Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend
Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag
Pagi hari yang cerah di kota Semarang, seorang gadis berusia sekitar 22 tahun memasuki sebuah warung soto di pinggir jalan, hampir setiap pagi warung itu ramai oleh pengunjung yang hendak sarapan. Dia meletakkan tas ransel di kursi dekat gerobak, melepas jaket dan melipat asal lalu diletakkan di atas tas tersebut. Setumpuk mangkok kotor sudah menunggunya untuk segera dicuci. Karena memang sudah terbiasa, dengan gesit gadis itu mengerjakan pekerjaan tersebut, hingga tak butuh waktu yang lama pekerjaan tersebut sudah dia selesaikan.Handayani Tunggadewi Gunadi yang biasa disapa Handa, setiap pagi membantu di warung soto tersebut. Warung soto milik Gunawan pakdhenya, orang yang merawat Handa selama ini. Tetapi karena hari ini Handa ada jadwal bimbingan skripsi dengan dosennya sehingga tidak bisa banyak membantu di warung tersebut seperti biasanya. Handa menatap ke jam dinding yang di pasang asal
Semangkok soto panas dengan uapnya masih mengepul tampak sedap dan nikmat dengan suwiran ayam dan rajangan daun bawang di atasnya. Dua sendok penuh sambal ditambahkan, lalu jari lentik memeras dua iris jeruk nipis, baskom berisi aneka sate ditarik mendekat lalu beberapa sendok kuah sate ditambahkan sebagai ganti kecap agar soto tidak terlalu manis. Dengan perlahan Handa mulai mengaduk soto racikannya. Belum sempat ia menyuap tiba-tiba ponselnya bergetar. Handa terkejut seakan tak percaya saat membaca nama di ponselnya."Papa." Handa bergumam pelan, lalu segera menjawab panggilan tersebut."Papa!" Handa meletakkan kembali sendoknya. Damar sepupu Handa, anak kedua Gunawan mendatangi Handa, dan dengan jahilnya tanpa sepengetahuan Handa, Damar menambahkan satu sendok sambal.
Handa sudah tiba di Stasiun Gambir, pandangan Handa menyapu seisi stasiun sejak keluar dari Kereta Api Argo Bromo Anggrek. Hingga pandangannya berhenti pada seorang lelaki paruh baya yang berbadan kurus, tetapi kulit bersih dan pakaiannya yang rapi membuatnya masih terlihat tampan, dia adalah Gunadi ayah kandung Handa.Ayah dan anak itu saling melempar senyum, lalu Handa dan Gunadi berjalan perlahan saling mendekat untuk memangkas jarak di antara mereka, tapi tak lama kemudian karena rasa rindu yang sangat mendalam membuat Handa kehilangan kesabaran dan segera berlari menghambur ke pelukan Gunadi sang ayah."Papa." Erat Handa memeluk Gunadi sambil memejamkan matanya.Ayah dan anak itu saling berpelukan melepas rindu, rasa hangat dari pelukan seorang ayah yang sudah lam
"Aku tidak mengundangnya, aku tidak ingin dia ada di acaraku pa, aku tidak ingin melihat dia ada di sini." Dengan penuh amarah dan menatap tajam ke arah Handa, Hanin melontarkan kata-kata penolakan atas kehadiran adiknya.Handa mendengus kasar dan membalas tatapan mata Hanin. Nafasnya mulai tak beraturan menahan emosi. Bisa saja saat ini juga Handa berbalik dan kembali lagi ke Semarang, tetapi ketika dialihkannya pandangan ke arah Gunadi dan Marini yang tampak sedih dan kecewa, Handa mengurungkan niatnya tersebut. Hingga mulai terdengar suara isak tangis Marini yang membuat suasana terasa semakin mencekam."Aku baru tiba ... lelah. Aku mau istirahat," ucap Handa, seakan tidak mempedulikan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hanin.Handa memberanikan diri melangkahkan
Makan malam dalam suasana yang dingin mencekam, hanya suara dentingan sendok yang bergesekan dengan piring yang mengisi ruangan. Handa sangat menikmati makan malam, karena hanya itu yang dia inginkan malam ini, menikmati makan malam. Berbeda dengan Hanin, dia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil menatap tajam Handa yang tampak lahap menikmati makananya. Hanin tidak pernah ingin melihat Handa bahagia, bahkan menyaksikan Handa menikmati makanannya pun sangat menyakitkan bagi Hanin. "Makan Nin!" Suara lembut Marini membuat suasana makan malam yang dingin tampak semakin mencekam. "Nggak nafsu, Ma, melihat ada orang makan dengan rakusnya seperti orang kelaparan," jawab Hanin dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari Handa. Handa yang makan tanpa sendok,
Pernikahan Hanin kurang dari satu minggu lagi akan dilaksanakan, tetapi setelah keributan saat makan malam itu Hanin belum pulang. Di kamarnya, dengan perasaan cemas Marini berusaha menghubungi Hanin. Sepertinya Hanin mematikan ponselnya sehingga tidak bisa dihubungi. Dari jendela, Marini menyaksikan kedekatan Gunadi dengan Handa yang sedang menikmati kopi di taman. Keduanya tampak bahagia melepas kerinduan yang telah lama terpendam dan merasa tidak ada yang mengganggu kebersamaan mereka. Marini kembali meneteskan air mata menyaksikan suami dan anaknya seakan tidak mempedulikan keberadaan Hanin sekarang. "Mengapa kau hadir dan menghancurkan kebahagiaan kami?" Gumam Marini sambil mengenggam erat ponselnya. Kembali Marini mencoba menghubungi Hanin "Angkat nak! Ini mama." Punggung Marini bergetar, suara isak tangisnya mengisi ruangan yang menjadi saksi kesedihan yang ia harus rasakan sendiri. Bahkan Gunadi sang suami justru terlihat sangat bahagia bersama Handa, putri bungsunya. ***