Bandung, sekitar tahun 2007, udaranya masih tergolong dingin. Suhu terendah bisa menyentuh 14 derajat celsius, kabut masih sering terlihat tebal pada pagi hari.Dan yang lebih seru lagi, waktu kamar mandi kost-ku masih menggunakan bak mandi, setiap subuh permukaan airnya membeku, alias menjadi lempengan es karena begitu dinginnya. Mungkin memang dipengaruhi faktor daerah Ciumbuleuit–Dago-Dipatiukur masih termasuk wilayah Bandung bagian atas alias dataran tinggi.Begitulah gambaran Bandung ketika itu.Hujan angin disertai petir menemaniku ketika sedang mengemasi barang-barang di tempat kost yang lama. Bandung waktu itu memang sedang di berada tengah-tengah musim penghujan.Sebenarnya cukup berat meninggalkan tempat kost-ku yang di Ciumbuleuit ini, selama tiga tahun lebih aku menempatinya. Ibu dan Bapak pemilik kost sangat baik memperlakukan aku. Walaupun terhitungnya masih keluarga jauh, tapi mereka menganggapku anak mereka sendiri.
Rumah ini terhitung sudah cukup penuh penghuninya. Aku, Asep, Doni, dan Irwan masing-masing menempati kamar yang ada di lantai dasar bangunan utama. Sedangkan Nando sendirian menempati kamar yang letaknya di bagian belakang, bersebelahan dengan gudang, berhadapan langsung dengan taman terbuka.Sedangkan Memi dan Sisi menempati dua kamar yang ada di lantai atas, seperti yang sudah aku ceritakan di awal.Tetapi, ada satu kamar yang belum terisi sejak kami menempati rumah itu. Kamar yang masih kosong ini letaknya persis di sebelah kanan kamarku.Kamar ini ukurannya lebih kecil dari kamar lainnya, memiliki jendela yang langsung menghadap keluar. Kamar ini juga sudah dilengkapi perabotan dasar di dalamnya, ada tempat tidur, lemari pakaian, dan meja. Beberapa kali aku sempat masuk ke dalamnya, karena memang ada beberapa barang tidak terpakai yang kami letakkan di situ.Mungkin memang karena tidak berpenghuni dan jarang ada orang yang memasukinya, suasana di
Rumah ini, entah bagaimana, udara di dalamnya selalu segar dan nyaman, membuat semua penghuninya betah tinggal berlama-lama. Padahal struktur bangunannya bukan struktur bangunan yang dibuat sengaja untuk mempermudah aliran udaranya agar mengalir lancar, jendelanya tidak terlalu banyak, langit-langitnya juga tidak terlalu tinggi. Agak aneh sebenarnya, terkadang suhu di dalam lebih dingin dari suhu di luar. Tapi ya tetap saja, kami tidak terlalu memikirkan keanehan itu, karena kami memang nyaman-nyaman saja. Banyak yang bilang, mungkin karena Bandung memang cuacanya selalu dingin, tapi terkadang ada juga rumah yang di dalamnya pengap dan panas, padahal suhu di luar dingin, entah mungkin sirkulasinya yang kurang bagus, atau ada sebab-sebab lain.Suasananya seperti di rumah kami sendiri, tidak seperti tempat-tempat kost yang lain.Teman-teman kami pun lebih sering menjadikan rumah ini sebagai tempat berkumpul untuk sekadar ngobrol atau mengerjakan tugas kuliah, t
Kami mendengar dan merasakan semuanya, di Rumah Teteh.. Setelah kejadian di kamar Sisi, gak bisa dipungkiri kalau gw jadi berbeda memandang keberadaan Teteh, walaupun tentu saja tetap ketakutan apabila harus bertemu, dan situasinya tetap mencekam."Percakapan" kami waktu itu sedikit banyak menjawab beberapa pertanyaan yang ada di benak, Semakin terbuka dan jelas, tapi tetap saja masih banyak minteri yang belum terungkap.Dan sepertinya, kalau mau dirunut ke belakang, penampakan dan kehadiran Teteh ternyata banyak "pesan" terselubung yang ingin disampaikan.Berbagai kejadian seram dan mencekam, waktu dan hari kejadiannya, semua menjadi serangkaian momen hidup yang ada alasannya, ada penjelasan di balik semuanya.Karena gak hanya gw, semua penghuni rumah juga merasakan hal yang sama. Aneh, gak masuk akal, tapi begitu adanya..Dari ketika Teteh ikut ibadah bersama Asep, melarang Nando dan Doni untuk berpacaran di rumah sampai lupa waktu, mengingatka
Begini ceritanya; sekitar lima tahun yang lalu, ketika aku baru saja menjadi mahasiswa di kota Bandung, seperti kebanyakan mahasiswa rantau lainnya, aku juga mencari-cari tempat kos yang kira-kira dekat ke kampus. Karena belum punya teman dan tak punya saudara di sini, atau orang yang kukenal, aku mencari tempat kos sendiri saja.Selesai menyelesaikan semua urusan pendaftaran di kampus tempat aku diterima, aku langsung keluar kampus untuk mencari tempat kos. Untung aku datang lebih awal dan saat loket pendaftaran dibuka aku menjadi antrean pertama. Akhirnya aku bisa menyelesaikan semua urusan pendaftaranku lebih awal. Kira-kira pukul sebelas aku sudah keluar kampus.Setiba di luar gerbang, aku merasa sangat bingung. Aku benar-benar tak tahu tentang kota Bandung ini dan aku juga tak punya siapa-siapa yang kukenal di sini. Malah dalam pikiranku, seandainya sampai malam nanti aku masih belum menemukan tempat kos, aku akan menginap di kampus saja. Tapi pikiran itu segera
Aku memberanikan diri berbelok ke kamar mandi. Di depanku terdapat dua kamar mandi. Yang satu terbuka dan satu lagi tertutup. Dari celah di bawahnya, aku tahu lampu di kamar mandi itu tidak menyala. Tapi anehnya, aku mendengar suara siraman dan percikan air begitu gaduh. Kurasa seseorang di dalam itu sedang mandi habis-habisan.Dalam hati aku berujar lega, untung ada orang. Kukira aku sendirian saja di tempat kos ini. Senang dengan perasaan itu aku langsung masuk ke kamar mandi di sebelahnya setelah menekan saklar lampu di samping pintu. Yah, lagi-lagi lampu kuning. Aku tak suka lampu kuning. Suram. Sabun putihku jadi berwarna kuning kusam.Aku sudah sampai pada setengah dari acara mandiku ketika kusadari siraman-siraman air di sebelah kamar mandiku sudah tak terdengar lagi. Aku berpikiran mungkin ’dia’ sudah selesai. Tapi aku tak yakin berpikir begitu karena aku tak mendengar suara pintu dibuka. Seharusnya aku dengar karena ku tahu pintu kamar mandi itu
Kala itu langit mendung dan hujanpun tak dapat dihindari. Seorang gadis belia berteduh di halte sambil menunggu bus datang. Sepi, tak ada seorangpun di sana selain dia dan nyanyian para katak yang senantiasa menemani kesendiriannya.Jam menunjukkan pukul 18:00 WIB, sudah seharusnya dia berada di rumah, namun karena suatu hal, hari itu dia terlambat pulang.“Tumben baru pulang,” suara yang familiar menyambutnya dengan akrab saat dia menaiki bus yang baru saja berhenti di depan halte.“Iyah pak, tadi di sekolah ada tugas tambahan,” jawabnya dengan tersenyum lebar.“Yo wis, cepat naik, biar bisa sampai rumah cepet. Udah magrib ini,”Selang beberapa menit,“Tumben bener bus-nya kosong pak. Biasanya jam segini banyak karyawan yang pulang,"Tak ada jawaban dari pak sopir yang dikenalnya sebagai pak Sapto. Tetangga dekat rumah Aini, nama gadis itu. Mungkin dia tidak dengar karena memang Aini duduk di barisan
Bus terbakar hingga tak menyisakan satupun benda hidup. Begitulah kabar yang tertulis pada selembar koran. Namun, ada rahasia besar dibalik peristiwa itu yang tak semua orang ketahui. Rahasia yang hanya diketahui oleh Aki Toha, Nek Ira dan anak gadis yang selamat, Andini.“Toha, aku yang cerita apa kamu?,” teriak Nek Ira memanggil Aki Toha yang seakan mendengarkan dengan seksama cerita Nek Ira di balik pintu kamar, tak ada jawaban.Nek Ira pun melanjutkan ceritanya, seakan tanda diam adalah sebuah persetujuan dari Aki Toha. Aki Toha adalah seorang supir bus, sudah lama ia geluti pekerjaan ini semenjak ia masih muda.Namun, semenjak istrinya meninggal, Aki Toha tinggal bersama kakaknya di rumah ini. Saat pertama kali datang ke sini, Aki Toha sedang mengganggur dan ditawarilah ia sebagai supir di yayasan penyalur TKI itu, dia merangkap dari supir pribadi dan umum.Awalnya Nek Ira tidak setuju mengingat Aki Toha sudah bukan anak muda lagi, dan pekerjaany