“Kak mana kunci rumahnya?,” tanya Mella.
“Eh kamu lagi, di tas kakak di bagian depan, ambil sana sama kamu," ucapku sambil memberikan kunci mobil.Baru beberapa langkah Mella menjauh dari rumah berjalan menuju mobil, aku seperti mendengar suara sepatu orang yang berjalan di dalam rumah. Deg!, langsung aku kaget.Siapa yang di dalam rumah, apa kang Idim menginap di dalam? Tapi gordeng jendala masih tertutup, aku tidak bisa melihatnya.“Kang... Kang... Akang di dalam ini aku Fedi,” teriakku.“Ya gimana akang ada di dalam kan kuncinya ini baru aku bawa,”Deg! Suara Mella mengagetkan aku, beneran aku sangat dibuat kanget!.“Ah kamu lagi, kaget kakak ini,” ucapku dengan nada yang masih penuh keheranan.“Lah emang benerkan kuncinya ini, lagian harus teriak-teriak aneh, kenapa sih?,” ucap Mella.“Gapapa Mel, mana sini, yuk kita buka,” ajakku.Saat aku mau membukaPikiranku fokus pada yang Mella bilang soal “Nenek menangis” entah kenapa hal itu yg paling kuat aku pikirkan, setelah kejadian melukis pohon beringin itu.“Gubrakkk...”Kaget sekali suara itu kencang, aku bahkan sadar tidak sadar mendengar suara itu. Aku buka mata, mencari hp aku lihat jam 1:30 dini hari.“Tumben aku ketiduran, biasanya mata ini susah diajak tidur,” ucapku dalam hati.“Gubrakkk...”Suara itu lagi, mata masih mengantuk, aku berjalan menuju dapur, dalam keadaan lemas bangun dari tidur dengan sedikit sadar aku melihat perempuan berbalik badan.Rambutnya terurai, aku pikir itu Mella karena perawakanya percis dengan Mella. Tidak aku lanjutkan mendekat, hanya melihat dari pintu dapur saja, beberapa detik.“Paling dia laper mau bikin mie, atau manasin air buat bikin susu,” ucapku dalam hati.Karena memang kebiasaan dia di rumah seperti itu, aku lanjutkan tiduran karena sang
Sesekali memejamkan mata, baru saja mau terlelap.“Prakkk...”Otomatis aku kaget dan melihat hanya tas aku saja yang jatuh, tidak aku pedulikan sma sekali. Coba aku pejamkan mata, sialnya sosok rambut panjang yang aku lihat di dapur rumah Nenek jelas sekali ada ketika aku semakin memejamkan mata, semakin terlihat. Sial kenapa bisa seperti ini.Kembali bangun, aku masuk ke kamar Mella, sebelum aku masuk aku lihat Mella sedang menyisir rambutnya, tapi posisi dan kebiasaannya seperti bukan dia.“Mel woy..” ucapku.Mella tidak langsung menengok tetap menyisir rambut bagian belakangnya itu terus menerus.“Mella!!!!” teriakku.“Hah iya kak” jawab Mella, kaget“Lah kak ngapain aku di sini? Tadinya aku mau tiduran loh kak?," ucap Mella, heran sekaliAku paham sekarang kejadian semalam belum beres, gangguan itu belum beres, semuanya harus selesai dan hanya ibu yang aku pikir tau bagaimana menye
SarminahMungkin kalau ada orang yang kebetulan melintas di jalan Tanjung Sari, mereka tidak akan memperhatikan sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan tersebut, karena memang tidak ada yang menarik dari rumah itu.Cat rumahnya sudah memudar, ada dua tiang sebagai penyangga di bagian depan, juga dua jendela kayu yang dibiarkan terbuka walau hari sudah semakin gelap. Di halamannya, berdiri dengan subur dan rindang sebuah pohon rambutan yang buahnya tidak pernah dipetik. Dibiarkan matang dan busuk begitu saja sepanjang tahun.Di teras rumah ada dua kursi kayu dan sebuah meja yang jarang sekali diduduki. Rumah itu terletak di pinggir jalan sehingga setiap orang yang melintas akan berpikir kalau rumah itu terkesan selalu sepi walau sebenarnya ada dua orang penghuni di dalam. Penghuni rumah itu adalah Sarminah, wanita tua yang terbaring sakit selama bertahun-tahun, dan Atiah si pembantu yang setia merawatnya.Tapi hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, ada s
Kita Bunuh DiaSuara gong terdengar hanya sekali, perlahan Farah membuka pintu kamar tempat penyimpanan alat-alat musik ronggeng milik Sarminah. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya ada alat-alat musik ronggeng yang terbungkus sarang laba-laba. Ia kembali ke kamar Sarminah, sontak saja Farah berteriak saking kagetnya lantaran melihat Sarminah duduk di atas kasurnya dengan keadaan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Setelah sekian lama sakit, baru kali ini Farah mendapati buyutnya duduk seperti itu.“Bunuh aku. Susuk mayat....”Suara yang keluar dari tenggorokan Sarminah terdengar sangat kering dan ringkih. Farah tidak mengerti apa yang sedang diucapkan buyutnya itu.“Mbok? Udah bisa duduk?” tanya Farah sambil menampakkan wajah ketakutan.Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Farah bergegas membukanya, mereka sudah datang. Itu ternyata kerabat Farah yang juga masih keturunan Sarminah, sebenarnya Farah meminta semu
Aku Bukan PencuriDi suatu pagi sepulang dari hutan, Sarminah mendapati Mbok Ibah terkapar di halaman rumah. Ia meninggal. Malangnya nasib Sarminah, ia harus hidup sebatang kara di gubuk reot. Bayang Mbok Ibah selalu ada dalam benaknya. Apalagi kalau melihat barang-barang peninggalannya, sudah pasti Sarminah menangis tersedu-sedu.Ia mewarisi profesi Mbok Ibah, jadi tukang pijat. Demi mencukupi kebutuhan hidup, ia harus rela memijat bapak-bapak yang kulitnya keras. Tak jarang, mereka juga bau ketiak. Terkadang Sarminah muntah-muntah setelah memijat mereka.Sarminah tidak mau nasibnya berakhir jadi tukang pijat selamanya. Sampai pada akhirnya ia ingin menjadi penari ronggeng saja. Namun, orang-orang selalu meledeknya. Bahkan, orang-orang itu bersumpah demi semua dedemit di muka bumi ini. Bagi mereka, Sarminah mustahil bisa menjadi penari ronggeng.“Mana ada penari ronggeng wajahnya jelek sepertimu, Sarminah?""Jangan mimpi!""Sangat mustahil. Mau s
Nini Bogemmerawat wanita malang itu setiap hari. Kaki kiri yang sudah buntung dilumuri rempah-rempah agar lukanya cepat pulih. Setiap hari ia mengganti kain pembungkus kaki Sarminah. Anehnya, luka itu tidak kunjung sembuh, malah semakin parah. Kakinya bernanah, mengeluarkan bau busuk, memar menjalar ke betis Sarminah. Setiap malam ia tidak bisa tidur karena menahan rasa sakit yang seperti membakar kakinya.“Abah,” tengah malam Sarminah membangunkan Sadiman. Ia tidak kuat menahan sakit.“Iya Sarminah?” masih dalam keadaan kantuk, Sadiman menghampiri wanita yang sedang kesakitan itu.“Susuk mayat itu. Apa aku masih boleh memakainya?”“Tentu Sarminah. Kau akan sembuh dan berwajah cantik.”“Berikan aku susuk itu, Bah. Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit.”“Baik, nanti abah carikan daging mayat manusia," Sadiman menyeringai senang.“Seberapa banyak aku harus memakannya?&rd
Sudut pandang BastianSore ini, di tahun akhir masa sekolah di mana aku sedang duduk santai di belakang rumah, sehabis pulang membantu Bapak berjualan sembako yang menjadi aktivitas baruku. Sembari menunggu hasil pendaptaranku ke salah satu universitas di kota kembang.Sebagaimana harapan Ibu yang harus melanjutkan jenjang pendidikanku, karena aku ingat betul “selagi ibu dan bapak masih bisa mengusahakan tugas adek dan kak Salsa harus mengenyam pendidikan yang cukup, bahkan lebih,".Walau keluargaku terbilang cukup, bahkan lebih, tapi kesederhaan adalah hal yang diajarkan dalam keluarga, kepadaku. Ibu adalah salah satu pengajar senior di salah satu Sekolah Dasar (SD) di kota ini dan Bapak berjualan sembako, lama sekali bahkan semenjak aku kecil sudah berjualan.“Bas, bagaimana hasil pendaftaranmu itu sudah ada kabar dari guru BK?,” ucap Ibu, sambil duduk di sampingku dan membuyarkan lamunanku tentang bagaiman nantinya akan berpindah jika benar-b
Setelah ibu pergi, mang Yaya langsung mengajaku ke halaman belakang sambil basa-basi dan menjelaskan sedikit soal rumah ini, lebih kepada perkerjaan mang Yaya.Memang hanya bagian dapur dan halaman belakang yang belum aku ketahui soal rumah ini, yang belum sempat Ibu dan juga Bapak jelaskan. Perlahan berjalan sambil tidak hentinya mang Yaya bercerita, melihat keadaan dapur yang luas, sama halnya dengan kesan pertama depan rumah, bagian tengah rumah dan bagian ruangan lainya, kesan tua masih saja menempel hal yang sama pada ruangan dapur juga.“Wih keren yah mang masih ala-ala jaman dulu banget,” ucap kak Salsa, saking kagumnya melihat isi ruangan dapur, matanya jelas berkeliling melihat isi dapur, hanya perlengkapanya saja yang terlihat jaman sekarang mungkin mang Yaya juga yang menyiapkanya“Benar kak, gak ada sama sekali dari bangunan rumah ini yang diubah, nilai sejarah mungkin yang teteh ingin pertahankan atau…,” jawab mang Yaya, tib