“Miracle, ini adalah makanan kesukaan Mateo. Nanti, Mommy akan mengajarkanmu lagi. Sekarang kau dan Mateo makanlah.” Orina memberikan Ossobuco pada Miracle dan Mateo untiuk segera memakan makanan yang dia buat.
Sebelumnya Orina sudah mengajarkan membuat makanan kesukaan Mateo. Hanya saja, terlihat wajah Miracle yang tampak begitu enggan. Bagaimana tidak? Miracle memang tidak hebat dalam memasak. Selama ini, dia tidak memiliki waktu untuk belajar memasak.
“Ya, Mom,” jawab Miracle dengan raut wajah yang terpaksa. Tidak ada jawaban selain ‘Ya’, dia tak mungkin mengutarakan isi hatinya yang tak ingin membuatkan makanan untuk Mateo.
“Jika kau lemah dalam memasak, lebih baik kau tidak perlu melakukannya,” sambung Mateo dingin, tanpa melihat ke arah Miracle.
Miracle mendengus tak suka. “Kau ini memangnya tahu apa? Lihat saja, nanti aku akan membuktikan masakanku!”
Mateo mengangkat bahu acuh, tak acuh. Dia tidak memedulikan perkataan Miracle. Pria tampan itu memilih menikmati Ossobuco yang dibuat oleh ibunya. Sementara Miracle masih terus menatap kesal ke arah Mateo yang terang-terangan menghina dirinya. Padahal Mateo tidak tahu apa pun tentangnya.
Orina tersenyum seraya menggelengkan kepalanya mendengar perdebatan antara Mateo dan Miracle. “Mateo, Mommy rasa besok kau tidak perlu bekerja. Bagaimana kalau kau besok berkuda dengan Miracle? Selama ini kau selalu berkuda sendiri. Pasti kalau berkuda ditemani dengan istrimu jauh lebih bagus daripada hanya sendiri.”
“Besok aku memiliki meeting. Lagi pula, Aku tidak ingin mendengar rengekkan wanita yang mengeluh karena berkuda,” balas Mateo yang sontak membuat Miracle mendelik dan menatapnya tajam.
“Kenapa kau menilaiku seolah tahu diriku!” seru Miracle dengan tatapan yang kian menajam. Tangannya terkepal begitu kuat mendengar perkataan Mateo yang sudah lebih dulu menghina dirinya. Dia bahkan tidak suka menangis. Pun dia tidak pernah merengek jika dia tidak mampu mendapatkan sesuatu.
“Mateo, kau jangan berkata seperti itu. Apa kau tadi tidak lihat Miracle mampu latihan menembak? Dia itu bukan wanita lemah,” kata Orina mengingatkan Mateo untuk tidak bicara sembarangan.
Mateo meletakan pisau dan garpu di tangannya, lalu menatap sang ibu dengan tatapan yang dingin. “Hanya berlatih bukan berarti hebat. Semua orang bisa berlatih, api belum tentu dia bisa menerapkannya.”
Mata Miracle mendelik tak suka di kala Mateo meremehkannya. “Kau meremehkanku?!”
Tanpa menjawab, Mateo beranjak dari tempat duduknya. Dia hendak berjalan meninggalkan ruang makan, tetapi langkahnya terhenti kala mendengar suara Miracle memanggil namanya dengan cukup keras.
“Mateo De Luca! Tunggu! Kita belum selesai bicara!” seru Miracle lantaang.
Mateo mengalihkan pandangannya, menatap Miracle dingin seraya memasukkan tangannya ke saku celana. Pria tampan itu hanya diam, dan menunggu perkataan yang akan di lontarkan oleh Miracle.
“Aku tahu kenapa kau tidak mau berkuda denganku … kau takut, kan? Mengingat selama ini kau tidak pernah melawan siapapun. Itu yang membuatmu sekarang ketakutan,” sindir Miracle tajam.
Sebelah alis Mateo terangkat. “Takut? Kau bilang aku takut padamu? Apa kau sedang berkhayal?”
Miracle mengangkat wajahnya, menantang pria yang berada di hadapannya itu. Sesaat mata biru Miracle dan mata coklat Mateo saling menatap satu sama lain. Sebuah tatapan yang begitu mengunci dan saling melemparkan tatapan tajam.
“Ya! Kau takut padaku! Kau pengecut, Mateo!” kata Miracle sarkas.
Mateo menyeringai di kala Miracle mengatakan dirinya pengecut. Ini pertama kalinya ada wanita yang berani menghina dirinya dengan sebutan pengecut. “Alright,a ku menerima tantanganmu. Ingat, kau jangan menangis jika kau kalah dariku. Aku tidak ingin mendengar rengekan wanita lemah karena kalah dalam sebuah kompetisi.”
Miracle menatap sinis Mateo. “Mari kira buktikan, Mateo. Kau atau aku yang akan menangis.”
“Well, kau sungguh berani. Bagaimana kalau hari ini? Cuaca siang hari akan sangat bagus untuk berkuda,” Mateo menyunggingkan senyumannya dengan penuh kemenangannya.
“Great! Lebih cepat lebih bagus. Aku akan meminta asistenku untuk mengantar kudaku.” Tanpa lagi berkata, Miracle langsung mengambil ponselnya uang terletak di atas meja, an langsung menghubungi asistennya untuk segera membawakan kuda miliknya dalam waktu lima belas menit.
Orina yang sejak tadi duduk di depan meja makan, terus menatap Mateo dan Miracle. Dia hendak menegur putranya karena terus bersikap dingin pada Miracle, tapi, dia memilih mengurungkan niatnya karena dia melihat dengan jelas Miracle ada;ah wanita yang kuat, dan terlihat mampu mengimbangi sifat arogan Mateo.
***
Miracle sudah mengganti pakaiannya dengan pakain khusus berkuda. Tidak mungkin dia masih memakai celana pendek dan tube top. Terlebih terik sinar matahari pasti akan membakar tubuhnya. Mateo sialan! Dia tahu pria itu sengaja mengajaknya berkuda siang ini karena cuaca di luar begitu panas. Namun, Miracle tidak memiliki pilihan lain selain menerima tantangan Mateo. Setelah mengganti pakaiannya, Miracle berjalan keluar kamar menghampiri Mateo yang sudah menunggunya.
“Kau sudah siap?” tanya Mateo dingin.
“Seperti yang kau lihat,” jawab Miracle yang tak kalah dingin, dan raut wajah datarnya. “Apa Jordan sudah datang?” tanyanya seraya mengedarkan pandangannya, tapi dia tidak menemukan asistennya itu.
“Aku rasa kau tidak perlu bertanya. Kau lihat sendiri di sini tidak ada asistenmu,” jawab Mateo dengan nada malas.
Miracle berdecak kesal. “Menyebalkan sekali! Aku sudah memintanya datang dalam waktu lima belas menit! Kenapa sekarang Jordan belum muncul?!”
“Jangan berisik, kau bisa memakai kudaku!” balas Mateo yang langsung berjalan meninggalkan Miracle.
Miracle mengumpat dalam hati. Dia menatap kesal pria yang menyebalkan itu. Kali ini dia tidak memiliki pilihan lain. Dia harus memakai kuda milik Mateo. Sebab, memang jarak mansion miliknya dan mansion milik Mateo tidak dekat. Tidak mungkin bisa asistennya bisa membawakan kuda miliknya dalam waktu lima belas menit. Dengan langkah kaki terpaksa, Miracle melangkah menuju halaman belakang, mengikuti Mateo yang sudah lebih dulu pergi.
Setibanya Miracle di halaman belakang mansion, dia sudah melihat Orina duduk di kursi tempat di bawah pohon. Sementara Mateo bersama dengan kedua kudanya. Meski kesal, tapi Miracle tetap berusaha tenang. Dia menyusul Mateo yang bersama dengan kedua kuda pria itu.
“Miracle, kau bersama Molly. Dia kudaku yang aku rawat baik-baik. Ingat, kau jangan pernah memukulnya. Dia akan marah jika sampai kau memukulnya,” jawab Mateo memberi tahu dengan tatapan penuh peringatan.
Miracle mendengkus tak suka. “Aku tidak sejahat itu! Tidak mungkin aku memukul kuda!”
“Kau bisa naik sendiri atau harus aku membantumu?” tanya Mateo seraya menatap tubuh Miracle.
“Jangan selalu meremehkanku, Mateo De Luca.” Dengan mudahnya Miracle naik ke tubuh kuda yang bernama Molly. Sementara Mateo hanya menyunggingkan senyuman sinis di wajahnya. Tepat di kala Miracle sudah naik ke tubuh Molly—Mateo langsung naik ke atas kudanya.
“Are you ready?” tanya Mateo dengan tatapan dingin pada Miracle.
Miracle mengangguk merespon ucapan Mateo.
Mateo tersenyum samar. Dalam hitungan ketiga, Mateo dan Miracle langsung menunggang kuda mereka. Orina yang melihat Mateo dan Miracle yang menunggang kuda dengan kecepatan penuh, dia langsung mengambil video putra dan menantunya itu. Orina tampak tak ingin menyia-nyiakan moment kebersamaan putra dan menantu kesayangannya.
“Well, ternyata kau cukup pandai berkuda.” Mateo menyeringai melihat Miracle kini memimpinnya di depan. Terlihat Miracle tidak takut sama sekali di kala menunggangi kuda dengan kecepatan penuh. Tidak ingin kalah, Mateo menambah kecepatan mengejar Miracle yang sudah lebih unggul darinya.
“Mateo! Apa kau masih meremehkanku? Kau belum mengenalku dengan baik! Jangan pernah menilaiku jika kau tidak mengenalku dengan baik!” seru Miracle dengan senyuman mengejek ke arah Mateo.
“Dan kau belum mengenal dengan baik diriku,” jawab Mateo yang semakin menambah kecepatannya. Hasilnya … berhasil! Pria tampan itu mampu unggul dari Miracle.
Miracle tak tinggal diam di kala dibalap oleh Mateo. “Sialan pria itu ternyata dia hebat!” gerutunya yang mulai kesal. Detik selanjutnya, Miracle menambah kecepatan, seakan memaksa kuda yang ditungganginya untuk lebih cepat.
“Yes! Aku berhasil!” seru Miracle yang kini memimpin di depan. Namun, tiba-tiba, saat Miracle semakin menambah kecepatannya. Dia merasakan kuda yang dia naiki berlari dengan tidak teratur. Bahkan berkali-kali Miracle hampir jatuh karena kuda yang dia naiki itu terus memberontak.
“Mateo! Ada apa dengan kudamu?!” seru Miracke dengan suara keras agar Mateo mendengarnya.
Kening Mateo berkerut, mendengar suara Miracle. Dia menatap dengan teliti ada yang tidak beres dengan kuda yang dinaiki Miracel. Seketika wajah Mateo berubah tegang melihat kudanya itu terus berontak—dan membuat tubuh Miracle hampir terpental.
“Damn it! Miracle pegangan dengan kuat!” Mateo langsung menambah kecepatan kudanya. Pria tampan itu berusaha menyusul Miracle yang sejak tadi terus berteriak.
“Akhh—” Miracle berteriak semakin keras saat dia merasakan tubuhnya hampir terpental.
Wajah Mateo berubah semakin panik. Tanpa menunggu, tepat di saat kudanya berada di dekat kuda yang dinaiki Miracle, dia langsung melompat dan menerjang tubuh Miracle agar terjatuh ke bawah. Detik selanjutnya, tubuh Mateo dan Miracle terguling di bawah. Terdengar suara teriakan Orina kala melihat tubuh Mateo dan Miracle terguling di tanah.
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te