Bu Asih berdiri di teras panti dengan khawatir. Hari sudah mulai gelap tapi Era belum juga kembali ke rumah. Bukan obat Rafi yang ia pikirkan saat ini, tapi keberadaan Era. Menelepon pun percuma karena Era meninggalkan ponselnya di rumah. Kadang kecerobohan gadis itu membuatnya mengelus dada. Saat akan masuk, sebuah motor mulai memasuki halaman. Mata Bu Asih menyipit saat melihat Era yang sudah datang. Wanita itu menghela napas lega, tapi itu tidak berlangsung lama saat Era turun dari motor dengan tertatih.
"Era? Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Asih khawatir.
Era menatap Bu Asih dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan dia mendekat dengan kantung plastik yang berisikan obat Rafi. Meskipun tubuhnya terasa sakit, tapi Era tetap bertanggung jawab untuk membeli obat adiknya.
"Tangan kamu kenapa, Ra?" tanya Bu Asih sekali lagi.
Era merengek dan mulai menangis, "Kesenggol transformer, Buk. Badanku sakit semua."
"Transformer? Mobil maksud kamu?" tanya Bu Asih.
Era mengangguk sambil melihat lengan dan kakinya yang masih belum diobati.
"Pasti kamu yang nggak hati-hati. Terus gimana transformer-nya?"
"Penyok, Buk. Untung yang punya nggak minta ganti rugi."
Alis Bu Asih naik mendengar itu, "Bisa-bisanya dia nggak minta ganti rugi? Kalau itu Ibuk, udah pasti langsung minta ganti rugi yang banyak. Apalagi tau kalau kamu yang rusakin."
"Ih, Ibuk! Sakit semua nih badanku."
Bu Asih tersenyum dan mengelus kepala Era sayang, "Ayo masuk, Ibuk obatin luka kamu."
***
Era menatap adik-adiknya yang sedang menikmati makan malam satu-persatu. Anggota panti memang tidak banyak dan hampir semuanya masih di bawah umur. Hanya dirinya yang sudah mempunyai KTP, maka dari itu dengan kesadaran diri Era bersedia membantu Bu Asih untuk menjaga adik-adiknya. Era memang penghuni pertama di panti ini, oleh karena itu dia memiliki keistimewaan tersendiri.
"Kamu nggak makan, Ra?" tanya Bu Asih.
"Nanti aja. Biar adik-adik makan dulu."
Bu Asih tersenyum mendengar itu. Tangannya meraih piring dan memberikannya pada Era, "Makan sekarang. Lauk masih banyak, nggak usah khawatirin adik-adikmu."
Era tersenyum dan mulai mengambil makanannya. Lengan dan kakinya sudah berbalut perban setelah diobati. Untung Bu Asih memiliki keahlian, jika tidak mungkin dia harus mengeluarkan uang untuk berobat ke klinik.
"Besok kamu nggak usah sekolah dulu." Saran Bu asih.
Era dengan cepat menggeleng, "Nggak, Buk. Aku masuk aja besok. Penggantinya Pak Wijaya serem."
"Kata siapa? Pak Aksa baik kok."
Era berbalik dengan alis yang bertaut, "Ibuk kok kenal Pak Aksa?"
"Tadi kan Pak Aksa ke sini jemput Bian."
Era menatap Bu Asih dengan was-was. Semoga apa yang dia pikirkan saat ini tidak benar adanya.
"Pak Aksa dateng ke sini?" tanya Era sekali lagi.
"Iya. Kan dia Papanya Bian." Bu Asih menjawab santai.
Bagai tersengat listrik, tubuh Era mendadak berubah kaku. Dia menatap Bu Asih dengan pandangan tidak percaya. Ternyata pria yang ia musuhi selama ini adalah anak dari Pak Wijaya dan Bu Ratna? Kenapa dia tidak mengetahuinya? Era pikir Aksa hanya orang luar yang menggantikan posisi Pak Wijaya untuk mengurus sekolah. Era mencari masalah dengan orang yang salah.
"Mampus aku!" Era meremas piringnya dan berlari menuju kamar.
"Ra! Kamu kenapa?!" teriak Bu Asih.
"Habis aku, Buk!" Era merasa bodoh karena sudah bersikap kurang ajar dengan anak Pak Wijaya yang sudah berbaik hati padanya selama ini.
***
Di sekolah, Era tidak semangat seperti biasanya. Bahkan teman-teman yang bertanya akan perban di tubuhnya tidak ia jawab. Entahlah, Era tidak memiliki selera untuk berbicara saat ini. Dia masih tidak percaya jika Aksa adalah anak dari Pak Wijaya. Bagaimana bisa orang sebaik Pak Wijaya dan Bu Ratna mempunyai anak yang menyebalkan dan memiliki tingkat disiplin yang tinggi seperti Aksa? Dan lebih parahnya Aksa adalah ayah Bian, anak kecil yang ia sayangi. Pantas saja Era tidak pernah bertemu Aksa selama ini karena pria itu memang tinggal di luar kota untuk mengurus cabang perusahaan yang lain.
"Ra, kalo cuma diaduk mending mie ayamnya buat gue."
Era mengangkat kepalanya untuk menatap Aldo. Tidak berniat protes, Era mendorong mangkoknya untuk pria itu. Apa yang dilakukan Era tidak lepas dari pandangan teman-temannya.
"Ra, lo kenapa?” tanya Lala bingung, salah satu teman sekelasnya.
"Iya, Ra. Biasanya lo protes kalo gue minta makanan lo?" tanya Aldo. "Lo habis di-rukyah ya?" lanjutnya.
"Lah, kok lo duluan sih, Ra? Katanya mau bareng?" Lala dengan otak lemotnya ikut menyahut.
"Apaan sih? Emang lo pikir badan gue sarang iblis?" Era menggerutu dan menopang kepalanya di atas meja. Dia merasa lemas, kepalanya pusing dengan tubuh yang masih linu sana-sani.
"Lo kenapa sih? Ayo cerita sama gue." Kali ini Lala menarik tangan Era.
"Kalian tau Pak Aksa?"
"Tau, kenapa?" tanya Aldo mulai memakan mie ayam milik Era.
"Ternyata dia anaknya Pak Wijaya. Dia juga bapaknya Bian."
"Serius lo?" Aldo terbatuk dan segera meminum tehnya.
"Anjir! Pantes aja dia berani kasih hukuman, Ra. Gue pikir dia cuma pengganti sementara Pak Wijaya."
"Gue juga mikir gitu dan sialnya lagi gue udah penyokin mobil dia kemarin."
"Penyokin gimana?" tanya Lala bingung.
"Lo liat badan gue. Kemarin gue kecelakaan nabrak mobil Pak Aksa."
"Serius? Terus gimana?" tanya Aldo.
Era mengusap wajahnya kasar, "Awalnya dia minta ganti rugi, tapi gue bilang nggak punya duit akhirnya nggak jadi. Tapi pas tau kalo dia anak Pak Wijaya gue jadi takut."
"Takut gimana?" tanya Aldo bingung, "Bagus dong kalo nggak jadi minta ganti rugi."
"Nggak enak, Do. Gue dari kecil idup diurus sama Pak Wijaya. Bisa-bisanya gue kurang ajar sama anaknya. Pasti Pak Wijaya di surga nangis liat tingkah gue."
"Iya juga ya." Lala mengangguk paham. Dia mengerti akan posisi Era yang serba salah, "Ya udah, kalo gitu lo minta maaf." lanjutnya.
"Ntar kalo disuruh ganti rugi beneran gimana? Bu Asih nggak tau kalo mobil Pak Aksa yang gue tabrak."
"Ya udah, jual ginjal aja." Aldo tertawa. Dia tampak bahagia di atas penderitaan Era.
"Lucu lo," gerutu Era kesal.
Era terdiam memikirkan saran yang diberikan Lala. Mau tidak mau dia memang harus meminta maaf. Bukan hanya untuk masalah mobil tapi untuk tingkahnya selama ini. Era tahu jika dia sudah sangat kurang ajar. Saat sedang asik melamun, Era merasakan ponselnya bergetar. Dahinya berkerut saat melihat nomor asing yang masuk ke W******p-nya.
"Gimana keadaan kamu?"
Isi pesan yang begitu singkat tanpa ada nama pengirim membuat Era semakin kebingungan.
"Ini siapa ya?" balas Era.
"Saya Pak Aksa."
"Allahuakbar!" Era berteriak saat tahu siapa yang mengirimkannya pesan ini. Tidak berniat membuat Aksa menunggu, dengan segera Era mengetik balasan untuk pria itu.
"Keadaan saya sudah baik, Pak. Saya juga udah masuk sekolah."
Era menatap ponselnya dengan was-was. Dia menunggu pesan balasan Aksa dengan jantung yang berdebar. Bahkan pertanyaan dari teman-temannya ia abaikan.
"Bagus kalau gitu. Saya cuma mau kasih tau kalau tugas karya tulis ilmiah kamu saya majukan jadi senin depan."
Era mengumpat dan meremas ponselnya kesal. Apa harus dia meminta maaf jika Aksa masih menyebalkan seperti ini? Bisa-bisanya dia memajukan deadline tugas sesuka hati. Bahkan Era belum memulainya sama sekali dan waktunya hanya tinggal dua hari.
Kalo kaya gini kayanya pak Aksa yang harus di-rukyah, batin Era.
***
Aksa membuka matanya saat cahaya matahari mulai menyilaukan mata. Setelah berhasil membuka mata dengan sempurna, Aksa melihat siluet tubuh istrinya yang berdiri didepanjendela, tampak menikmati udara pagi Belanda yang sejuk."Jam berapa?" tanya Aksa dengan suara serak. Tangannya meraih selimut untuk menutupi tubuhtelanjangnya."Jam tujuh." Era berjalan mendekat dengan senyum manisnya. Era tampak cantik dengan baju tidur putihnya. Seketika Aksa mengalamiDejavu. Dia seperti pernah merasakan hal ini sebelumnya, tapi dia lupa kapan dan di mana. Kening Aksa berkerut mencoba untuk berpikir. Dia masih menatap Era yang berdiri di depannya denganpenasaran. Benar saja! Seketika Aksa teringat dengan mimpi-mimpinya dulu. Dia pernah bermimpi seperti ini sebelumnya. Persis dengan Era yang membangunkannya di pagi hari. Apa mimpi itu adalah gambaran tentang masa depannya? Jika iya, maka Aksa sangat takjub dengan takdir Tuhan."A
Seperti yang sudah Aksa dan era duga sebelumnya. Sepulang dari bulan madu, sudah banyak kegiatan yang menanti mereka. Liburan yang dijadwalkan hanya berlangsung selama dua minggu mundur menjadi tiga minggu. Terima kasih pada Aksa yang sudah mengabulkan permintaan Era untuk melihat Napoli. Bulan madu mereka meninggalkan kesan yang membahagiakan untuk Era.Untuk pertama kalinya dia dapat berlibur berdua dengan orang yang ia cintai. Sudah bertahun-tahun Era menunggu momen ini. Bukan hanya dirinya,tapijuga Aksa."UdahSiap?" tanya Aksa masuk ke dalam kamar. Pria itu terlihat tampan dengan jas abu-abu yang dipakainya.Era mengangguk dan mulai mengambil tasnya. Hari ini adalah hari yang penting untuknya. Untuk pertama kalinya Era akan membuka toko interior danfurnituremiliknyasendiri. Terima kasih pada ayahnya yang sangat bekerja keras untuk membantu mewujudkan mimpinya itu."Papa sama Mama udah ada di sana. Kita sedikit t
Denganmengenakankaca mata hitamnya, Era dan Aksa mulai keluar dari bandara. Di sana, sudah ada seseorang yang Aksapekerjakanuntuk menjadi supir mereka di Italia selama dua minggu. Ya, akhirnya Italia menjadi tujuan bulan madu mereka. Semua keputusan ada di tangan Aksa dan Era hanya menurut. Era memang tidak memiliki keinginan untuk mengunjungi suatu tempat. Baginya, selama ada Aksa, dia tidak masalah."Kalau Kak Aksa capek bisa tidur dulu." Era memberikan bahunya.Aksa terkekeh mendengar itu. Lihat, Era sangat berbeda. Biasanya pria yang akan mengatakannya tapi itu tidak berlaku untuk Era. Wanita itu jauh lebih dewasa sekarang, meski sifatkekanakannyamasih ada."Kamu aja yang tidur." Aksa menarikkepalaEra untuk bersandar di bahunya."Sebentar," ucap Era. Meskipun menolak tapi dia tetap bersandar di bahu Aksa dengan nyaman. Tidak tidur, mata Era malah masih tertuju padaponselnya."Kamu cari
Era keluar dari mobil bersamaBian. Matanya menatap halaman rumah Aksa dengan tatapan tenang. Mulai hari ini, Era akan tinggal di rumah ini, rumah yang dia pikir hanya akan menjadi markas sementara saja. Namun siapa sangka jika dia akan tinggal di rumah ini selamanya?Aksa membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper Era. Melihat itu,Era membantu denganmembawatas-tas kecil yang berisi beberapa kebutuhannya."Ayo, masuk," ajak Aksa.Era masuk dengan menggandeng tanganBian. Saat akan membuka pintu utama, Aksa dikejutkan dengan ibunya yang lebih dulu membuka pintu dari dalam. Wanita paruh baya itu tersenyum senang danmerentangkankedua tangannya,"Selamat datang!" teriaknya.Era terkekeh melihat tingkah ibu mertuanya. Sampai saat ini Era masih belum percaya jika Bu Ratna akan menjadi ibu mertuanya. Tidak ada yang berbeda, karena selama ini Bu Ratna sudah menganggap Era sebagai anaknya."Ayo, masuk." Bu Ratna m
Tepat pukul delapan pagi, di sebuah masjid yang cukup ternama, rombongan dari dua keluarga sudah memenuhi ruangan yang telah disediakan. Hanya ada keluarga dan saudara yang datang di acara akad nikah ini. Semua mata tertuju pada Aksa sekarang. Pria itu terlihat tampan dengan pakaian putihnya, senada dengan pakaian Era. Namun bukan pakaian yang menjadi fokus utama, melainkan tangan Aksa yang mulai menjabat tangan ayah Era.Dengan penuh keyakinan, Aksa mulai mengucapkan kalimat sakral yang akan menjadi gerbang menuju hubungan yang lebih resmi. Semua orang tampak menahan napas saat Aksa melakukannya. takut jika pria itu akan melakukan kesalahan. Meskipun bukan kali pertama, bukan berarti Aksa mahir dalam hal ini bukan?"Sah!" ucap para saksi yang membuat semua orang mulai bernapas lega, termasuk Era.Mata Era yang sedari tadi terpejam mulai terbuka. Perlahan matanya memanas, dia tersenyum saat Aksa melakukannya dengan sangat lancar. Sedari tadi jantung Era ti
Di sore yang cerah, Era memutuskan untuk berkunjung ke rumah Aksa. Bersyukur hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak disibukkan dengan pekerjaannya. Era memang sengaja tidak mengabari Aksa, lagi pula dia memang ingin bertemu dengan Bian. Motor Era berhenti di garasi rumah Aksa. Meskipun sudah memiliki banyak uang, tapi Era masih tetap menggunakan motor lamanya. Bukannya apa, tapi motor itu adalah saksi mata atas perjalanan hidupnya yang menakjubkan.Dengan membawa beberapa kotak donat dan es krim, Era mulai mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Bibi yang tersenyum melihatnya."Mbak Era, ayo masuk, Mbak. Kebetulan Dek Bian lagi main di belakang.""Makasih, Bi. Ini tolong es krim-nya dimasukin kulkas ya.""Iya, Mbak."Era mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Saat di ruang tengah, dia meletakkan donat yang dia bawa di atas meja. Pandangannya mengedar ke segala arah. Perlahan senyum bahagia menghiasi wajahnya. Era masih ingat s
Di sebuah kafe, terlihat seorang pria tengah kebingungan melihat pasangan di depannya yang tengah berdebat. Dia hanya bisa diam dan menunggu keputusan final yang akan disampaikan. "Lebih bagusoutdoor, Kak." Era masih berusaha untuk membujuk Aksa. "Indoorlebih enak, Ra. Kamu nggak takut hujan apa?" Era mendengkus, "Panggil pawang hujan." "Pawang hujan bisa kalah sama takdir Tuhan." Ucapan Aksa membuat Era menutup mulutnya rapat. Dia kesal dengan Aksa yang meminta pernikahan mereka dilaksanakan di dalam ruangan. Sejak kecil, Era memiliki impian untuk menikah di taman bunga. Apa salahnya jika dia menginginkan itu sekarang? Pernikahan hanya akan terjadi satu kalibukan? "Jadi gimanaPak..Bu?" tanya Ardi, pria muda yang sedari tadi duduk di depan mereka, menunggu Aksa dan Era selesai berdebat. "Indoor." "Outdoor." Mereka menjawab secara bersamaan. Era berdecak dan menatap pria di sampingny
Langit yang cerah seolah mendukung suasana yang ada. Taman belakang rumah Era telah disulap sedemikian rupa menjadi tempat acara yang luar biasa. Sama seperti langit, wajah semua tamu juga samacerahnya. Terutama dua bintang utama hari ini, Era dan Aksa.Dengan mengenakan batik, Aksa terlihat tampan hari ini. Dia tidak ragu untuk menunjukkan senyumnya. Senyuman yang mampu membuat semua orang terpesona. Begitu juga Era, dia tampak cantik dengan kebaya modern yang senada. Sama seperti Aksa, Era tidak bisa menyembunyikankabahagiaannya.Acara pertunangan dibuat privat dengan mengundang keluarga, orang-orang terdekat,danawak media yang terpilih. Tentu saja wartawan ikut hadirkarenaAksa adalah salah satu pengusaha yang cukup berpengaruh. Mereka yakin jika berita inimuncul di pemberitaannanti,akanbanyak wanita yang patah hati karena Aksa Kusumaakan segera menikah."Sini,Bian!" panggil Era pada&n
Di pagi hari, Era sudah duduk di meja kerjanya sambil berkutat dengan komputernya. Meskipun dia bekerja untuk kekasihnya tapi bukan berarti dia bisa bermalas-malasan. Niat Era bekerja di sini tak hanya ingin dekat dengan Aksa, tapi dia juga ingin belajar. Meskipun Aksa dan Era adalah sepasang kekasih, tapisaatjam sudah menunjukkan waktu bekerja maka mereka akan berubah profesional. Bahkan Era menggunakan bahasa baku jika berbicara dengan Aksa. Bukannya apa, tapi memang harus seperti itu bukan?Telepon di meja Era berdering. Dengan segera dia mengangkatnya, "Ya, Pak?" sapa Era."Saya minta data pengeluaran bulan lalu, Ra.""Baik, Pak."Seperti itulah interaksi Era dan Aksa saat bekerja. Apa ini kemauan Aksa? Tentu saja tidak. Era yang memberikan ide ini. Setidaknya sebelum mereka sah, Era tidak ingin ada pemberitaan negatif tentang dirinya. Dia tidak mau para karyawan beranggapan jika dia adalah anak emas Aksa. Meskipun itu benar, tapi Era tida