Gunawan terpaku saat melihat siapa gadis itu. Matanya menatap gadis itu tanpa berkedip. Bukan karena kecantikannya yang membuat Gunawan seperti ini. Tapi dia kembali teringat saat gadis itu bertanya tentang hal-hal pribadinya. "Mas Gunawan! Mau pesan apa pesan apa Mas?" Gadis yang ternyata Ambar itu menyunggingkan senyuman manisnya pada Gunawan. Faizal tampak melongo saat gadis cantik incaran pada jejaka itu mengenal Gunawan. Bahkan dia memanggil Gunawan dengan sebutan mas. Dia lantas menyenggol lengan Gunawan untuk menanyakan sesuatu. "Kamu udah kenal sama dia?" Faizal berbisik pada Gunawan agar Ambar tak mendengar suara mereka. Gunawan hanya mengangguk saja. "Enggak kenal-kenal banget sih. Tapi kita pernah ketemu di tempat lain." Gunawan menjawab dan mencoba mengklarifikasi agar tak ada salah paham antara dirinya dan Faizal. "Kenal di mana?" Faizal kembali bertanya. Jiwa keponya semakin menjadi-jadi kala mendengar jawaban Gunawan barusan. Gunawan menatap wajah Faizal dengan he
Ambar menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak hingga membuatnya kesulitan bernapas. Hatinya terasa nyeri karena sikap yang ditunjukkan oleh lelaki pujaannya. Bulir-bulir bening jatuh tak tertahankan lagi. Membasahi perihnya luka dan semua rasa sesak dalam dada. 'Kenapa dia menolakku? Apa kurangku padanya? Apa aku kurang menarik di matanya?' Ambar berkata dalam hati sembari mengusap air mata yang jatuh. Sementara itu di tempat lain, Anggun tampak sedang menerima tamu di rumahnya. Dari raut wajahnya jelas dia tak menyukai tamunya itu. "Jadi, bagaimana? Mau diselesaikan secara baik-baik atau melalui jalur hukum?" Si tamu memberikan pilihan pada Anggun yang tampak sedang berpikir keras. Di sampingnya, bu Ika tampak menundukkan kepala tanpa berani mengangkat wajahnya sedikitpun. "Kalau kalian bisa kooperatif dan tidak kabur-kaburan, saya bisa menolong kalian dalam hal ini. Tapi kalau kalian masih saja ngeles dan banyak alasan, mohon maaf kalau kami terpaksa menggunakan kekerasan,
Sejak pagi tadi bi Darni dan pak Kosim tampak sibuk. Mereka berdua menyiapkan segala keperluan dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah Anisa. "Gun, nanti kalau mau makan udah bibi siapin di meja makan. Bekal kamu juga udah bibi siapin." Bi Darni berkata sambil mengetuk pintu kamar Gunawan. "Iya, Bi makasih!" sahut Gunawan dari dalam kamar. "Bibi sama pamanmu berangkat dulu ya," ucap bi Darni lagi. "Bibi sama Paman mau ke mana?" Gunawan bertanya setelah membuka pintu kamar dan berdiri di depan bibinya. "Bibi sama paman mau ke rumah pakde Dullah. Sebentar lagi kan Mira menikah, jadi kita mau kasih tahu pakdemu itu," ical bi Darni. Gunawan tersenyum. "Iya, Bi. Naik apa ke sana? Mau aku antarkan ke halte?" tawar Gunawan. "Enggak usah, Gun. Kamu kan juga mau berangkat kerja. Jadi biar bibi berangkat bareng Handi aja," tolak bi Darni. Gunawan mengangguk mengerti. Kemudian setelah berbincang sebentar, kedua orang
Gunawan berdiam diri cukup lama di tepi sungai kecil itu. Dia menikmati desiran angin yang mencoba membawa lukanya pergi."Kamu ternyata di sini, Gun!" tegur sebuah suara. Gunawan menoleh dan mendapati seorang wanita dengan baju kebaya tengah berjalan menghampiri dirinya. "Kamu ngapain di sini sendirian? Mira sudah mau akad tuh. Kita ke sana yuk!" ajak wanita yang tak lain adalah Anisa. Gunawan tersenyum. "Mbak Nisa duluan aja. Nanti aku menyusul," ucap Gunawan. Bukannya pergi, Anisa justru ikut duduk di atas baru besar itu."Kamu kenapa? Ada masalah kah?" tanya Anisa. Gunawan mendesah pelan. Dia tak ingin ada yang tahu tentang perasaannya saat ini."Kalau ada masalah, cerita sama mbak. Siapa tahu kan, mbak bisa bantu cari solusinya," ucap Anisa. "Makasih, Mbak. Aku cuman pengin sendiri aja." Gunawan berkata sembari memainkan pucuk daun yang dipegangnya. "Sebaiknya Mbak Anisa ke sana aja
Tubuh Anggun ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Pisau masih menancap di pinggangnya ketika dia tak sadarkan diri. Bu Ika berteriak meminta tolong pada warga yang lewat. Anggun segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Sedangkan perempuan yang menusuknya diamankan oleh warga sekitar bersama dengan dua yang lainnya. Sementara itu, Gunawan baru saja kembali ke rumahnya setelah acara selesai dan para tamu telah pulang. Termasuk semua kerabat dan pak Dullah juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Bi Darni yang sejak tadi menunggu kepulangan Gunawan, tampak menghela napas lega kala melihat sang keponakan datang. Perempuan itu lantas menghampiri Gunawan yang baru saja tiba di rumahnya. "Kamu dari mana saja, Le?" Bi Darni bertanya seraya menghampiri Gunawan di teras rumahnya. Gunawan menghela napas panjang. "Aku masuk dulu ya, Bi. Aku capek banget," ucap Gunawan. Mendengar suara Gunawan, pak Kosim segera kelu
Gunawan memegangi pipinya yang perih karena tamparan itu. Belum sempat ia berkata atau membela diri, sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya. "Kalau hanya menjadi beban keluarga, kenapa tak mati saja menyusul ibumu!" Suara itu kembali berkata keras dengan mata menatap nyaman. Bi Darni yang melihat itu, hanya bisa berteriak histeris. Wanita itu berusaha menolong Gunawan yang terkena tamparan dan bogem mentah dari orang itu. "Sudah, Kang! Sudah! Jangan diteruskan lagi." Bi Darni berkata sembari menghalau tangan lelaki yang tak lain adalah pakde Dullah itu. "Biarkan aku menghajar anak kurang ajar ini. Dasar anak sialan!" Semburan kalimat menyakitkan kembali meluncur bebas dari mulut lelaki jangkung itu. Gunawan hanya bisa terdiam tanpa melakukan apa-apa. Seolah dia pasrah dengan perlakuan lelaki yang masih terhitung saudaranya itu. "Sudah, Kang! Sudah!" Bi Darni kembali mengulangi perkataannya."Semuanya masoh bisa d
Bu Marina tampak berpikir keras. Di satu sisi, dia tak ingin berbagi harta dengan Anggun dan juga ibunya. Tapi di sisi lain dia tak ingin masuk penjara."Gimana? Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya hanya memberikan solusi dan pilihan terbaik." Anggun mengulangi perkataannya yang membuat Bu Marina semakin terpojok.Sementara itu Pak Adi terus saja mendesak sang istri untuk memberikan rumah itu. Dia tak ingin masalah ini menjadi panjang. Dia hanya ingin masalah ini cepat selesai. Namun Bu Marina sepertinya masih enggan untuk menyerahkan itu walaupun ancaman masuk penjara di depan mata."Sudahlah, Bu. Lebih baik kita mengalah saja. Daripada Ibu dipenjara. Bapak nggak bisa lihat Ibu menderita," bisik Pak Adi.Bu Marina menghela napas panjang. Dia masih terdiam di tempatnya. Otaknya masih berpikir bagaimana caranya supaya tak kehilangan rumah dan dirinya tak dipenjara.
Faizal dan Ridwan menghampiri Gunawan yang tertunduk lesu. Mereka tahu apa yang menyebabkan Gunawan di panggil oleh Pak Anang ke ruangannya. Mereka juga tahu siapa yang telah memfitnah Gunawan seperti itu. "Gun!" Faizal menegur Gunawan sembari menepuk pundak lelaki itu. Gunawan menoleh. Lelaki itu tersenyum pada sahabat baiknya itu. Itulah luar biasanya Gunawan. Di saat dia menghadapi permasalahan, Gunawan masih bisa menghadirkan senyuman tulus. "Ada apa?" tanya Faizal. Lelaki berperawakan sedang itu pura-pura tak mengetahui yang sebenarnya. Dia ingin Gunawan berkata jujur dan menceritakan semuanya pada Faizal. Gunawan mengernyitkan keningnya. "Kenapa, Bang?" Faizal menghela napas panjang. "Kamu kenapa? Apa ada masalah? Soalnya aku lihat, kamu kayak lagi banyak masalah," ujar Faizal. "Iya, Mas. Mas Gunawan kalau ada masalah, cerita aja sama kita. Insya Allah kita bantuin cari solusi," sahut Ridwan. Gunawan menatap dua rekan kerjanya itu bergantian. Kemudian dia mengulas senyum