Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Gauri berpikir setelah meminum obat pereda nyeri maka sakit perutnya akan beransur hilang. Namun hingga pagi menjelang sakit pada bagian bawah perutnya itu tak kunjung membaik. Bahkan sampai membuat Gauri terlihat semakin pucat sebab semalam tidurnya tak terlalu nyenyak.Sebenarnya Gauri bisa saja meminta izin untuk tidak masuk bekerja hari ini namun mengingat pekerjaan yang sangat banyak membuat Gauri mengurungkan niat."Assalamualaikum!" Gauri sedang bersiap-siap saat seseorang mengetuk pintu kosannya."Walaikumsalam!" jawab Gauri dengan sedikit sempoyongan menuju pintu. "Eh, Bu Gayatri," lirih Gauri saat melihat eksistensi ibu kosnya, Gayatri."Loh, Gauri kamu ke mana?" tanya Gayatri dengan wajah khawatirnya mengamati Gauri dari ujung kaki hingga kepala."Kerja, Bu.""Kamu kan lagi sakit. Kok malah mau berangkat kerja?" tanya wanita paruh baya itu lalu membawa Gauri untuk masuk.Gayatri meletakkan rantang berisi makan
"Jadi, bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Ilham sedikit tidak sabaran. Dokter dengan jilbab putih itu sampai tersenyum kikuk sebab dia bahkan belum selesai memeriksa keadaan Gauri. Namun dia maklum setiap orang pasti sangat khawatir melihat sanak keluarga atau orang spesial mereka sedang sakit."Dari hasil pemeriksaan ... Mbak Gauri baik-baik aja. Hanya kelelahan," jawab dokter itu. "Saya akan memberinya obat. Bahkan jika Mbak Gauri mau pulang sekarang juga boleh," lanjutnya tersenyum manis ke arah Gauri.Tak beda jauh dengan Gauri yang juga tersenyum lega. Sarah yang berada di samping Gauri pun ikut mengucap 'Alhamdulillah' karena ternyata Gauri baik-baik saja."Terimakasih, Dok," ujar Gauri."Iya sama-sama," balas dokter itu seraya membereskan peralatannya. Dia lalu menoleh ke arah Ilham. "Mas-nya gak usah terlalu khawatir. Mbak-nya baik-baik aja kok," sambung dokter itu. Gegalat Ilham terlalu kentara jika pria itu memiliki perasaan pada
Suasana begitu canggung setelah insiden pelukan tadi. Gauri hanya bisa menunduk tanpa bisa melihat ke arah Satya. Jantungnya masih bekerja dua kali lipat dan dia juga yakin jika sekarang pipinya tengah memerah. Tersipu malu."Maaf saya udah lancang meluk kamu tadi," ujar Satya. Pria itu merasa harus meminta maaf melihat wajah tidak nyama Gauri. Itu sebuah refleksi tubuh Satya. Otaknya tak lagi bisa menahan tubuhnya tadi. Mungkin karena terlalu khawatir melihat keadaan Gauri yang memprihatinkan.Dalam hati Gauri tak lagi ingin membahas hal itu karena hanya akan membuatnya teringat bagaimana harumnya tubuh Satya saat memeluknya tadi. Jangan lupakan juga sensasi hangat dan nyaman yang ciptakan dari pelukan itu.'Ya Allah! Aku mikir apa sih?' Gauri memarahi dirinya sendiri.Gauri meluruskan kepalanya. "Iya, gak apa-apa." Walau dengan tangan yang masih saling meremas di balik selimut. "Maaf juga udah bikin Mas Satya khawatir dan harus pulang," kata Gau
Maria, wanita berusia 49 tahun itu hanya bisa menggeleng pasrah melihat bagaimana putrinya yang sedang bersolek di depan cermin seraya tersenyum manis."Kamu udah cantik banget itu, Ri. Mau sampai kapan dandannya? Itu Clara udah nungguin loh dari tadi," ujar Maria mengingatkan Gauri Alidya--putrinya--jika sahabat karibnya Clara Utari sudah menunggu. Bahkan sejak tiga puluh menit yang lalu."Iya, Bu. Bentar lagi," jawab Gauri masih sibuk memakai eyeshadow untuk mempercantik matanya."Iya, Ri. Bener. Emang kamu mau pengantinnya minder karena lebih cantikan tamunya?" Clara gadis berusia 27 tahun;seumuran dengan Gauri itu ikut menggoda Gauri."Ya ampun kalian ini ganggu aja. Nanti make up-nya gak selesai loh ini," protes Gauri menatap jengah kedua wanita yang sedang berdiri di ambang pintu.Maria dan Clara tersenyum puas karena berhasil menggoda Gauri. Keduanya memilih mengobrol di ruang tamu seraya menunggu Gauri selesai. Butuh waktu sekitar sepuluh menit dan Gauri pun datang dengan gaun
Gauri memang suka menjadi pusat perhatian semua orang. Saat dia mendapat peringkat pertama di sekolah, mendapat beasiswa di universitas bergengsi serta menjadi pegawai teladan di kantor. Namun saat ini untuk pertama kalinya Gauri tidak menyukai saat dirinya menjadi pusat perhatian."Gauri Alidya."Sejak Satya menyebut namanya, dunia Gauri seakan terhenti. Bahkan dia sudah tidak sadar ponsel yang sejak tadi di tangan kini jatuh di atas lantai hingga membuat layarnya rusak parah.Semua orang kaget akan pernyataan Satya. Si pengantin wanita sampai menangis keras seraya memeluk sang ibu. Lia tak kuasa mendengar kenyataan yang begitu pahit."SATYA!!!" teriak Ayah Lia murka."Maaf, Pak. Tapi tolong mengertilah. Saya tidak bisa menikah dengan Lia saat saya mencintai orang lain," ujar Satya membuat semua orang di sana semakin marah.Sementara Gauri hanya bisa bergeming di tempatnya. Jujur dia sedang mencoba mencerna apa yang terjadi di sini. Bahkan beberapa pertanyaan dari Clara dan orang-or
Gauri tidak mengerti kenapa dia malah terjebak di sini. Ya. Di rumah Satya bersama pria itu dan orangtuanya. Tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Hal yang membuat Gauri malah makin gugup."Gauri?" Hingga suara lembut Ibu Satya; Indah, memanggil Gauri membuat wanita itu mendongak."Iya, Bu," jawab Gauri dengan rasa gugup yang masih mendominasi. Tangan wanita itu saling meremat satu sama lain. Sungguh rasanya seperti sedang disidang."Kamu gak ngidam apa-apa, Nak?" tanya Indah kini beralih duduk di samping Gauri sambil mengelus tangan wanita itu lembut.Oh iya. Gauri lupa jika semua orang tahunya dia sedang hamil. Gauri melirik ke arah Satya seakan bertanya apa yang harus dia katakan. Namun pria itu justru tersenyum tipis. Dasar pria menyebalkan. Gauri merubah ekspresi wajahnya saat menoleh kembali ke arah Ibu Satya."Gak kok, Bu. Gauri gak ngidam apa-apa," jawab Gauri tersenyum."Beneran? Kamu gak usah malu, Nak. Kalau memang ada yang kamu mau langsung bilang saja sama I
Gauri beberapa kali menghela napas berat seraya meremat tangannya sendiri. Dia sekarang berada di dalam kamar. Duduk sendirian di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat kesal. Bagaimana tidak, setelah menjelaskan semuanya Satya pamit pulang meninggalkan Gauri sendirian dalam keluarga yang masih kacau. Ck! Tidak akan meninggalkan Gauri? Buktinya pria itu tetap pergi dari sana tanpa peduli dengan keadaan Gauri. Sepertinya Gauri salah karena sudah terbawa perasaan tadi. Tapi untuk apa juga Satya tetap berada di sana? "Ah, bener juga," gumam Gauri merasa dirinya begitu bodoh. Sebenarnya apa yang dia harapkan dari hubungan ini?Tok ... Tok ... TokGauri mendongak melihat siapa yang datang melewati pintu kamarnya."Clara," lirih Gauri sedikit tersenyum melihat eksistensi Clara di sana. "Kirain kamu udah pulang," kata Gauri tanpa mengalihkan pandangan dari Clara yang kini duduk di sampingnya."Gimana bisa pulang dengan keadaan kayak gini, Ri," ketus Clara memasang wajah kesal.Gauri tersenyu