Aku sangat keberatan menuruti perintah Ibu Mertua yang satu itu, jelas aku tak mau minta maaf pada Citra. Aku tidak salah.
“Ya sudah, Bu. Jangan dipaksa, kasihan,” kata Citra sambil melirikku. “Kalau memang Kak Dewi gak mau minta maaf, gak apa-apa kok. Aku sudah maafkan Kak Dewi walau tak diminta,” lanjutnya sambil menggandeng tanganku. Membuatku mual saja mendengar kata-katanya.
“Ya ampun, Citra … hatimu sungguh mulia sekali. Kamu memang anak Mama dan Ayah yang paling baik. Pasti Ibu Mertuamu senang punya menantu seperti kamu, dan pasti dia sayang sama kamu.” Ibu mertua memuji Citra.
Aku menahan kegeraman dalam dada ini. Haduh, rasanya ingin pecah gendang telingaku mendengar omong kosong itu!
Tak tahan lama-lama berada di antara mereka, aku pun segera pamit.
“Kalau begitu saya pulang dulu ya, takut Azfar bangun dan nyariin saya,” ucapku.
Saat aku hendak berdiri, Ayah Mertua cepat-cepat memberiku sebuah paperbag besar, entah apa isinya. Mungkin oleh-oleh. Namun, Ibu Mertua segera menepis tanganku yang terulur hendak menerima pemberian itu.
“Jangan pulang dulu, apalagi terima oleh-oleh ini,” ucapnya halus. Walau halus, tetap terasa kasar di hati. “Mama mau minta tolong cucikan tumpukan piring dan gelas-gelas kotor di wastafel. Kemarin mertuanya Citra berkunjung, dan Citra malas mencucinya. Lagipula Mama memang melarangnya cape-capean, takut program hamilnya jadi gagal. Sekarang kamu cucikan, ya. Setelah itu baru boleh pulang dan bawa oleh-oleh ini.”
“Maaf, Ma. Dewi gak bisa ninggalin Azfar lama-lama di rumah. Dia sedang sakit dan sendirian,” jawabku.
Lagipula, bukankah kemarin Citra sudah mencuci piring dan gelas bekas mertuanya itu sampai kelelahan? Itu kan alasan Citra tak mau membuka pintu tadi malam, ketika Mas Bambang minta tolong? Berarti Citra bohong, dong. Emang dasar dia gak peka aja gak mau nolong orang lain yang sedang membutuhkan!
“Tolongin Citra, dong. Masa kamu gak mau nolong saudaramu sendiri?” bujuk Ibu Mertua.
Lah dia kira aku pembantu, apa? Masalah kecil begitu aja sampai minta tolong, di mana dia waktu anakku kejang-kejang dan butuh motornya untuk pergi ke puskesmas? Haduh, mendidih darahku dibuatnya!
“Ya sudah, baik. Akan Dewi cucikan piring dan gelas itu. Tapi Dewi juga mau minta tolong sama Citra, tungguin Azfar di rumah. Kasihan kalau dia bangun dan gak ada siapa-siapa di sana,” jawabku.
Ayah mertua mengangguk pada Citra, menyuruhnya agar mau menuruti permintaanku. Namun Citra menunjukkan rasa malasnya, ia bergelayut manja di lengan Ibu Mertua. Seolah minta pengertian.
“Citra mau tidur siang, dia harus istirahat,” kata Ibu Mertua sambil mengantar Citra ke kamar. Sempat kulihat Ibu Mertua mendelik sinis padaku.
Ya Alloh, hanya karena aku minta tolong pada anaknya, Ibu Mertua sinis padaku.
Akhirnya aku mengalah, kucuci tumpukan piring dan gelas kotor ini walau sebenarnya aku pun malas dan enggan. Keberadaanku di rumah adik ipar sudah bagaikan pembantu. Aku menghela napas panjang, dan mengembuskannya dengan kasar.
“Sabar … sabar …,” batinku.
Tiga puluh menit kemudian, semua cucian ini beres. Saking banyaknya hingga menghabiskan waktu selama itu. Selain piring dan gelas, banyak juga panci, wajan, dan peralatan masak yang kotor. Minyak goreng berceceran di lantai dan kompor, jorok sekali. Sepertinya Citra tak pernah membersihkannya. Perutku mual berada di dapur yang jorok dan bau.
Aku segera pulang ke rumah. Sudah jam satu siang, Mas Bambang pasti sudah pulang dari ladang. Gawat juga karena aku belum memasak capcay kuah pesanannya. Aku pun pamit pada Ayah Mertua yang masih duduk di sofa. Sementara Ibu Mertua dan Citra sedang beristiraht di kamar. Enak sekali jadi mereka!
Dengan langkah terburu-buru, aku masuk rumah lewat pintu belakang yang langsung menuju dapur. Aku melihat cangkul Mas Bambang tergeletak di depan pintu—dekat sumur. Dia sudah pulang, dan aku belum sempat masak. Hatiku sudah tak karuan, suamiku pasti akan marah karena tak ada makanan saat ia lelah pulang bekerja.
Saat memasuki pintu, aku mendengar suara Azfar menangis. Disusul suara Mas Bambang yang menenangkan Azfar.
Segera kuletakkan paper bag—yang tadi diberikan Ayah Mertua—di bawah rak piring. Paper bag ini berukuran besar dan isinya sangat penuh, Ayah Mertua menutup ujungnya dengan lem sehingga aku tak dapat mengintip isinya.
“Dari mana saja kamu?” bentak Mas Bambang ketika aku tiba di kamar Azfar. “Belum masak, belum cuci baju, belum cuci piring, malah ninggalin anak yang lagi sakit sendirian di rumah!”
Bentakan itu membuatku tersentak. Azfar langsung turun dari kasur dan menghamburku sambil menangis.
“Ibu dari mana? Aku tadi ketakutan di rumah sendirian. Untung ada Bapak pulang …,” tangis Azfar.
Aku mengusap punggung Azfar, “maafkan Ibu, Nak. Tadi ada Kakek dan nenekmu datang ke rumah Tante Citra. Ibu menemui mereka di sana,” bisikku pada Azfar.
Kemudian aku beralih ke Mas Bambang yang tengah menunggu jawabnku sedari tadi. Ia menunjukkan kemarahannya padaku.
“Aku dari rumah Citra, Mas. Ada Mama dan Ayah datang ingin menengok Azfar, tapi yang mereka datangi malah rumah Citra. Dan aku disuruh datang ke sana, karena Mama ingin bertemu anak kita tapi gak mau menginjakkan kaki di rumah kita,” jawabku, menceritakan semuanya pada Mas Bambang.
“Jangan bohong! Mana mungkin orangtuaku bersikap seperti itu? Palingan kamu ngarang-ngarang aja!” ucap Mas Bambang yang tak percaya dengan ceritaku.
Sungguh, makin mangkel hatiku!
Untuk menghindari ribut dengan Mas Bambang, aku mengajak Azfar ke ruang tengah. Kunyalakan TV tabung berukuran 14 inch pemberian ibuku di kampung, agar anakku mendapat sedikit hiburan. Keningnya mengeluarkan keringat kecil, panasnya juga mereda, hanya sisa hangat ketika menyentuh keningnya dengan punggung tangan. “Aku lapar, Bu,” keluh Azfar. Aku segera membuatkannya capcay kuah. Irisan sayur dan bumbu yang tadi sudah kuolah tinggal dimasukkan saja dalam wajan dan diberi bumbu tambahan seperti garam, gula, dan penyedap rasa. Kutambahkan juga sebutir telur untuk menambah gizi anakku. Sambil mengungkab wajan agar capcayku cepat matang dan empuk, aku menyapu dapur agar terlihat lebih bersih, kubuka pintu belakang lebar-lebar agar asap dari tungku menuju keluar rumah. Memasak pakai kayu bakar memang harus hati-hati, jangan sampai asapnya terhirup kalau tak ingin saluran pernapasan kita terganggu. Sementara itu, Mas Bambang mengambilkanku kayu bakar dan kalari (daun kelapa kering), ia
“Sekali lagi kamu ngomong jelek tentang Citra dan orangtuaku, aku gak akan segan menamparmu! Inilah caraku mendidikmu, kamu tidak boleh jadi menantu dan kakak ipar yang durhaka seperti kebanyakan orang! Kamu istriku, kamu harus bersikap baik pada keluargaku!” tegas Mas Bambang. Dia menghakimiku tanpa mau mendengarkan ceritaku terlebih dulu. Ya Alloh, Gusti Nu Maha Suci. Semoga Engkau membukakan mata dan hati suamiku, agar ia dapat melihat dan menyadari siapa yang salah dan siapa yang benar. Engkau tahu aku tak punya hati jahat pada semua orang, apalagi pada keluarga suamiku. Aku sangat menyayangi dan menghormati mereka, hanya saja Engkau tahu sendiri Ya Alloh, mereka yang memperlakukanku tidak baik sehingga membuatku kesal. Aku hanya bisa mengadu pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang mau mendengar keluh kesahku. Dengan perasaan sakit dan bercucuran air mata, aku berlari ke kamar. Kutinggalkan Mas Bambang dengan kemarahannya sendiri. Aku lebih tenang bersama anakku sekarang, berbarin
Aku menyikut suamiku, berharap dia segera menarik kembali kata-kata itu. Tak sudi aku dititipi adik ipar macam Citra. Mending kalau dia tahu berterimakasih, yang ada dia akan membalas keringatku dengan menghina. Mas Bambang menepis tanganku. Dia semakin menunduk patuh pada ibunya.“Ya sudah, kami berangkat dulu ya,” Kata Ibu Mertua seraya masuk ke dalam mobil. Ayah mertua menyetir, aku tak sempat mengucapkan rasa terimakasihku padanya. Namun sepertinya Ayah Mertua dapat mengerti maksud hatiku, ia melempar senyum dan mengangguk padaku dari dalam mobil. “Mas, aku minta sayurannya, ya. Tiba-tiba aku ingin makan sama tumis kangkung dan terong balado,” kata Citra pada Mas Bambang setelah mobil mertua menjauh. “Beli, Mas,” ucap Kirno meralat perkataan istrinya. “Sama kakak sendiri masa beli sih, Mas? Lagian kan sayuran itu dibeli Kak Bambang dari uang Papa,” bantah Citra, yang direspon Kirno dengan geleng-geleng kepala. Pasti Kirno kewalahan mendidik Citra. “Iya, nanti Kakak pisahin p
Kutarik tali itu, berat sekali. Aku penasaran apa isi paperbag ini. Setelah berhasil menarik paperbag dari bawah rak piring, aku segera menggunting ujungnya yang dilem. Jantungku deg-degan, sepertinya aku punya firasat buruk. Aku jadi teringat saat pertama menikah dengan Mas Bambang, di malam pertamaku tinggal bersama mereka, Citra dan ibu mertua memberiku kado pernikahan dalam sebuah dus besar yang terasa berat sekali. Kukira isinya istimewa dan barang berharga, ternyata setelah kubuka isinya hanya daun-daun kering dan bongkahan batu. Aku sangat tak menyangka dan terkejut sekali saat itu, karena aku disambut oleh adik ipar dan mertuaku dengan cara yang tidak menyenangkan. Sampai saat ini rasanya aku tak percaya ada orang yang seperti itu di dunia ini, dan aku juga rasanya tak percaya mengalami hal di luar logika itu. Ibu Mertua dan Citra tak menyukaiku karena aku bukanlah pilihan mereka. Sebelumnya mereka menjodohkan Mas Bambang dengan seorang janda kaya. Namun Ayah Mertua tak s
*Pukul delapan malam, Aku dan Mas Bambang menemui Uwak Murni di rumah Citra. “Kalian kok baru datang?” tanya Uwak. “Tadi ngurus rumah dulu, Wak,” jawabku seraya duduk di sampingnya. “Kami datang dari jam satu siang lho. Kamu emang ngurus rumahnya seharian ya? Gak ada waktu istirahat, gitu?” tanya Uwak Murni. Sepertinya ia kecewa karena aku terlambat menemuinya. “Rumahmu segitu doang, masa ngurusnya seharian.”“Tadi siang aku tidur, bangun Ashar langsung sholat, terus masak, bebenah, ngurus anak suami dulu,” jelasku. “Nengok Uwak ke sini cuma bentar kok, gak akan nyita waktu kamu,” balasnya. Aku diam tak menanggapi. Jadi orang miskin di tengah-tengah keluarga kaya raya memang selalu disalahkan. “Aku tahu, Wi. Kamu tersinggung karena kami gak mampir rumahmu, kan? Jangan baper begitu, aku ini bawa anggota keluarga banyak, kalau kami datangnya ke rumahmu, kasihan ntar kamu kerepotan, rumahmu gak cukup nampung kami. Coba aja lihat, kami ada lima belas orang. Jadi realistis aja, buka
“Mas gak punya musuh, Wi. Siapa yang mengerjai Mas tanpa alasan?” Ia balik bertanya.Aku mengembus napas kasar. Sudah tahu jawabannya. Tak salah lagi. Pasti ibunya sendiri yang mengerjai Mas Bambang. “Balsem ini gak ngaruh, Wi!” keluh suamiku. “Ya sudah, pakai lagi bajunya. Lanjut tidur aja,” kataku. “Mas tidur di ruang tengah ini aja ya, Wi. Berat jalan ke kamar,” pintanya. “Iya. Aku tidur di kamar ya, gordennya aku buka kok, biar kalau Mas kenapa-napa aku bisa langsung lihat. Berdoa dulu, Mas.”*Seperti biasa, aku bangun jam tiga pagi untuk menyiapkan dagangan suamiku. Aku membungkus seperempat kilo wortel dalam plastik yang semalam belum sempat terselesaikan. Hingga ketika sudah dapat kira-kira sepuluh bungkus wortel, aku berhenti dulu untuk melihat keadaan Mas Bambang yang semalam sempat mengeluh punggungnya berat. Alhamdulillah, dia tidur nyenyak. Tiba-tiba aku mendengar suara mesin mobil dinyalakan dari arah rumah Citra. Juga suara Uwak Murni dan Citra yang sedang berbicar
“Bagus … bagus sekali! Gosipin aja aku teroosss! Puas, Kak?” ucap Citra dari belakang punggungku sambil bertepuk tangan. Aku kaget sekali, karena ternyata dia sudah berada di belakangku sedari tadi, dan ibu-ibu yang belanja sayur pun tak menyadari kedatangan Citra, saking asyiknya mengobrol. Ibu-ibu melanjutkan memilih sayuran, sambil pura-pura tak mendengar Citra bicara. Begitupun denganku, aku lebih memilih melayani mereka yang berbelanja, tak sedikitpun meladeni Citra. “Helloo! Aku di sini lho, dan kalian ngomongin aku seenak jidat? Gak takut dosa apa, hah?” sungut Citra. Tak ada yang menggubris Citra. Kami semua kini ngobrol dengan topik berbeda. Lagipula Citra kok berani banget, kami ini kan lebih tua darinya, tapi gaya Citra seolah-olah ngajak berantem. Karena itu, Citra jadi kesal. Dan dia melampiaskan kekesalannya padaku. “Eh, Kak Dewi! Jangan suka ngomongin aku di belakang ya, apalagi ngejelek-jelekin! Kakak lupa ya dua hari kemarin Kakak datang ke rumah aku ngemis-ngemis
Tak lama setelah mengancamku, Mas Bambang berangkat jualan sayur. Sementara aku yang masih sedikit syok dan khawatir akan terjadi pertengkaran lagi, langsung memasak air untuk mandi anakku Azfar. Sambil menunggu air matang, aku terus mencoba menenangkan diri sendiri. Mas Bambang telah mendengar percakapanku dengan ibu-ibu yang berbelanja sayur tadi, atau bisa saja suamiku itu megetahui karena mendapat aduan dari Citra, tadi sempat kulihat Citra masuk rumahku setelah sedikit kuancam. Tadi itu saking jengkelnya aku main nyeletuk aja membalas perkataan Citra di depan para ibu-ibu, tanpa sempat memikirkan akibatnya, bahwa hubunganku dengan Citra dan juga Mas Bambang bisa berantakan jika aku melawan. Aku melupakan nasihat mendiang ibuku, bahwa sebagai istri yang tinggal di lingkungan keluarga suami, aku tak seharusnya banyak melawan jika ingin rumah tangga langgeng. Karena jika melawan, keluarga suami pasti akan tak suka padaku. Dan bisa saja hal itu memicu keretakan rumahtanggaku. “B