Nina baru saja menyelesaikan acara mandinya, ketika ponsel yang diletakkan di rak kaca wastafel, berbunyi. Nina segera membebat tubuhnya dengan handuk putih yang lebar dan besar. Diraihnya ponsel itu lalu menekan tombol hijau.
"Halo? Ada apa Marigold?" sapanya sambil membuka pintu kamar mandi lalu melangkah keluar.
"Saya Pak Umar. Bisa bicara dengan Nona Nina?"
"Pak Umar?" ulang Nina yang menurunkan ponselnya untuk mengecek nomer kontak sekali lagi. Benar, ini nomer ponsel Marigold, sepupunya. "Anda siapa? Kenapa ponsel sepupuku ada ditangan anda? Apa yang terjadi padanya?"
"Nina, ada apa dengan Marigold?" seru panik papa Nina yang tiba-tiba mendekati putrinya.
"Sebentar papa. Nina masih bicara nih, jangan menyela dong," omel sebal Nina sambil mendorong tubuh papanya yang mendekatkan kuping di ponsel yang diletakkan di telinga putrinya.
"Tapi papa harus tahu apa yang terjadi dengan keponakan tercinta papa," protes papa Nina yang dengan keras kepala berusaha untuk mendengarkan apa yang dibicarakan oleh lawan bicara putrinya.
"Haish papa ini," omel Nina sambil memutar bola matanya. Kemudian berbicara lagi di ponsel, "Ah maafkan aku. Bapak siapa tadi?"
"Saya Pak Umar."
"Ah ya Pak Umar. Apa yang terjadi dengan sepupuku, Pak Umar?"
"Pemilik ponsel ini ada ruang IGD."
"Ruang IGD?" ulang Nina terkejut dan langsung direspon pekikan papanya yang syok mendengar kata 'IGD'. Nina yang terkejut karena suara teriakan yang tiba-tiba, langsung mencubit keras lengan papanya agar tidak membuat kehebohan.
"Halo? Nona Nina?" panggil Pak Umar yang cemas karena suara orang yang ditelponnya tidak lagi menjawab. "Anda masih disana?"
"Ya-ya, aku masih disini, Pak Umar," jawab Nina yang memberikan lirikan tajam pada papanya sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir, agar tidak berisik. "Maafkan aku, Pak Umar. Silakan diteruskan. Bagaimana keadaan Marigold sekarang?"
"Dia menjadi korban penjambretan. Kondisinya masih belum sadar. Kepalanya sempat dipukul dengan kayu."
"Ya ampun," seru Nina yang syok mendengar kondisi sepupunya. "Di-dimana rumah sakitnya? Aku akan segera kesana."
"Di rumah sakit Bhayangkara."
"Terima kasih, Pak Umar. Terima kasih sudah menolong sepupuku."
"Sama-sama."
Klik. Sambungan ponsel terputus.
Sambil mematikan ponselnya, Nina memicingkan mata, menatap tidak suka pada papanya yang sedang sibuk menelpon. Nina tahu siapa yang ditelpon papanya. Dengan berkacak pinggang, Nina memandang marah pada papanya.
"Papa, apa yang papa lakukan?" desis marah Nina dengan penuh penekanan.
Papa Nina menjawab dengan polos. "Papa sedang menelpon bibimu untuk mengabari bahwa Marigold masuk IGD."
"Astaga papa," keluh Nina yang frustasi sambil mengusap wajahnya. Nina selalu geleng-geleng kepala, menghadapi papanya yang selalu polos dan patuh pada kakak perempuannya, yaitu mama Marigold. "Kenapa papa harus menelpon bibi sekarang? Kita bahkan belum tahu dengan pasti, bagaimana keadaan Marigold. Tidak seharusnya kita membuat khawatir bibi dan paman."
"Tapi, semakin cepat bibimu mengetahui hal ini, maka akan semakin baik," bantah papa Nina keras kepala. Kemudian Papa Nina menjawab lagi di ponselnya. "Baiklah kak, aku akan menjaga Marigold dengan baik."
"Terserah papa deh," gerutu Nina sambil berjalan ke arah kamarnya. "Aku mau ganti baju, lalu pergi ke rumah sakit menjenguk Marigold,"
"Tapi ini sudah malam, Nina. Jangan pergi sendirian. Ajak pacarmu," teriak papanya pada pintu yang tertutup.
Nina membuka pintu kamarnya dan menunjukkan wajah cemberutnya, karena diingatkan perihal kekasihnya yang menyebalkan. "Aku sedang bertengkar dengan Oskar. Aku malas bertemu dengannya."
BRAK. Nina membanting pintu kamarnya.
"Astaga Nina. Tiap hari bertengkar dengan Oskar, apa tidak bosan?" teriak papanya dari luar kamar.
Pintu kamar Nina kembali terbuka. "Aku sudah bosan hingga terasa mual dan hampir muntah. Tapi bertengkar adalah hobi DIA. Oskar selalu memancing keributan!"
BRAK. Pintu kamarnya terbanting tertutup.
*****
Setengah jam kemudian, Nina turun dari motor ojek. Nina segera berlari ke dalam lobi rumah sakit Bhayangkara. Nina terengah-engah ketika tiba di meja resepsionis rumah sakit.
"Sus, mau tanya dimana pasien bernama Marigold Flora ditempatkan?" tanya Nina tidak sabar.
"Marigold Flora?"
"Ya. Saya mendapatkan telpon dari seseorang yang mengabarkan bahwa sepupu saya masuk ke IGD."
"Ya, benar. Marigold Flora baru saja sadar. Dia ada di bed nomer tiga," jelas perawat yang berjaga sambil menunjuk ke sebuah ruangan yang tertutup tirai hijau yang besar.
"Baik. Terima kasih," jawab Nina cepat, lalu berlari masuk ke dalam tirai besar itu.
Srek.. Tirai terbuka.
Nina memindai ranjang satu per satu dan menemukan Marigold yang sedang berusaha duduk di ranjang rawat. Nina segera berlari kecil menghampiri Marigold, sepupunya. Begitu mendekat, Nina langsung mendekap erat sepupunya itu. Marigold adalah satu-satunya sepupu yang dimilikinya. Nina dan Marigold sama-sama anak tunggal, karena itu keduanya sangat akrab, melebihi saudara kandung.
"Astaga Marigold, kamu membuatku ketakutan," seru Nina yang melepaskan pelukannya dan segera memindai tubuh sepupunya dengan cepat. Luka yang dilihat Nina adalah luka di kepala dan lengan yang sudah diperban putih.
"Kepalaku sakit, Nina," keluh Marigold lirih sambil memegangi kepalanya.
"Berbaringlah. Jangan terburu-buru untuk bangun," tegur Nina lembut sambil membantu sepupunya kembali berbaring. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Marigold? Kenapa kamu bisa ada di rumah sakit?"
Marigold memandang langit-langit ruang IGD. "Hmm, seingatku.. setelah aku pulang dari laboratorium, aku masih sempat minum kopi di salah satu kafe yang biasa aku kunjungi bersama Nolan."
"Ck." Nina berdecak tidak suka mendengar nama Nolan, laki-laki brengsek yang meninggalkan sepupunya tanpa kabar dan membuat Marigold sering melamun. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Waktu kamu membalas pesanku, kamu masih baik-baik saja kan?"
"Justru karena aku sedang membalas pesanmu, ponselku dijambret orang."
"Dijambret?! Lalu?" seru Nina dengan mata membola.
"Yaa, tas dan ponselku dirampas. Lalu aku mengejar dua penjambret itu."
"Dua?!" ulang Nina dengan mata membelak. "Ya ampun. Kenapa kamu sangat ceroboh dengan mengejar mereka, Marigold? Para penjambret itu bisa saja melukai dan membunuhmu. Apa kamu tidak pernah membaca berita-berita di koran, betapa kejamnya para penjambret dan pembegal itu, hah? Nyawamu itu lebih berharga daripada sebuah ponsel dan tas," cecar Nina tanpa ampun.
"TIDAK BISA," teriak Marigold tidak terima.
"Tolong, jangan berisik ya," tegur seorang perawat yang kebetulan sedang berjalan melewati ranjang, tempat Marigold berbaring.
"Maaf suster," ucap Nina yang meminta maaf sambil menganggukkan kepala.
"Tidak bisa, Nina. Tidak bisa," bisik Marigold bersikeras.
"Ck, apa yang membuat barang-barang itu berharga, Marigold? Oke, ponsel memang cukup mahal dan berharga. Tetapi, kamu masih bisa membeli lagi ponsel itu, dan perihal nyawa, kamu tidak bisa membeli nyawamu, bodoh," tegur Nina gemas sambil menarik kursi dengan kasar, lalu duduk.
"Aku tidak mau kehilangan ponsel itu, Nina. Semua foto Nolan tersimpan disana. Jika ponsel itu hilang, aku akan benar-benar kehilangan dirinya," bisik sedih Marigold sambil meraih ponselnya yang tergeletak di bawah bantal, lalu mendekapnya erat di dada.
"Astaga Marigold. Kemarikan ponselmu, biar aku banting sekalian," sembur Nina emosi.
"Jangan sembarangan, Nina. Jangan pernah menyentuh ponselku atau aku akan menendangmu hingga ke planet antah berantah," balas Marigold galak.
"Terserah kamu saja. Dasar idiot," geram Nina sambil mengibaskan tangannya. Nina selalu emosi jika mendengar sepupunya ini masih saja merindukan Nolan yang sudah meninggalkannya. "Lalu tasmu? Kenapa tas itu tidak kamu relakan saja? Toh juga tidak ada barang yang berharga," cibir Nina seraya berdecak.
"Tas juga tidak boleh hilang."
"Kenapa? Apa di tasmu itu, kamu juga menyimpan semua kenangan Nolan?" tanya Nina dengan nada menyindir.
Marigold menggeleng. "Tasku berharga, karena didalamnya ada hasil tes keperawanan. Aku tidak mau mengulang tes yang mahal itu. Bisa bangkrut aku."
"Astaga."
Bersambung...
Suara bising di sekitarnya terdengar mengganggu pendengaran Marigold yang sedang tertidur pulas. Perlahan, dibukanya kedua matanya dan langsung bertatapan dengan sebuket bunga mawar kuning yang diletakkan di meja, dekat dirinya berbaring."Bunga? Kenapa ada bunga di kamarku?" gumam Marigold yang disorientasi karena bangun tidur. Belum lagi ditambah rasa sakit di kepala, perih iya, pusing juga iya. "Aku ada dimana ya?""Marigold, kamu sudah bangun?"Kepala Marigold berputar ke arah sebaliknya dari dirinya berbaring, untuk melihat siapa yang berbicara padanya. Dan lagi-lagi dirinya melihat sebuket bunga yang.. berbicara? Marigold mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya di bantal sambil berpikir keras. Well, apakah dirinya sedang berhalusinasi, melihat buket bunga yang bisa berbicara?"Siapa kamu? Kenapa bunga matahari bisa berbicara?" tanyanya linglung."Ck, apaan sih? Omonganmu semakin bertambah ngawur saja, Marigold. Kupikir kepalamu masih per
Ting-tong.Marigold membuka pintu apartemennya, namun langsung membantingnya kembali. Dan sayangnya, usahanya gagal. Pintu itu ditahan oleh tamu Marigold, yang kini memaksa masuk ke dalam apartemen.Marigold bersedekap dan bersandar di tembok, dekat pintu apartemen yang masih dibiarkannya terbuka. Marigold sama sekali tidak menyukai kehadiran si tamu yang kini sedang berjalan-jalan tanpa permisi, masuk ke area pribadinya serta memindai setiap sudut miliknya dengan raut tidak terbaca. Menyebalkan."Menurutmu, apa yang sedang kamu lakukan disini, Adam? Kamu bukan temanku. Dan sekarang kamu memaksa masuk ke dalam apartemenku. Itu adalah suatu kejahatan. Sekarang, mungkin aku harus menelpon pihak sekuriti untuk membawamu keluar dari apartemenku. Dan setelah itu, aku akan memanggil tim penyemprot hama, agar apartemenku terbebas dari virus.""Ck-ck.. Sudah lama tidak bertemu, masih saja bermulut tajam.""Untuk menghadapi orang asing dengan maksud tidak j
Pukul 19.00. Restoran Perancis.Maximilian bersama Martin masuk ke sebuah restoran Perancis, untuk makan malam bisnis bersama salah satu kolega bisnis, yaitu seorang ahli pembibitan parfum dari Perancis. Jalanan macet karena adanya penutupan beberapa ruas jalan utama menjelang akhir tahun, akibatnya Max terpaksa datang terlambat. Dan sebelumnya Martin, asisten pribadinya sudah mengabarkan keterlambatannya pada koleganya ini, sehingga laki-laki yang berkumis lebat ini bisa memahami alasan keterlambatan Max."Dia? Sedang apa dia disini?" gumam Max lirih ketika sudut matanya menemukan sosok yang familiar. Ck, apanya yang familiar. Dirinya baru bertemu satu kali, yaitu saat menyelamatkannya dari penjambret, beberapa hari yang lalu. Tanpa sadar, kaki Max berhenti melangkah. "Sungguh pertanyaan bodoh. Di restoran, tentu saja sedang makan malam," monolognya, merutuki dirinya sendiri."Siapa?" tanya Martin bingung. Asisten pribadi Max yang berjalan di sisinya, yang juga
"Sudah sampai, non," kata pak sopir sambil menoleh ke arah jok belakang mobil MPV hitam miliknya. "Ini uangnya, pak. Ambil saja kembaliannya," kata Marigold sambil memberikan sejumlah uang pada pak sopir online. Lalu membuka pintu mobil dan menggeser tubuhnya untuk keluar dari mobil. Si bapak segera menghitung uang, lalu mendongak dan menatap penumpangnya. "Tapi ini uangnya kurang, non." "Benarkah, pak? Masa sih kurang? Aku sudah menghitung uangnya dengan benar lo," bantah Marigold sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat antara total tagihan dan jumlah uang yang dibayar. "Benar non. Bapak ini kerja cari duit dengan jujur. Untuk apa makan uang haram?" protes pak sopir dengan wajah memelas sambil menunjukkan uang yang telah dibayarkan oleh Marigold. "Dasar," gerutu Nina, sepupu Marigold kesal. "Kurangnya berapa, pak?" "Enam ribu, non." Nina berdecak semakin keras dan melotot tajam pada Marigold yang sedang berpikir keras, enta
The Alexander's Hotel. Marigold turun dari taksi, lalu memasuki lobi hotel 'The Alexander's Hotel', tempat diadakannya acara pemilihan gadis untuk sang milyader, dengan percaya diri. Nafasnya tercekat melihat kemewahan yang ditawarkan oleh hotel ini. Bukan hanya dirinya saja yang manik matanya membelak takjub serta mengeluarkan seruan 'wow' ketika memindai setiap sudut lobi hotel ini, namun hampir sebagian besar para tamu yang datang merasa silau dengan kemewahan. Baru kali ini, Marigold menginjakkan kaki di tempat seglamor ini. "Wow, mimpi apa aku semalam, sehingga aku bisa menginjakkan kaki disini, tanpa harus takut diusir sekuriti," bisik Marigold yang berulang kali menyesap air liurnya karena sangat terpukau dengan bangunan istimewa ini. Hotel nan megah ini dikelilingi oleh pasir putih, yang katanya diterbangkan langsung dari luar negeri. Pantai buatan itu membuat hotel super mewah ini seakan berada di pulau pribadi. Saat memasuki lobi hotel, para tamu ak
Stempel 'tidak lolos' sudah akan ditempelkan pada berkas milik si gadis karate yang unik itu, ketika ponsel miliknya berdering dengan nada pesan masuk. Stempel itu diletakkan terlebih dahulu. Pesan masuk harus segera dibuka, karena siapa tahu ada instruksi penting dari atasan. Pesan dibuka. "Siapa pun yang menerima gadis yang bernama 'Marigold Flora', petugas itu harus me-LOLOS-kan nya. Tidak peduli, jika gadis itu mendapatkan peringkat paling bawah. Status LOLOS harus diberikan. Ini adalah perintah langsung dari atasan. Yang melanggar, otomatis dipecat." Staf yang menerima wawancara dengan gadis bernama Marigold Flora, langsung tercengang syok hingga lupa bernafas. Dilihatnya sekali lagi dokumen yang berisi data pribadi dari si gadis karate. "Yang benar saja, wajah dan body standar, sama sekali tidak ada yang istimewa. Kepribadian pun juga tidak memuaskan. Disuruh jalan cantik saja tidak bisa, bagaimana mungkin menjadi finalis gadis untuk sang milyad
"Tuan Martin," panggil seorang sekuriti. Laki-laki yang dipanggil sebagai Tuan Martin menjawab, "Ada apa?" "Ada keributan di ruang kesehatan." "Keributan?" ulang Tuan Martin heran. "Keributan apa?" "Ada seorang gadis yang tiba-tiba dikeroyok sekelompok gadis berjumlah empat orang. Ini rekaman CCTV nya," lapor sekuriti itu sambil menunjukkan rekaman itu di tabletnya. Alis Tuan Martin berkerut hingga menyatu di tengah pangkal hidung ketika melihat adegan bag-big-bug. Seorang gadis yang seorang diri dikeroyok oleh empat orang gadis lain. "Astaga ini..," bisiknya pelan terkejut. "Antarkan aku kesana sekarang," perintahnya lanjut. "Mari ikut saya, Tuan Martin." Kemudian.. Cklek. Pintu ruangan kesehatan itu terbuka. Suara terkesiap terdengar dari Tuan Martin dan sekuriti itu, saat melihat empat gadis yang terkapar disana. Ada yang masih terbaring di lantai sambil meringkuk kesakitan. Dua lainnya bersandar di dinding dan menge
"Huft.. akhirnya selesai," gumam Marigold sambil meregangkan tubuhnya di depan lobi hotel. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Leganya. Akhirnya tes pertama selesai. Semoga aku bisa masuk final." Setelah melewati berbagai drama di acara tes pemilihan tadi, Marigold memutuskan untuk berjalan menikmati udara malam yang sejuk, untuk melancarkan peredaraan darah serta meluruskan otak yang kusut. Ditentengnya sepatu high heels nya yang patah, sedangkan pergelangan kakinya yang keseleo sudah dibebat oleh perawat, agar tidak menambah beban cedera sewaktu berjalan pulang. "Seingatku di depan perempatan sana, ada pangkalan taksi. Aku akan jalan saja sampai ke sana, lalu pulang naik taksi," monolognya sambil melayangkan pandangan ke gedung-gedung bertingkat di sekitarnya. Senandung nada ceria yang digumamkan Marigold seketika berhenti, saat matanya menatap sosok punggung seseorang yang dirindukannya. Akhir-akhir ini, mata dan hatinya selalu me