Persiapan pernikahan dilakukan dengan cepat. Gaun pernikahan, catering dan segala macamnya. Untung saja dua paman Gauri meminta bantuan keluarga yang lain. Membagi tugas agar semua bisa selesai tepat waktu.
Walau itu berarti Gauri harus menjawab puluhan pertanyaan---yang intinya sama saja--- dari para keluarga yang datang. Ingin menutupi juga percuma karena berita cepat sekali tersebar apalagi dikawasan perkampungan. Bisa dikatakan Gauri dan Satya seketika jadi buah bibir semua orang.
Gauri sendiri jadi malu untuk keluar rumah membuatnya hanya bisa berdiam diri di kamar. Seperti orang bodoh. Dia hanya akan keluar jika itu hal mendesak. Itupun Gauri akan mengenakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya.
"Padahal aku gak ngapa-ngapain, terus kenapa sih aku harus ngerasa takut dan malu kayak gini?" erang Gauri frustasi melempar masker yang ia kenakan. Andai saja tidak teringat janjinya mungkin Gauri akan ke mesjid dan mengumumkan jika semua yang terjadi adalah kebohongan yang dibuat Satya.
Gauri dan Satya baru saja pulang dari kantor KUA untuk mengurus surat nikah.
"Gauri?" panggil Satya.
"Apa?" ketus Gauri tanpa berbalik sedikitpun ke arah Satya.
"Saya mau pamit pulang."
"Ya udah pulang aja."
Gauri benar-benar kesal sekarang membuatnya berbicara sangat ketus. Satya hanya bisa memaklumi. Jika dia ada diposisi Gauri pun mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama.
"Assalamualaikum," kata Satya memberi salam.
"Walaikumsalam." Walaupun sedang marah Gauri tetap menjawab salam dari calon suaminya itu. Wanita itu masih ingat dosa rupanya. Namun dia tidak ingat jika mempermainkan sebuah pernikahan juga termasuk dosa.
Satya tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapih. Tingkah Gauri selalu berhasil membuatnya terhibur.
Satu minggu terasa berjalan begitu cepat. Besok Gauri akan resmi menjadi istri dari seorang Mahardika Satya. Meski bukan pernikahan yang Gauri inginkan, dia tetap merasa gugup dan deg-degan. Gauri menunduk melihat ukiran henna di tangannya.
Sangat indah dengan inisial namanya dan Satya. Untuk pertama kalinya Gauri tersenyum namun wanita itu segera menggeleng.
'Tidak, Gauri! Kamu gak boleh baper!' Ujar Gauri dalam hati mengingatkan dirinya akan batasannya.
Raut wajah yang semula berseri kembali murung. Bagi setiap wanita hari pernikahan menjadi hari membahagiakan dalam hidup jika pernikahan itu dilakukan dengan orang kita cintai. Namun dalam kasus Gauri berbeda. Bahkan dia hanya menjadi seorang tamu di pernikahan Satya. Tak pernah terbesik sedikitpun dalam benaknya jika kini justru dia yang akan duduk bersanding dengan Satya.
Seorang tamu yang menjadi pengantin.
Sungguh takdirnya begitu menggelikan.
"Eh, calon pengantin gak boleh kebanyakan bengong!"
Gauri sampai kaget dengan suara cempreng Clara yang entah kapan datang dan duduk di depannya.
"Bikin kaget aja kamu," protes Gauri dengan nada pelan seraya mengepalkan kembali tangannya.
"Liat dong!" Namun belum sempat dia menyembunyikannya Clara sudah menarik lagi tangan Gauri untuk melihat ukiran henna di sana. "Wah! Bagus banget, Ri!" pujinya membuat Gauri sedikit tersipu.
"Oh iya, Ra. Pintunya udah dikunci kan?" tanya Gauri tiba-tiba.
"Tenang aja. Udah aku kunci kok," jawab Clara cengengesan. Gauri ikut tersenyum lega. "Kamu males ya ketemu sama orang-orang?" lanjut Clara bertanya.
Gauri mengangguk pelan. "Iya. Soalnya mereka gak cuma nanya tapi juga mencibir. Sampai banding-badingin aku sama anak mereka. Aku dijadiin contoh yang gak baik."
"Ya Allah. Sampai segitunya, Ri?" Clara sama sekali tidak tahu hal itu. Dia pikir orang-orang hanya bertanya hal yang wajar tanpa menyakiti perasaan Gauri. Clara membawa Gauri dalam pelukannya. Pasti sangat sulit untuk Gauri melewati semua ini.
"Mereka pikir aku mau kayak gini? Aku juga gak mau! Aku juga pengen nikah tanpa ada cerita jelek di baliknya," kata Gauri terisak. Sungguh dia tak sanggup lagi menahan segala sesak dalam dadanya.
"Udah, Ri. Gak usah dipikirin. Orang-orang emang suka kayak gitu. Main hakim sendiri tanpa tahu rasa sakit seperti apa yang udah dilaluin sama orang yang mereka hakimi," kata Clara mencoba menenangkan Gauri.
"Tapi masalahnya aku gak ...." Hampir sama Gauri keceplosan mengatakan hal yang sebenarnya. Untung saja mulutnya masih bisa dia rem dengan baik.
"Iya, Ri. Aku ngerti." Dan untung saja Clara juga tidak terlalu mendengarkan perkataannya jika tidak wanita itu pasti akan mewawancarai Gauri sampai akhirnya wanita itu tidak bisa berkutik dan mengatakan semuanya.
Setelah merasa cukup baik, kedua sahabat itu mengurai pelukan. Clara dengan lembut menghapus air mata Gauri yang masih tersisa.
"Malam ini kamu tidur di sini aja, yah?" pinta Gauri pada Clara.
"Iyalah. Aku bakalan tidur di sini. Soalnya besok udah gak bisa lagi. Kamu udah jadi miliknya Kak Satya," kata Clara dengan nada menggoda.
"Ih ... apaan sih! Lebay tau gak!" protes Gauri memasang wajah kesal untuk menutupi rona merah yang menjalar di pipinya. Ah, Gauri tersipu hanya dengan kata-kata 'Milik Kak Satya'.
***
Hari yang ditunggu- tunggu akhirnya datang juga. Pernikahan dadakan Gauri dan Satya. Sekarang Gauri sudah sangat cantik dibalut gaun berwarna putih. Wanita itu menatap datar pantulan dirinya di cermin. Padahal ibunya sudah melarang agar Gauri jangan sampai bercermin, katanya pamali. Namun wanita itu tetap melakukannya.
Dan saat mendengar riuh suara dari luar kamar Gauri segera duduk di tepi tempat tidur seakan tidak melakukan apa-apa. Pintu terbuka dan di sana ada Maria, ibu Gauri dan Clara serta istri dari paman Darma dan paman Agung. Mereka yang akan mendampingi Gauri menuju tempat akad nikah.
"Udah gak usah gugup. Di sana Satya udah ganteng banget loh nungguin kamu," goda salah satu tante Gauri membuatnya malah semakin gugup. Bukan karena Satya yang katanya sangat tampan namun wanita itu tengah membayangkan bagaimana jika apa yang terjadi beberapa hari yang lalu di pernikahan Satya dan Lia juga terjadi padanya hari ini?
Dengan langkah pelan, Gauri digiring menuju tempat ijab kabul. Wanita itu sama sekali tidak menampilkan senyuman. Wajahnya justru terlihat begitu tegang. Dan saat sampai di samping Satya, Gauri menghela napas berkali-kali.
'Astagfirullah! Kenapa harus kumat sekarang sih?' Protes Gauri pada dirinya sendiri yang tengah dilanda rasa panik. Napasnya terasa begitu pendek. Hingga tanpa Gauri duga Satya memegang tangannya. Wanita itu pun menoleh.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Satya sedikit berbisik namun dengan nada yang begitu khawatir.
"Gak kok," jawab Gauri cepat. Secepat dia menarik tangannya agar tidak disentuh Satya. Namun tidak berhasil karena genggaman tangan Satya ternyata lebih kuat dari dugaan.
"Lepasin, Kak," pinta Gauri ikut berbisik.
"Ini supaya kamu bisa tenang, Ri," jawab Satya tanpa melihat ke arah Gauri.
Pada akhirnya Gauri mengalah. Dia membiarkan Satya menggenggam tangannya. Merasa tidak ada penolakan lagi membuat Satya melonggarkan sedikit genggaman tangannya. Ibu jarinya mengelus pelan tangan Gauri.
Ya. Satya berhasil membuat serangan panik Gauri beransur reda. Namun hal lain justru terjadi.
'Loh, kok malah deg-degan sih?'
Tbc...
Suasana begitu canggung setelah insiden pelukan tadi. Gauri hanya bisa menunduk tanpa bisa melihat ke arah Satya. Jantungnya masih bekerja dua kali lipat dan dia juga yakin jika sekarang pipinya tengah memerah. Tersipu malu."Maaf saya udah lancang meluk kamu tadi," ujar Satya. Pria itu merasa harus meminta maaf melihat wajah tidak nyama Gauri. Itu sebuah refleksi tubuh Satya. Otaknya tak lagi bisa menahan tubuhnya tadi. Mungkin karena terlalu khawatir melihat keadaan Gauri yang memprihatinkan.Dalam hati Gauri tak lagi ingin membahas hal itu karena hanya akan membuatnya teringat bagaimana harumnya tubuh Satya saat memeluknya tadi. Jangan lupakan juga sensasi hangat dan nyaman yang ciptakan dari pelukan itu.'Ya Allah! Aku mikir apa sih?' Gauri memarahi dirinya sendiri.Gauri meluruskan kepalanya. "Iya, gak apa-apa." Walau dengan tangan yang masih saling meremas di balik selimut. "Maaf juga udah bikin Mas Satya khawatir dan harus pulang," kata Gau
"Jadi, bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Ilham sedikit tidak sabaran. Dokter dengan jilbab putih itu sampai tersenyum kikuk sebab dia bahkan belum selesai memeriksa keadaan Gauri. Namun dia maklum setiap orang pasti sangat khawatir melihat sanak keluarga atau orang spesial mereka sedang sakit."Dari hasil pemeriksaan ... Mbak Gauri baik-baik aja. Hanya kelelahan," jawab dokter itu. "Saya akan memberinya obat. Bahkan jika Mbak Gauri mau pulang sekarang juga boleh," lanjutnya tersenyum manis ke arah Gauri.Tak beda jauh dengan Gauri yang juga tersenyum lega. Sarah yang berada di samping Gauri pun ikut mengucap 'Alhamdulillah' karena ternyata Gauri baik-baik saja."Terimakasih, Dok," ujar Gauri."Iya sama-sama," balas dokter itu seraya membereskan peralatannya. Dia lalu menoleh ke arah Ilham. "Mas-nya gak usah terlalu khawatir. Mbak-nya baik-baik aja kok," sambung dokter itu. Gegalat Ilham terlalu kentara jika pria itu memiliki perasaan pada
Gauri berpikir setelah meminum obat pereda nyeri maka sakit perutnya akan beransur hilang. Namun hingga pagi menjelang sakit pada bagian bawah perutnya itu tak kunjung membaik. Bahkan sampai membuat Gauri terlihat semakin pucat sebab semalam tidurnya tak terlalu nyenyak.Sebenarnya Gauri bisa saja meminta izin untuk tidak masuk bekerja hari ini namun mengingat pekerjaan yang sangat banyak membuat Gauri mengurungkan niat."Assalamualaikum!" Gauri sedang bersiap-siap saat seseorang mengetuk pintu kosannya."Walaikumsalam!" jawab Gauri dengan sedikit sempoyongan menuju pintu. "Eh, Bu Gayatri," lirih Gauri saat melihat eksistensi ibu kosnya, Gayatri."Loh, Gauri kamu ke mana?" tanya Gayatri dengan wajah khawatirnya mengamati Gauri dari ujung kaki hingga kepala."Kerja, Bu.""Kamu kan lagi sakit. Kok malah mau berangkat kerja?" tanya wanita paruh baya itu lalu membawa Gauri untuk masuk.Gayatri meletakkan rantang berisi makan
Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Malam telah menjelang dan Satya masih sibuk mengurus beberapa dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dia dan Yogie akan membuka cabang baru di luar kota membuatnya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Bang, ngopi dulu!" kata Yogie yang baru saja datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya. Pria dengan balutan kaos putih itu meletakkan satu gelas di atas meja kecil yang berada di samping kanan meja penuh dokumen Satya. Sementara cangkir yang lain tetap dia pertahankan di tangan sambil berjalan menghampiri Satya."Pembukaannya minggu depan. Bang Satya jadi ikut?" tanya Yogie lalu menyeruput kopi di tangannya."Saya belum ngasih tau Gauri," jawab Satya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari dokumen-dokumen itu."Ck! Yang udah punya istri mah beda yah," sindir Yogie berdecak. "Harus minta ijin dulu," lanjutnya dengan nada sedikit mengejek."Ya iyalah! Saya gak mungkin ninggalin Gauri gitu aja tanpa ngasih tahu!" sewot Satya lalu tersenyum jahil ke arah Yogie."Kenapa
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba