Handa berdiri tak bergeming dengan mulut yang menganga lebar, beruntung dia berada di tempat yang bersih, jika tidak mungkin sudah ada lalat yang masuk ke dalam mulutnya. Handa benar-benar tidak percaya dengan apa yang ditangkap oleh matanya yang baru saja dibuka oleh Satria. Kini Handa sudah berada di dalam sebuah rumah mewah yang sudah lengkap dengan furniture dan perabotnya.“Harga sebuah keperawanan,” bisik Satria tepat di telinga Handa, lalu dipeluknya dengan erat tubuh mungil wanita yang telah dia nikahi.“Apa ini tidak berlebihan?”“Seharusnya lebih,” ucap Satria sambil menghidu wangi rambut Handa yang baru saja selesai menjalani perawatan kecantikan secara paripurna.“Bolehkah Handa minta lebih?” tanya Handa sambil memejamkan matanya, seolah tidak ingin kebahagiaan ini berlalu begitu saja.“Katakan!” Untuk urusan yang berhubungan uang, sudah tentu bukanlah masalah besar bagi Satria, apapun yang diinginkan Handa semudah menjentikkan jari.“Handa hanya minta, Mas Satria lebih la
Terlihat jelas gurat lelah di wajah Satria, tetapi senyum sumringah terbit di bibir Satria saat dia berbalas pesan dengan Handa. Kalimat-kalimat nakal yang menggoda membuat Satria merasakan rindu yang semakin dalam pada sang istri. Ingin rasanya segera bertemu untuk melepas rindu.Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian Satria, karena memang masih menunggu laporan dari salah satu stafnya yang terpaksa harus lembur, Satria pun segera menyuruh masuk kepada sosok yang mengetuk pintu.Betapa terkejutnya Satria saat melihat Hanin yang datang. Tidak bisa dipungkiri jika mantan kekasihnya memang sosok wanita yang penuh pesona, dress longgar selutut dan tanpa lengan mampu menutupi perutnya yang sudah mulai membuncit, tetapi tetap terlihat elegan dan seksi.“Lama tidak bertemu, sepertinya kau baik-baik saja tanpa diriku,” ucap Hanin kala melangkahkan kakinya dengan anggun mendekat ke arah Satria.“Ya! Terima kasih karena kau mengenalkan aku dengan Handa, dia istri yang baik.”Satria mer
Pukulan yang mendarat tepat di wajah Asta membuat wajah tampan yang mirip Satria itu penuh lebam dan berdarah. Tak ada tangis dan derai air mata, pria muda itu hanya bisa pasrah, karena tahu dan sadar kesalahan yang dilakukan. Di vila milik keluarga Argawinata ini, tidak hanya sekali Asta harus menerima hukuman dari Harris, dan biasanya itu terjadi tanpa sepengetahuan Satria maupun Lisa.Asta memejamkan matanya saat melihat Harris mengayunkan kakinya, bukan tendangan yang dia rasakan tetapi sebuah tubuh besar yang menimpanya. Ya, tubuh yang tiba-tiba harus tersungkur jatuh untuk melindunginya.“Minggir!” teriak Harris meminta agar Satria tidak melindungi Asta. “Anak iblis itu harus mendapatkan ganjaran yang setimpal,” lanjutnya dengan emosi yang sulit untuk dikendalikan.“Tapi yang kau sebut anak iblis itu anakmu, Pa! Darah dagingmu!” seru Satria dengan tampang kusut karena kurang istirahat, dan terlihat jelas matanya habis menangis.“Dia bukan anakku, karena aku tidak ingat telah men
Handa tak bisa menahan lagi air matanya kala kata “sah” menggetarkan gendang telinganya. Tidak bisa dijabarkan lagi rasa hatinya saat ini, sedih, haru, tapi rasa bahagia pun tetap ada. Di sebuah ruang VIP sebuah rumah sakit telah dilaksanakan sebuah pernikahan, untuk kedua kalinya Dharma mengucap akad nikah dengan menyebut nama Hanindya Maheswari Gunadi binti Gunadi. Yang pertama adalah saat Hanin masih dalam keadaan mengandung, Dharma menikahi Hanin secara hukum negara, agar anak Hanin bisa memiliki akta dengan nama orang tua yang lengkap. Hari ini Dharma harus mengucapkan akad kembali untuk mengesahkan pernikahannya secara agama, setelah Hanin melahirkan putranya. Semua ini terjadi merupakan keinginan dari Damayanti, yang mengetahui jika Hanin adalah cinta pertama suaminya. Setelah sah menjadi suami istri secara hukum negara dan juga agama, Dharma dan Hanin mendekat ke brankar di mana Damayanti terbaring tak berdaya. Sebuah senyum coba Damayanti berikan kepada suami dan madunya.
“Harus bulan madu?” tanya Handa sambil merapikan dasi Satria. “Kalau hanya mau gituan di rumah juga bisa, di apartemen juga bisa ….”“Gituan apa?” tanya Satria dengan nada menggoda.Direngkuhnya tubuh sang istri hingga membuat pasangan suami istri hanya terpisahkan oleh pakaian yang mereka kenakan. Seolah sedang mencari energy tambahan di pagi hari, Satria langsung menyatukan bibirnya dengan Handa. Sesaat, Handa dan Satria terlena dalam keintiman yang mereka ciptakan.“Kamu pernah ke luar negeri sebelumnya?” tanya Satria sambil mengatur napasnya, sesaat setelah melepas bibirnya.“Belum,” jawab singkat Handa, jujur apa adanya.Bagaimana mungkin ke luar negeri, kalau jalan-jalan ke mall saja Handa harus berpikir berulang kali. Tetapi bukan berarti Handa tidak pernah ke mall, karena Dharma memiliki counter di sebuah mall, membuat Handa sering berkunjung ke mall saat harus membantu sepupunya itu saat counternya ramai, biasanya pada saat akhir pekan. Dan sudah tentu rasanya jalan-jalan di
“Jangan menangis, Pa! Handa jadi sedih kalau melihat Papa menangis,” ucap Handa sambil menyeka air mata sang ayah yang kini harus berada di atas kursi roda.“Papa lelaki yang berlumur dosa ….” Ada kata yang tertahan dan seakan sulit untuk diucapkan karena di dahului oleh suara tangis penuh penyesalan.Handa pun berjongkok di hadapan Gunadi lalu meraih tangannya. Diciumnya tangan sang papa, berusaha untuk memberikan kekuatan. Tetapi tampaknya untuk saat ini Gunadi benar-benar sedang rapuh dan terpuruk.“Sebagai seorang laki-laki, papa telah menghancurkan masa depan ibumu. Dia adalah wanita yang baik yang tidak seharusnya papa perlakukan dengan buruk.”“Pa ….” Untuk pertama kalinya Handa mendengar Gunadi membicarakan ibu kandungnya. Sesuatu yang secara tiba-tiba mendorong Handa untuk lebih mengenal wanita yang telah melahirkannya. Dan tentunya, dia ingin bertemu dengan sang ibu yang sampai saat ini tidak dia kenal.Rasa ingin tahu
Satria menatap wajah lelah Handa. Perjalanan jauh dari ini membuat Handa seolah sudah tidak memiliki energy lagi. Sesampainya di apartemen milik keluarga Argawinata, Handa langsung merebahkan tubuhnya di kamar yang akan menjadi kamar utama untuk mereka.Untuk mengisi waktu sambil menunggu Handa bangun, Satria menyibukkan diri dengan memasak. Pewaris tunggal Arga Group itu sama sekali tidak terlihat kaku saat memasak. Sejak masih kuliah, Satria memang sudah terbiasa hidup mandiri, begitu juga urusan makanan. Tidak jarang dia memasak sendiri, meskipun hanya masakan sederhana dan praktis.Setelah semua masakan telah matang, Satria segera membangunkan Handa. Dia tidak ingin sang istri dalam keadaan perut kosong yang dapat menurunkan kesehatan, yang tentunya bisa mengganggu acara mereka untuk liburan dan bulan madu.“Han! Bangun! Makan dulu, yuk!” ajak Satria dengan suara lembut kala membangunkan Handa.Dengan mata yang masih terpejam, Handa melenguh sambil menggeliat untuk meregangkan oto
Handa sangat terharu melihat kedekatan dua pria bersaudara di depannya. Betapa rukunnya hubungan antara Satria dan Asta. Kini Handa baru menyadari, jika bulan madu yang direncanakan oleh Satria adalah salah cara agar dia bisa bertemu kembali dengan saudaranya itu.Melihat kebahagiaan Satria dan Asta membuat Handa teringat dengan Hanin yang saat ini sudah menikah dengan Dharma, sepupu mereka. Pernikahan yang sebenarnya tidak mendapat restu dari Gunawan itu, tetap dilaksanakan untuk mewujudkan permintaan terakhir dari Damayanti istri pertama Dharma yang meninggal karena menderita kanker paru-paru.Beberapa kali Asta segera mengalihkan pandangannya saat tatapan matanya bertemu langsung dengan Handa. Ada rasa bersalah yang sampai saat ini masih terasa menggunung karena tipu muslihat yang dia lakukan mengakibatkan Handa harus mengalami keguguran.“Putramu sudah lahir, kau ingin melihatnya?” tanya Satria sambil menyodorkan ponselnya yang sedang menunjukkan video bayi mungil yang didandani s