Marigold's POV."Pak, kita sudah tiba di toko Durian Rasa," sela pak sopir yang memutar tubuhnya menghadap ke jok belakang."Tunggu sebentar disini. Aku tidak akan lama," kata Martin pada Marigold yang mengiyakan.Drrrt-drrrt-drrrt.Marigold mengerutkan kening, memandang nomer asing di layar ponselnya. Meski tidak tahu siapa yang menelpon nya, Marigold tetap mengangkatnya. Akhir-akhir ini dirinya mendapatkan beberapa kenalan baru dari pernikahannya dengan tuan milyader."Halo?" sapa Marigold sambil memperhatikan punggung Martin yang masuk ke toko kue untuk membeli pesanan nyonya pertama tuan milyader."Ini aku, Marigold."Marigold membeku. Suara itu, suara yang dirindukannya selama setahun terakhir. Suara dari laki-laki yang membuatnya merindu. "Nolan?"Gelak tawa ringan terdengar sangat merdu di telinga Marigold. Kedua mata Marigold mengerjap cepat, untuk mencegah air matanya turun."Tak kusangka, ternyata kamu masih mengingatku dengan baik. Marigold.""Benarkah ini kamu, Nolan?" bis
Brak.Nolan membanting pintu apartemennya dengan geram. Dengan kasar, ditariknya dasi yang mencekik lehernya sedari tadi. Nolan berjalan mendekati meja bar di sebelah jendela apartemennya. Dituangnya cairan putih itu ke dalam gelas. Sekali teguk, Nolan menghabiskan minuman keras itu.Tuk.Dibantingnya gelas itu di meja bar. Pikirannya kembali ke restoran dimana dirinya bertemu dengan Marigold, mantan kekasih yang ditinggalkannya tanpa kabar. Nolan kembali mengisi penuh gelasnya, lalu berjalan mendekati jendela kacanya."Marigold, bagaimana mungkin seorang upik abu seperti dia, bisa menarik perhatian seorang milyader terkenal seperti Maximilian Alexander?" gumamnya sambil memandang ke arah jendela, yang menampilkan suasana malam dengan pemandangan kota yang cantik, terpampang jelas di depannya.Marigold adalah kekasihnya. Awalnya dirinya hanya ingin bermain-main dengan gadis polos itu. Berkencan dengan bergandengan kesana-kemari tanpa tujuan. Berciuman tanpa rasa dan hasrat, membuat No
Di suite hotel Alexander.Max terbangun dengan segar. Max meregangkan tubuhnya dengan nyaman. Matanya melirik pada tubuh telanjang yang masih bergelung di sisinya. Well, bercinta dengan kekasih hati memang membuatnya rileks dan menurunkan stres serta melupakan semua keruwetan masalah hidup. Terlepas apakah partner bercinta nya seringkali membuat pusing kepala Max.Srek.Max menyibakkan selimutnya, lalu turun dari ranjang. Langkahnya yang hendak ke kamar mandi terhenti saat teringat sesuatu."Dimana ponselku?" gumam Max dengan mata menyapu sekitar dirinya berdiri. Tidak ada. Benda persegi dan pipih itu tidak terlihat dimana pun. "Semalam aku meletakkan ponselku dimana ya?"Max menelusuri setiap sudut suite itu tetapi tidak kunjung menemukan ponselnya dimana pun. Kemudian Max menatap tajam kereta dorong yang berisi piring, mangkuk, gelas serta panci saji dari sisa-sisa makanan semalam.Max tergelak histeris. "Tidak mungkin," gumamnya seraya mengobrak-abrik semua peralatan makanan itu. "
Di Edelweis Mansion.Marigold sudah membuka matanya, tetapi dirinya masih bergelung malas di ranjang empuknya. Semalam dirinya tidak bisa tidur nyenyak gara-gara Martin, si asisten tuan milyader yang merecokinya tanpa jeda, tidak ada koma ataupun titik. Ck. Bahkan omelan tuan menyebalkan itu sampai terbawa ke dalam mimpi Marigold. Itulah sebabnya Marigold tertidur tetapi tidak nyenyak.Haaah, beginilah omelannya..."Nyonya Marigold, saya sangat marah dan kecewa dengan sikap anda yang tiba-tiba menghilang," tuduh Max tidak senang. "Anda adalah tanggung jawab saya. Bagaimana kalau anda betul-betul hilang? Apa anda tidak berpikir, bisa saja anda diculik, dilukai, bahkan lebih parah lagi bisa terbunuh? Anda perlu tahu Nyonya Marigold, bahwa lawan bisnis Tuan Max itu sangat banyak, lebih banyak dari dua puluh jari kaki tangan anda.""Tapi aku..."Martin mengangkat tangannya, mencegah Marigold menyela untuk memberi penjelasan. Dengan nada datar, Martin melanjutkan kicauannya..."Diam-diam a
"Aku jadi berpikir apa Max perlu memeriksakan matanya yang berkabut hingga membuatnya tidak bisa melihatmu yang ala kadarnya ini dengan jelas? Ck, benar-benar penurunan kualitas."Mendengar serentetan sindiran dan cacian membuat Marigold menarik nafas dengan gemetar. Tekanan hati terasa berat, terus menyerangnya tanpa ampun. Jika serangan itu secara fisik, mungkin Marigold bisa membalas menyerang serta menjatuhkan lawannya. Tetapi ini adalah serangan verbal. Meskipun Marigold sudah kenyang dengan ejekan dan olokan di masa sekolahnya dulu, tetap saja hatinya terasa sesak ingin meledak.Marigold memandang nanar Tuan Martin si algojo yang seolah menghakiminya dengan kemunculan beraneka ragam coklat, juga para siluman yaitu para istri yang memandangnya dengan iri karena dirinya lebih diperhatikan oleh tuan milyader. Ck, memang cocok sebutan panggilan itu untuk mereka semua yang berhati jahat. Sialan! Ini namanya hadiah pembawa petaka.Air matanya sulit untuk dibendung lebih lama lagi. Den
Di dojo, tempat Marigold biasanya berlatih karate. Dojo itu adalah milik pamannya, papa dari Nina."Hiiyaaaa.."Brak."Hiiyaaaa.."Brak.Sudah selama setengah jam penuh, Marigold memecahkan semua persediaan kayu yang digunakan untuk latihan kekuatan di dojo. Tetapi kini semua kayu itu sudah pecah dan tidak berbentuk lagi."Hiiyaaaa.."Brak."Sudah, hentikan Marigold," amuk Nina, sepupunya yang berdiri di depan papan kayu yang hendak dipecahkannya lagi. "Tanganmu sudah memerah, bengkak, dan mengeluarkan darah. Apa kamu mau jadi cacat, hah?!""Minggir Nina!" bentak Marigold marah sambil meremas kedua tangannya yang dibebat handswrap super kencang. Meskipun begitu, tangannya masih saja gemetar akibat terlalu banyak memecahkan papan kayu itu. "Aku harus menyelesaikan jadwal latihanku yang sudah lama terbengkalai.""Ya, tapi tidak berlatih gila-gilaan seperti ini. Yang ada, kamu bukannya sehat dan kuat, malah justru akan melukai dirimu sendiri. Hentikan sekarang juga, Marigold," bantah Nin
Sementara itu, di kantor pusat Alexander.Max masuk ke ruangan direksi bagaikan angin badai. Dengan menudingkan jari telunjuknya pada sekretaris nya, Max memberikan perintah..."Hubungi Martin sekarang juga.""Baik Tuan Max."Max sudah menyentuh gagang pintu penghubung ke ruang pribadinya, ketika teringat sesuatu. Max kembali berbalik dan menghadap sekretaris nya."Bilang pada Martin.. belikan aku ponsel baru.""Baik Tuan Max."Cklek. Blam.Tiga jam kemudian.Tok-tok-tok."Anda mencariku, Tuan Max?" tanya Martin sambil membuka pintu ruangan Max, lalu menutupnya."Kamu ada dimana saat Zahra menghubungimu, hah?!" geram Max yang sebal melihat asisten pribadinya datang sangat terlambat. Sambil bersandar ke sandaran kursi kerja, Max membanting file dokumen yang baru saja dipelajarinya untuk bahan meeting dengan bagian keuangan. Zahra adalah sekretaris Max."Zahra menghubungi saat saya sedang berada di Edelweis Mansion," jawab Martin sambil meletakan tas kantung kertas. "Dan ini ponsel baru
Drrrt-drrrt-drrrt."Tuan Max, ponsel anda berbunyi."Max mengedikkan dagunya pada Martin. "Kamu saja yang angkat."Martin mengangguk patuh, lalu meraih ponsel itu. "Halo Nyonya Alexander," sapanya sopan."Jadikan mode load speaker," perintah Max seraya duduk lagi di kursi kerjanya. "Aku ingin dengar apa yang mama katakan."Sejurus kemudian terdengar suara mama tercinta.."Martin, dimana Max?" tanya Nyonya Alexander tanpa basa-basi. Dengan suara lantang, mama Max mencecar Martin, asisten pribadi putranya. "Kenapa kamu yang mengangkat ponselnya? Apa saat ini Max sedang meeting? Dia meeting di kantor atau di luar? Siang ini, aku ingin mengajaknya lunch bersama."Martin memandang Max untuk meminta jawaban. Max mengangguk lesu sambil memijat pangkal hidungnya."Nanti akan saya sampaikan, Nyonya Alexander," jawab Martin diplomatis."Satu lagi, Martin.""Ya Nyonya Alexander. Ada pesan apa lagi?""Suruh Max mengajak istri terbarunya. Aku ingin makan siang dengan mereka berdua. Oke, aku putus