Untuk menghindari ribut dengan Mas Bambang, aku mengajak Azfar ke ruang tengah. Kunyalakan TV tabung berukuran 14 inch pemberian ibuku di kampung, agar anakku mendapat sedikit hiburan. Keningnya mengeluarkan keringat kecil, panasnya juga mereda, hanya sisa hangat ketika menyentuh keningnya dengan punggung tangan.
“Aku lapar, Bu,” keluh Azfar.
Aku segera membuatkannya capcay kuah. Irisan sayur dan bumbu yang tadi sudah kuolah tinggal dimasukkan saja dalam wajan dan diberi bumbu tambahan seperti garam, gula, dan penyedap rasa. Kutambahkan juga sebutir telur untuk menambah gizi anakku.
Sambil mengungkab wajan agar capcayku cepat matang dan empuk, aku menyapu dapur agar terlihat lebih bersih, kubuka pintu belakang lebar-lebar agar asap dari tungku menuju keluar rumah. Memasak pakai kayu bakar memang harus hati-hati, jangan sampai asapnya terhirup kalau tak ingin saluran pernapasan kita terganggu.
Sementara itu, Mas Bambang mengambilkanku kayu bakar dan kalari (daun kelapa kering), ia menyimpannya di dapur—di belakang pintu. Di belakang rumahku memang ada saung kecil tempat menyimpan stok kayu bakar dan kalari.
“Maafin Mas, Dewi. Mas lagi banyak beban pikiran, jadi marah-marah sama kamu,” ucapnya dari arah belakangku. Aku sedang memasak, dan dia duduk di dipan.
Tak kujawab ucapannya. Aku pura-pura tak mendengar dan lanjut menuang capcay yang sudah matang ke mangkuk besar.
“Mas cuma tak ingin kamu membicarakan kejelekan saudara kita, apalagi orangtua. Gak baik,” lanjutnya. “Mas tahu kamu diam di rumah aja selama ini pasti jenuh, jadinya sering berhalusinasi kan? Makanya kamu bilang Citra begini-begitu, orangtuaku begini-begitu … itu halusinasimu saja. Kamu baper, padahal maksud mereka gak seperti yang kamu pikirkan.”
Ingin rasanya kusiramkan capcay kuah panas ini ke Mas Bambang! Bagaimana bisa dia bilang aku berhalusinasi? Kenapa dia tak percaya juga padaku, sih?
Karena kesal, kuabaikan suamiku dan menghampiri Azfar di ruang tengah. Menyuapinya kemudian memberinya obat.
“Bu, di depan rumah Tante Citra ada mobil Nenek!” tunjuk Azfar ke luar jendela.
“Iya, nenekmu datang tadi pagi,” kataku.
“Kenapa Nenek tak nengokin aku, Bu?”
“Mungkin nenekmu lelah baru datang. Biarkan saja, nanti juga kalau dia mau ketemu pasti datang ke sini,” jawabku.
Wajah Azfar berubah murung. Aku bisa merasakan kesedihannya. Aku yakin, sebenarnya Azfar mengerti kenapa neneknya tak mau mengunjungi kami di sini.
“Tapi dari dulu juga Nenek tak pernah datang ke rumah kita. Ke rumah Tante Citra terus datangnya,” keluh Azfar.
Mas Bambang nimbrung, dia mendengar kata-kata Azfar yang terakhir.
“Dengar kan, Mas? Anak kecil aja peka, “ kataku sinis pada Mas Bambang. Ia hanya terdiam.
*
Sepeti biasa, menjelang sore aku menyapu halaman rumah. Kali ini Mas Bambang membantuku membakar sampah dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon mangga dan pohon jambu.
“Bambang!”
Kudengar Ibu Mertua memanggil suamiku dari depan rumah Citra sambil melambaikan tangan, menyuruh Mas Bambang menghampirinya. Saat itu juga suamiku langsung mendekat ke ibunya.
“Tadinya Mama mau mampir ke rumahmu. Tapi Dewi keburu datang mengunjungi Mama dan Ayah ke rumah Citra. Begitu dia lihat mobil Mama, dia langsung menghampiri kami. Jadinya kami berkumpul di rumah Citra tadi siang. Istrimu itu memang sopan sekali sama kami, mertuanya,” lapor Ibu Mertua pada suamiku. Yang dikatakannya itu seratus persen bohong!
“Oh, syukurlah kalau Dewi tak mengecewakan Mama,” jawab Mas Bambang.
Aku dapat mendengar percakapan mereka, karena Ibu Mertua sengaja mengencangkan volume suaranya agar terdengar olehku.
“Oh iya, selain itu, istrimu juga baik banget. Dia mencucikan semua piring kotor di dapur Citra, padahal kami gak nyuruh lho. Memang dasar istrimu baik aja. Mama jadi tenang Citra tinggal di kampung ini, karena dia memiliki kakak ipar yang baik dan selalu mau membantunya,” jelas Ibu Mertua.
Gemas deh, dengan mulut mertuaku, dia memutar balik fakta!
Kulihat kening Mas Bambang berkerut. Ia sepertinya terkejut mendengar pengakuan Mama.
Aku cepat-cepat menyapu seluruh halaman, sebelum darahku semakin mendidih mendengar Ibu Mertua bicara pada Mas Bambang.
*
Aku selesai menyeka badan Azfar dan menidurkannya ketika Mas Bambang pulang dari rumah Citra dan kini memasang wajah garang di hadapanku. Dia mengajakku keluar kamar dengan napas memburu, membuatku ketakutan.
“Kamu keterlaluan ya, Dewi! Berani-beraninya kamu berbohong padaku, kamu bilang orangtuaku tak mau mengunjungi rumah kita, padahal kamu sendiri yang menghampiri mereka ketika mereka mau datang ke sini! Tega kamu sama keluargaku, menjelek-jelekkan mereka seolah mereka jahat pada kita! Padahal kenyataannya sebaliknya. Ibuku malah memuji-muji kamu, Dewi. Dia sangat baik sama kamu, tapi kenapa pikiranmu picik sama ibuku?” bisik Mas Bambang dengan penekanan yang tajam di telingaku.
“Mas, kamu gak percaya sama ak—”
Kata-kataku tersangkut di tenggorokan saat Mas Bambang mengancamku dengan telapak tangannya yang terangkat ke udara.
“Sekali lagi kamu ngomong jelek tentang Citra dan orangtuaku, aku gak akan segan menamparmu! Inilah caraku mendidikmu, kamu tidak boleh jadi menantu dan kakak ipar yang durhaka seperti kebanyakan orang! Kamu istriku, kamu harus bersikap baik pada keluargaku!” tegas Mas Bambang. Dia menghakimiku tanpa mau mendengarkan ceritaku terlebih dulu. Ya Alloh, Gusti Nu Maha Suci. Semoga Engkau membukakan mata dan hati suamiku, agar ia dapat melihat dan menyadari siapa yang salah dan siapa yang benar. Engkau tahu aku tak punya hati jahat pada semua orang, apalagi pada keluarga suamiku. Aku sangat menyayangi dan menghormati mereka, hanya saja Engkau tahu sendiri Ya Alloh, mereka yang memperlakukanku tidak baik sehingga membuatku kesal. Aku hanya bisa mengadu pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang mau mendengar keluh kesahku. Dengan perasaan sakit dan bercucuran air mata, aku berlari ke kamar. Kutinggalkan Mas Bambang dengan kemarahannya sendiri. Aku lebih tenang bersama anakku sekarang, berbarin
Aku menyikut suamiku, berharap dia segera menarik kembali kata-kata itu. Tak sudi aku dititipi adik ipar macam Citra. Mending kalau dia tahu berterimakasih, yang ada dia akan membalas keringatku dengan menghina. Mas Bambang menepis tanganku. Dia semakin menunduk patuh pada ibunya.“Ya sudah, kami berangkat dulu ya,” Kata Ibu Mertua seraya masuk ke dalam mobil. Ayah mertua menyetir, aku tak sempat mengucapkan rasa terimakasihku padanya. Namun sepertinya Ayah Mertua dapat mengerti maksud hatiku, ia melempar senyum dan mengangguk padaku dari dalam mobil. “Mas, aku minta sayurannya, ya. Tiba-tiba aku ingin makan sama tumis kangkung dan terong balado,” kata Citra pada Mas Bambang setelah mobil mertua menjauh. “Beli, Mas,” ucap Kirno meralat perkataan istrinya. “Sama kakak sendiri masa beli sih, Mas? Lagian kan sayuran itu dibeli Kak Bambang dari uang Papa,” bantah Citra, yang direspon Kirno dengan geleng-geleng kepala. Pasti Kirno kewalahan mendidik Citra. “Iya, nanti Kakak pisahin p
Kutarik tali itu, berat sekali. Aku penasaran apa isi paperbag ini. Setelah berhasil menarik paperbag dari bawah rak piring, aku segera menggunting ujungnya yang dilem. Jantungku deg-degan, sepertinya aku punya firasat buruk. Aku jadi teringat saat pertama menikah dengan Mas Bambang, di malam pertamaku tinggal bersama mereka, Citra dan ibu mertua memberiku kado pernikahan dalam sebuah dus besar yang terasa berat sekali. Kukira isinya istimewa dan barang berharga, ternyata setelah kubuka isinya hanya daun-daun kering dan bongkahan batu. Aku sangat tak menyangka dan terkejut sekali saat itu, karena aku disambut oleh adik ipar dan mertuaku dengan cara yang tidak menyenangkan. Sampai saat ini rasanya aku tak percaya ada orang yang seperti itu di dunia ini, dan aku juga rasanya tak percaya mengalami hal di luar logika itu. Ibu Mertua dan Citra tak menyukaiku karena aku bukanlah pilihan mereka. Sebelumnya mereka menjodohkan Mas Bambang dengan seorang janda kaya. Namun Ayah Mertua tak s
*Pukul delapan malam, Aku dan Mas Bambang menemui Uwak Murni di rumah Citra. “Kalian kok baru datang?” tanya Uwak. “Tadi ngurus rumah dulu, Wak,” jawabku seraya duduk di sampingnya. “Kami datang dari jam satu siang lho. Kamu emang ngurus rumahnya seharian ya? Gak ada waktu istirahat, gitu?” tanya Uwak Murni. Sepertinya ia kecewa karena aku terlambat menemuinya. “Rumahmu segitu doang, masa ngurusnya seharian.”“Tadi siang aku tidur, bangun Ashar langsung sholat, terus masak, bebenah, ngurus anak suami dulu,” jelasku. “Nengok Uwak ke sini cuma bentar kok, gak akan nyita waktu kamu,” balasnya. Aku diam tak menanggapi. Jadi orang miskin di tengah-tengah keluarga kaya raya memang selalu disalahkan. “Aku tahu, Wi. Kamu tersinggung karena kami gak mampir rumahmu, kan? Jangan baper begitu, aku ini bawa anggota keluarga banyak, kalau kami datangnya ke rumahmu, kasihan ntar kamu kerepotan, rumahmu gak cukup nampung kami. Coba aja lihat, kami ada lima belas orang. Jadi realistis aja, buka
“Mas gak punya musuh, Wi. Siapa yang mengerjai Mas tanpa alasan?” Ia balik bertanya.Aku mengembus napas kasar. Sudah tahu jawabannya. Tak salah lagi. Pasti ibunya sendiri yang mengerjai Mas Bambang. “Balsem ini gak ngaruh, Wi!” keluh suamiku. “Ya sudah, pakai lagi bajunya. Lanjut tidur aja,” kataku. “Mas tidur di ruang tengah ini aja ya, Wi. Berat jalan ke kamar,” pintanya. “Iya. Aku tidur di kamar ya, gordennya aku buka kok, biar kalau Mas kenapa-napa aku bisa langsung lihat. Berdoa dulu, Mas.”*Seperti biasa, aku bangun jam tiga pagi untuk menyiapkan dagangan suamiku. Aku membungkus seperempat kilo wortel dalam plastik yang semalam belum sempat terselesaikan. Hingga ketika sudah dapat kira-kira sepuluh bungkus wortel, aku berhenti dulu untuk melihat keadaan Mas Bambang yang semalam sempat mengeluh punggungnya berat. Alhamdulillah, dia tidur nyenyak. Tiba-tiba aku mendengar suara mesin mobil dinyalakan dari arah rumah Citra. Juga suara Uwak Murni dan Citra yang sedang berbicar
“Bagus … bagus sekali! Gosipin aja aku teroosss! Puas, Kak?” ucap Citra dari belakang punggungku sambil bertepuk tangan. Aku kaget sekali, karena ternyata dia sudah berada di belakangku sedari tadi, dan ibu-ibu yang belanja sayur pun tak menyadari kedatangan Citra, saking asyiknya mengobrol. Ibu-ibu melanjutkan memilih sayuran, sambil pura-pura tak mendengar Citra bicara. Begitupun denganku, aku lebih memilih melayani mereka yang berbelanja, tak sedikitpun meladeni Citra. “Helloo! Aku di sini lho, dan kalian ngomongin aku seenak jidat? Gak takut dosa apa, hah?” sungut Citra. Tak ada yang menggubris Citra. Kami semua kini ngobrol dengan topik berbeda. Lagipula Citra kok berani banget, kami ini kan lebih tua darinya, tapi gaya Citra seolah-olah ngajak berantem. Karena itu, Citra jadi kesal. Dan dia melampiaskan kekesalannya padaku. “Eh, Kak Dewi! Jangan suka ngomongin aku di belakang ya, apalagi ngejelek-jelekin! Kakak lupa ya dua hari kemarin Kakak datang ke rumah aku ngemis-ngemis
Tak lama setelah mengancamku, Mas Bambang berangkat jualan sayur. Sementara aku yang masih sedikit syok dan khawatir akan terjadi pertengkaran lagi, langsung memasak air untuk mandi anakku Azfar. Sambil menunggu air matang, aku terus mencoba menenangkan diri sendiri. Mas Bambang telah mendengar percakapanku dengan ibu-ibu yang berbelanja sayur tadi, atau bisa saja suamiku itu megetahui karena mendapat aduan dari Citra, tadi sempat kulihat Citra masuk rumahku setelah sedikit kuancam. Tadi itu saking jengkelnya aku main nyeletuk aja membalas perkataan Citra di depan para ibu-ibu, tanpa sempat memikirkan akibatnya, bahwa hubunganku dengan Citra dan juga Mas Bambang bisa berantakan jika aku melawan. Aku melupakan nasihat mendiang ibuku, bahwa sebagai istri yang tinggal di lingkungan keluarga suami, aku tak seharusnya banyak melawan jika ingin rumah tangga langgeng. Karena jika melawan, keluarga suami pasti akan tak suka padaku. Dan bisa saja hal itu memicu keretakan rumahtanggaku. “B
“Kenapa pahamu merah begini, Nak?” tanyaku sambil memeluk Azfar. “Dicubit tante Citra, Bu,” jawab Azfar sambil masih menangis. Ya Alloh, Ya Robbi … berani sekali Citra mencubit anakku sampai merah dan kebiru-biruan begini! Pantas saja Azfar tak henti menangis, dia pasti sangat kesakitan! Awas kau Citra, kali ini aku gak akan diam. Kalau kau berani menyakiti anakku, aku tak akan segan maju melawanmu! “Kenapa kok Tante Citra sampe nyubit kamu?”“Tadi waktu aku lagi main di depan rumah, Tante Citra manggil aku, terus pas aku samperin ke dalam rumahnya, dia langsug cubit pahaku, Bu,” rintih Azfar. “Jadi kamu gak salah apa-apa, Tante Citra main cubit aja?” tanyaku. Azfar mengangguk. Aku langsung membaluri bekas cubitan itu dengan minyak gosok. Hanya itu yang kupunya untuk pertolongan pertama, aku tak punya salep atau semacamnya. Setelah Azfar cukup tenang dan tangisnya mereda, aku mengajaknya menonton TV di ruang tengah. Selagi Azfar asyik menonton, aku bergegas ke rumah Citra untuk