Share

LIDAH MERTUA

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-25 09:04:28

Untuk menghindari ribut dengan Mas Bambang, aku mengajak Azfar ke ruang tengah. Kunyalakan TV tabung berukuran 14 inch pemberian ibuku di kampung, agar anakku mendapat sedikit hiburan. Keningnya mengeluarkan keringat kecil, panasnya juga mereda, hanya sisa hangat ketika menyentuh keningnya dengan punggung tangan. 

“Aku lapar, Bu,” keluh Azfar. 

Aku segera membuatkannya capcay kuah. Irisan sayur dan bumbu yang tadi sudah kuolah tinggal dimasukkan saja dalam wajan dan diberi bumbu tambahan seperti garam, gula, dan penyedap rasa. Kutambahkan juga sebutir telur untuk menambah gizi anakku. 

Sambil mengungkab wajan agar capcayku cepat matang dan empuk, aku menyapu dapur agar terlihat lebih bersih, kubuka pintu belakang lebar-lebar agar asap dari tungku menuju keluar rumah. Memasak pakai kayu bakar memang harus hati-hati, jangan sampai asapnya terhirup kalau tak ingin saluran pernapasan kita terganggu. 

Sementara itu, Mas Bambang mengambilkanku kayu bakar dan kalari (daun kelapa kering), ia menyimpannya di dapur—di belakang pintu. Di belakang rumahku memang ada saung kecil tempat menyimpan stok kayu bakar dan kalari.

“Maafin Mas, Dewi. Mas lagi banyak beban pikiran, jadi marah-marah sama kamu,” ucapnya dari arah belakangku. Aku sedang memasak, dan dia duduk di dipan. 

Tak kujawab ucapannya. Aku pura-pura tak mendengar dan lanjut menuang capcay yang sudah matang ke mangkuk besar. 

“Mas cuma tak ingin kamu membicarakan kejelekan saudara kita, apalagi orangtua. Gak baik,” lanjutnya. “Mas tahu kamu diam di rumah aja selama ini pasti jenuh, jadinya sering berhalusinasi kan? Makanya kamu bilang Citra begini-begitu, orangtuaku begini-begitu … itu halusinasimu saja. Kamu baper, padahal maksud mereka gak seperti yang kamu pikirkan.”

Ingin rasanya kusiramkan capcay kuah panas ini ke Mas Bambang! Bagaimana bisa dia bilang aku berhalusinasi? Kenapa dia tak percaya juga padaku, sih? 

Karena kesal, kuabaikan suamiku dan menghampiri Azfar di ruang tengah. Menyuapinya kemudian memberinya obat. 

“Bu, di depan rumah Tante Citra ada mobil Nenek!” tunjuk Azfar ke luar jendela. 

“Iya, nenekmu datang tadi pagi,” kataku. 

“Kenapa Nenek tak nengokin aku, Bu?” 

“Mungkin nenekmu lelah baru datang. Biarkan saja, nanti juga kalau dia mau ketemu pasti datang ke sini,” jawabku. 

Wajah Azfar berubah murung. Aku bisa merasakan kesedihannya. Aku yakin, sebenarnya Azfar mengerti kenapa neneknya tak mau mengunjungi kami di sini. 

“Tapi dari dulu juga Nenek tak pernah datang ke rumah kita. Ke rumah Tante Citra terus datangnya,” keluh Azfar. 

Mas Bambang nimbrung, dia mendengar kata-kata Azfar yang terakhir. 

“Dengar kan, Mas? Anak kecil aja peka, “ kataku sinis pada Mas Bambang. Ia hanya terdiam. 

*

Sepeti biasa, menjelang sore aku menyapu halaman rumah. Kali ini Mas Bambang membantuku membakar sampah dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon mangga dan pohon jambu. 

“Bambang!”

Kudengar Ibu Mertua memanggil suamiku dari depan rumah Citra sambil melambaikan tangan, menyuruh Mas Bambang menghampirinya. Saat itu juga suamiku langsung mendekat ke ibunya. 

“Tadinya Mama mau mampir ke rumahmu. Tapi Dewi keburu datang mengunjungi Mama dan Ayah ke rumah Citra. Begitu dia lihat mobil Mama, dia langsung menghampiri kami. Jadinya kami berkumpul di rumah Citra tadi siang. Istrimu itu memang sopan sekali sama kami, mertuanya,” lapor Ibu Mertua pada suamiku. Yang dikatakannya itu seratus persen bohong! 

“Oh, syukurlah kalau Dewi tak mengecewakan Mama,” jawab Mas Bambang. 

Aku dapat mendengar percakapan mereka, karena Ibu Mertua sengaja mengencangkan volume suaranya agar terdengar olehku. 

“Oh iya, selain itu, istrimu juga baik banget. Dia mencucikan semua piring kotor di dapur Citra, padahal kami gak nyuruh lho. Memang dasar istrimu baik aja. Mama jadi tenang Citra tinggal di kampung ini, karena dia memiliki kakak ipar yang baik dan selalu mau membantunya,” jelas Ibu Mertua. 

Gemas deh, dengan mulut mertuaku, dia memutar balik fakta! 

Kulihat kening Mas Bambang berkerut. Ia sepertinya terkejut mendengar pengakuan Mama. 

Aku cepat-cepat menyapu seluruh halaman, sebelum darahku semakin mendidih mendengar Ibu Mertua bicara pada Mas Bambang. 

*

Aku selesai menyeka badan Azfar dan menidurkannya ketika Mas Bambang pulang dari rumah Citra dan kini memasang wajah garang di hadapanku. Dia mengajakku keluar kamar dengan napas memburu, membuatku ketakutan. 

“Kamu keterlaluan ya, Dewi! Berani-beraninya kamu berbohong padaku, kamu bilang orangtuaku tak mau mengunjungi rumah kita, padahal kamu sendiri yang menghampiri mereka ketika mereka mau datang ke sini! Tega kamu sama keluargaku, menjelek-jelekkan mereka seolah mereka jahat pada kita! Padahal kenyataannya sebaliknya. Ibuku malah memuji-muji kamu, Dewi. Dia sangat baik sama kamu, tapi kenapa pikiranmu picik sama ibuku?” bisik Mas Bambang dengan penekanan yang tajam di telingaku.

“Mas, kamu gak percaya sama ak—”

Kata-kataku tersangkut di tenggorokan saat Mas Bambang mengancamku dengan telapak tangannya yang terangkat ke udara. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Terbongkar Semua

    Ayah Mertua tentu kaget Haji Sadeli tiba-tiba menagih utang."Utang apa, Pak Haji?" tanya Ayah Mertua."Bekas bangun rumah anak ente ini!" jawab Haji Sadeli sambil menunjuk rumah gedong Citra.Aku sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Berbeda dengan Mas Bambang dan Ayah Mertua, mereka sangat terkejut dan tak percaya."Gak mungkin! Waktu bikin rumah ini, aku sudah berikan sejumlah uang yang sangat banyak pada istriku itu untuk membeli cash bahan bangunan darimu!" bela Ayah Mertua.Aku dan Mas Bambang memilih diam tak ikut campur.Haji Sadeli mengeluarkan buku catatan utang dari dalam tas nya lalu menunjukkan pada Ayah Mertua. "Ini lihat saja kalau ente kagak percaya! Utang mereka seratusjuta, ada tanda tangan istri ente juga di sini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk pada buku utang.Ayah Mertua mengembuskan napas kasar. Sekarang, baru dia percaya bahwa istrinya banyak utang. "Ternyata benar. Ya sudah, aku minta maaf. Akan aku lunasi tapi nanti setelah aku bertemu dengan istriku. Sekaran

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Kedatangan Haji Sadeli

    Mas Bambang langsung menyembunyikan balok kayu ke belakang punggung. Aku berusaha menghalangi pandangan Ayah Mertua pada gerak-gerik Mas Bambang yang mencurigakan.Ayah Mertua mengernyit. "Apa yang kau sembunyikan, Bambang?" tanyanya."Bu—bukan apa-apa, Yah," jawab Mas Bambang.Ayah Mertua tidak percaya begitu saja. Dia bertanya padaku. "Ada apa ini, Dewi?"Bibirku gatal ingin mengungkap semuanya, melaporkan perbuatan Kirno yang di kuar batas. Namun, Mas Bambang menatapku tajak, memberi kode agar aku tak mengatakan apapun."Ayah, kami sedang membangun ruko," jawabku."Terus kenapa kalian lari-larian seperti saling mengejar?"Bibirku gatal sekali ingin bicara, lagi-lagi Mas Bambang menahanku."Kenapa Dewi?" tanya Ayah Mertua lagi, saat aku hanya diam saja."Ayah, ayo lihat pembangunan ruko kami. Hari ini hari pertama pembangunan, para tukang baru membuat pondasinya, tolong lihat apa saja yang kurang. Biar jadi masukan untuk para pekerja. Ayah kan berpengalaman jadi kepala proyek dan me

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Diobrak-abrik

    “Tepat sekali.” Mas Bambang menjawab.“Terus kenapa Mas gak ngasih tahu aku, Mas?“Karena Mas gak mau kamu dan Kirno jadi bermasalah. Mas sudah membayangkan, kalau Mas ngasih tahu kamu , kamu pasti akan langsung marah sama Kirno dan akhirnya bertengkar,” jelas Mas Bambang. Dia mencoba menenangkanku yang tersulut emosi.“Tapi sama saja, Mas. Sekarang juga pada akhirnya aku dan Kirno harus bertengkar. Bahkan, dengan adik dan mamamu juga. Coba kalau Mas bilang sejak awal kalau Kirno lah yang menyimpan buhul itu, aku gak akan langsung menuduh Mama dan Citra,” kataku agak kesal.Mas Bambang tampak berpikir keras, berulang kali ia mengatur napas hingga terlihat rasa bersalah atas situasi ini. Aku tak ingin membuatnya bertambah kepikiran, jadi aku pun mengalihkan pembicaraan.“Ya sudah, Mas, semua sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana awal mulanya Mas bermasalah dengan Kirno?” lanjutku bertanya.Suamiku itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Semua berawal ketika Mas jual tanah Jura

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Dituduh Lagi

    "Astaghfirulloh, menaruh racun di adonan bakwan? Mana mungkin aku melakukannya, Ma! Jangan sembarangan menuduh!" ucapku."Siapa yang sembarangan menuduh? Kan kamu lagi bikin ruko buat usaha salon, bisa jadi kamu menumbalkan suamimu sendiri, Dewi!" tuduh Ibu Mertua dengan begitu kejamnya.Aku menekan dada sekuat tenaga, sesak rasanya. Jengkel dan marah bercampur jadi satu, entah bagaimana jadinya jika emosi itu tidak kutahan. Mungkin mulut Citra dan Ibu Mertua sudah babak belur."Benar atau tidak, Kak? Karena jaman sekarang itu lagi musim tumbal-tumbalan. Di depan sana pernah kejadian tumbal warung soto yang baru saja di bangun, setiap anak kecil yang lewat di depannya akan ketabrak mobil. Ada juga yang menumbalkan suaminya sendiri untuk melancarakan usahanya. Itu semua fakta lho, Kak. Lagian, Kakak kan dapat uang banyak secara mendadak ya, bisa jadi itu semua didapatkan dengan ilmu hitam yang menuntut tumbal! Dan Kakak memilih Mas Bambang sebagai tumbalnya. Wajar kan kalau kami menyan

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Dituduh Lagi

    "Kirno!" Kuberanikan diri memanggil orang itu. Seketika dia terperanjat hingga botol yang dipeganginya terjatuh dan seluruh isinya tumpah. Aku mendekat sambil terus memperhatikan wajahnya yang tidak terlihat jelas di bawah gelapnya langit dini hari dan remang lampu depan rumah kayuku. Semakin kuperhatikan, semakin membuatku terkejut. Karena yang kupergoki itu benar Kirno! Dia gemetaran dan mundur perlahan-lahan, hendak kabur saat aku mendekatinya."Kirno! Apa yang kamu lakukan?" "A—anu, Kak—" jawabnya terbata. Dia tak mampu menjawab."Apa, Kirno? Sedang apa kamu menyirami air ke sekeliling rumah kayuku? Untuk apa, hah?" tanyaku memburu.Kirno semakin gemetaran. Dia sangat ketakutan sekaligus kebingungan menjawab pertanyaanku, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Kini aku berhadapan dengannya, sehingga aku bisa melihat wajah Kirno dengan sangat jelas."Kak, anu—" jawabnya, masih terbata."Una-anu una-anu ... jawab yang bener! Kamu pasti niat jahat kan sama keluargaku? Astaghfirullo

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Sebotol Air

    Astaghfirulloh, rupanya karena hal itu mereka usil terhadap pembangunan rukoku? Dari mulai aku membeli tanah, membeli barang pesanan, hingga kini pembangunan ruko sudah dimulai mereka selalu memantau. Itu semua karena mereka kecewa aku tidak mempekerjakan Kirno? Ya Alloh, ampuni aku. Aku tidak bermaksud buruk atas semua ini."Tapi, Ma. Setahuku kan Kirno sedang ada proyek pembangunan kelapa sawit di kampung sebelah. Aku tidak tahu kalau proyeknya akan berkahir bertepatan dengan pembangunan rukoku, karena itulah aku memutuskan untuk menyewa tukang dari Haji Sadeli saja," jawabku menjelaskan.Ibu Mertua melipat tangan di dada, dia mendelik sinis sambil berkata, "kenapa kamu gak tanya-tanya dulu sama Citra, kapan Kirno pulang, bisa gak Kirno kerja bangun ruko kamu. Basa basi kek, apa kek, ini mah enggak ada, malah main selonong aja tau-tau kami lihat sudah ramai orang bekerja di lahanmu. Kamu juga beli tanah dan bangun rukomu itu tanpa izin dulu ke Bambang kan? Kenapa sih, Dewi kamu apa-

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status