harus terlibat dalam situasi canggung macam ini?Sandi tidak menepati janji. Lelaki itu tak memberinya kesempatan untuk sedikit berbenah pakaian atau bahkan memberi penjelasan saat ia menariknya terburu- buru
"Lo kenapa, Nar? Sakit?"Kiran menjadi makhluk kesekian yang mengejutkan Dinara hari ini. Gadis itu tiba-tiba sudah berada diatas ranjang rapi Dinara dengan selembar masker dingin di wajahnya. Kadang-kadang memang Kiran jadi terlalu nyaman keluar masuk kamar Dinara. "Kapan sampai, Ran? Kok gak bilang mau kesini?" Tanya Dinara yang kini sudah mulai bisa mengendalikan dirinya. Dia melangkah menuju meja kerja dan meletakkan ponsel disana. "Sepuluh menit lalu, mungkin? Gue tadi ketemu Dikta dibawah, dia bilang lo masih keluar sama Sandi," tutur Kiran yang kini mulai bangkit dan duduk bersila diatas ranjang. Dinara tersenyum setengah masam ketika mendengar lagi nama itu. Tapi Kiran memang manusia kelewat peka yang bisa menyadari bahkan setitik saja perubahan ekspresi sahabatnya itu. Dia jelas punya seribu tanda tanya di kepalanya melihat teman sejak SMA nya menampakkan raut tak biasa....dan dia yakin ini ada hubungannya dengan Sandi Arsena. Tapi bukan Kiran namanya kalau gamblang mene
Aroma kafein mengudara, menaikkan semangat para penikmatnya. Tak nampak namun cukup menggoda jejeran manusia yang telah bertandang di toko kopi. Menyesap kopi di sore hari sepertinya menjadi candu bagi kebanyakan orang. Apalagi di cuaca dingin karena hujan deras tengah melanda diluar sekarang. Bibir Dinara melengkung tipis ketika coklat panas yang dia pesan akhirnya mendarat di meja. Sebagai salah satu dari jutaan orang yang sering kumat asam lambung, Dinara tak mau ambil resiko. Yah, minum coklat panas ditengah gempuran semerbak kopi dari berbagai penjuru sepertinya cukup lah ya. Heels tingginya sesekali mengetuk lantai sembari mengamati hujan deras diluar yang dapat dia saksikan melalui jendela disampingnya. Dinara menghela nafasnya pelan sembari sesekali mengalihkan pandang pada tas bahu miliknya yang sedikit basah. Tadi sempat terkena air hujan saat ia berlari menyebrang dari gedung kantor menuju kafe kecil ini yang biasa menjadi tempat nongkrongnya bersama rekan kerja lainn
Dinginnya sore usai hujan tak sebanding dengan pancaran tatapan dingin yang Sandi Arsena tampilkan. Sisa kehangatan coklat panas tadi seolah tak tersisa lagi akibat suasana yang mendadak saja terasa berbeda. Ini baru kali kedua Sandi bertemu Valdi. Tapi siapapun bisa tahu bahwa Sandi menguarkan aura permusuhan disana. "Kamu pulang sama aku," ucap Sandi lagi seolah menegaskan. Tatapan matanya masih belum lepas dari Valdi yang memandang keduanya dalam diam. Namun tangan kanannya sudah bergerak mencekal pergelangan tangan Dinara. Sedikit kasar namun Dinara masih bisa merasakan bahwa lelaki itu masih mengontrol kekuatannya. "Gue udah pesen grab," sahutnya sembari menunjukkan layar ponselnya yang mana informasi pemesanan terpampang disana. Sandi berdecak lalu seolah tanpa dosa membatalkan pesanan. "Belum dapet driver. Udah, balik sama aku aja. Tuh Dikta di mobil," Sandi menunjuk kendaraannya. Dinara memicing saat menemukan benar bahwa Dikta di depan pintu mobil melambai kear
Mungkin selang tiga hari setelah perbincangan kecil di mobil Sandi. Selama tiga hari itu juga Dinara benar- benar hilang kontak dengan lelaki sebaya yang katanya mengaku serius dengannya itu. Sandi benar- benar seolah hilang dari peradaban. Jika biasanya dia akan berada setidaknya satu kali sehari di rumah Dinara dengan alasan bertemu Dikta, belakangan ini laki- laki itu justru sama sekali tak menginjakkan kaki disana. Jangankan bertandang ke rumah tetangga, deru kendaraan atau bahkan derap lari paginya pun tak pernah terdengar. Mobil dan motor sport yang kerap dikendarai laki- laki 187cm itu masih terparkir sempurna di garasi —sejauh yang berhasil Dinara lirik. Tapi seolah tak ada tanda- tanda kehidupan di kediamannya. Sandi juga tak pernah lagi sekedar menyapanya melalui obrolan di aplikasi w hijau seperti biasanya. Apakah Sandi ada urusan mendadak diluar kota? Tapi mengapa tumben tak mengabarinya sama sekali? Atau bagaimana jika Sandi sakit dan di rumah sendirian sehingga tak a
Bekerja langsung dibawah Alana Yasmin selama belum genap setahun sudah memberikan gambaran cukup jelas bagi Dinara tentang perangai wanita cantik tersebut. Tampilan anggun dan citra profesional yang selama ini dia tunjukkan turut terbentuk dari hasil kerja cerdasnya sejak muda. Kalau Dinara boleh jujur, atasannya itu menjadi salah satu role model yang banyak menginspirasinya. Alana ditunjuk sebagai Kepala Utama Divisi Kreatif sejak usia 26 tahun. Itu merupakan pencapaian besarnya bahkan saat baru tahun keduanya di perusahaan ini setelah berhasil menamatkan studi masternya di Inggris. Sekarang bukan hanya Kepala Divisi, Alana bahkan banyak terlibat dalam berbagai proyek gebyar perusahaan yang turut memberi sumbangsih pada kenaikan citra perusahaan hingga masuk dalam jajaran big four tahun ini. Sudah rahasia umum bahwa kinerja Alana memang sangat dibanggakan oleh Pimpinan Perusahaan hingga bahkan ia diisukan akan segera naik jabatan, entah menjadi Manajer Umum ataupun masuk d
"Masalah cewek nih pasti?!"Nada mengejek terdengar menyebalkan—setidaknya bagi telinga merah Sandi Arsena. Sang barista yang juga merangkap sebagai pemilik kedai itu melepaskan apron miliknya lalu melipatnya asal sebelum akhirnya duduk dihadapan Sandi yang sudah berada disini selama tiga puluh menit lebih. "Gue gak kesini buat dengerin ledekan lo, Yan!" Sandi meletakkan puntung rokok yang mulai pendek ke dalam cekungan asbak.Sandi masih mengenakan kemeja hitam dan celana jeans kesayangan yang biasa ia gunakan ke kampus. Selepas mengurus beberapa surat keperluan wisuda, ia melipir masuk kedalam Kelana Cafe. Tempat ngopi hits yang terletak tak jauh dari kampus yang juga milik Adrian, salah satu sobat karibnya. Tak heran kalau ia menemukan banyak manusia yang dikenal disini. "Kalo masih sibuk, handle aja dulu, Yan! Gue cuma butuh tempat tenang buat nyebat!" Ujar Sandi. Sedikit tak enak sebenarnya karena melihat pengunjung masih lumayan ramai tapi si owner sudah melipat apron lebih