Dengan langkah pelan, Era mulai memasuki panti. Hari terakhir ujian dia memutuskan untuk datang ke tempat ini, tempat di mana dia habiskan seluruh masa kecilnya dengan limpahan kasih sayang dari Bu Asih. Kedatangan Era disambut bahagia oleh adik-adiknya. Dia tersenyum tapi tidak dengan hatinya, seolah banyak beban yang ia tanggung dan memaksa untuk segera dikeluarkan.
"Loh, kamu dateng, Ra? Kok nggak kabarin Ibuk?" Bu Asih keluar dari dapur saat mendengar teriakan heboh dari anak-anak asuhnya.
"Ibuk," ucap Era sambil merentangkan kedua tangannya. Tanpa bisa dicegah air mata itu mulai mengalir. Bu Asih yang bingung hanya bisa pasrah saat Era memeluknya erat. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Era.
"Kamu kenapa? Ada masalah di rumah?" tanya Bu Asih khawatir.
Era menggeleng dan mulai menghapus air matanya. Dia memilih untuk duduk di sofa untuk menenangkan diri. Era butuh pencerahan sekarang. Dia tidak bisa
Waktu berlalu begitu cepat. Semua persiapan sudah Era lalukan sebelum pergi. Ini pertama kalinya dia keluar negeri dan bersyukur keluarganya mau membantunya. Tidak banyak barang yang dia bawa, mengingat jika di sana pun Era akan mengenakan pakaian baru. Hal itu dikarenakan musim yang berbeda.Selama beberapa hari menjelangkeberangkatannya, Era sering menghabiskan waktu bersama Aksa. Bukan hanya pria itu, tapi jugaBian. Era akan merindukan anak itunantinya.Bianterlihat sedih saat mendengar keputusannya, tapi saat Aksa menjelaskan tujuan Era,Bianmau menerimanya. Dia malah meminta Era untuk menjadi guru pribadinya nanti jika sudah kembali ke Indonesia.Bianmasih memeluk Era erat. Bibirnya yang maju membuktikan jikadiasedang kesal sekarang. Bahkan ucapan ayahnya ia abaikan. Telinganya seolah tertutup rapat dengan segala bentuk alasan."Bian,dengerinPapa."Bianmenutup telinganya dengan kedua
Suara alarm yang terdengar nyaring mulai mengganggu tidur Era. Dengan mata yang terpejam,dia meraih ponsel dan mematikan alarm-nya cepat. Saat akan kembali tidur,ponselnyakembali berbunyi. Kali ini bukan alarm, melainkan panggilan dari Ezra."Ezra! Lo sengaja ya?!" teriak Era dan mematikanponselnyacepat."Bangun, Nyet!" teriak Ezra dari luar kamar sambil menendang pintu.Dengan malas Era mulai bangkit dari tidurnya. Terlihat dengan jelas kantung mata di wajahnya. Dia hanya tidur tiga jam setelah menyelesaikan sketsa gambar untuk ayahnya. Ya, dia masih menekuni hobimenggambarnyahingga saat ini. Meskipun menggambar adalah kesukaannya, tapi Era tidak mengambil jurusan desain ataupun arsitek seperti ayahnya. Dia justru mengambil jurusan bisnis yang menurutnya memiliki peluang lebih luas. Setidaknya itu yang dia pikirkan dua tahun lalu. Ternyata jurusan bisnis tidak semudah yang ia kira."Bangun, Ra." Pintu terbu
Dua tahun berlalu, kehidupan Aksa masih sama. Dia seolah kembali ke masa lalu di mana ia masih sendiri. Namun kali ini rasanya begitu berat karena dia memiliki seseorang yang ia cintai. Berbeda dengan dulu yang meskipun Aksa sendiri tapi tidak ada beban rindu yang ia rasakan.Selama empat tahun menjalani hubungan jarak jauh dengan Era, Aksa merasa ada perubahan pada gadis itu, perubahan ke arah positif tentu saja. Meskipun Era semakin dewasa, baik secara fisik dan pemikiran tapi ada masanya gadis itu masih menangis di telepon karena sulitnya tugas kuliah yang ia kerjakan. Di saat seperti itu, Aksa ingin sekali memberi dukungan dan masukan secara langsung untuk Era. Namun ia tidak bisa karenakesibukannyadi sini. Bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka bertemu dan itupun hanya berlangsung selama beberapa jam. Aksa juga harus diam-diam agar tidak ketahuan ayah Era. Jika tidak ingat ucapan Ezra tentang tes dari ayah Era, tentu Aksa memilih untu
Suara tukang sayur yang terdengar lantang membuat senyum Era merekah. Entah kenapa dia merindukan suara khas itu. Dia mengintip dari jendela kamarnya dan melihat sudah banyakibu-ibuyang tengah berbelanja sayur, termasuk ibunya. Sambil merapikankemejanya, Era kembali ke meja kerjanya untuk merapikan kertas-kertas gambar yang akan dia berikan pada ayahnya nanti.Seperti cita-citanya dulu, Era ingin membuatsebuahusaha bersama ayahnya. Setelah satu tahun bekerjakerasdi Inggris, akhirnya mereka bisa memiliki merek sendiri untuk furniture mereka. Meskipun masih merintis, tapi Era yakin jika mereka akan menjadi besar suatu saat nanti. Terbukti dari beberapa toko ternama yang mempercayaibrandmereka untuk ikut bersaing dengan merek lainnya."Ra!"panggilibunya."Ya, Ma?!" Era berteriak sambil membawa barang-barang yangiabutuhkan."Mau ikan atau cumi?" tanya ibunya. Sepertinya wanita
Di dalamlift, Aksa terus menggenggam tangan Era erat. Dia tidak berniat melepaskannya walau hanyasedetik. Aksa tidak mau Era lari atau yang lebih parahnya dia takut jika semuanya hanyalah mimpi. Aksa sadar jika dia bisa gila setiap harinya hanya karena memikirkan Era, kekasih hatinya. Pintuliftterbuka,baik AksadanEra terdiam di tempat saat melihat ada Bayu, karyawan yang dipercaya Aksa untuk membantunya akhir-akhir ini mulai memasukilift."Loh, Pak Aksa?" Bayuterlihatterkejut,"Kamu udahdateng, Ra?" tanyanyapada Era.“Sudah, Mas.” Era menunduk."Saya baru mau ke atas. Pak Aksa sudah kenal sama Era?" tanya Bayu lagi."Iya, saya sudah ketemu Era tadi. Kamu terlambat,” ucap Aksa.Bayu menggaruk lehernya pelan, "Maaf, Pak. Saya harus ketemu manager keuangan tadi."Era tersenyum kaku dan berusaha melepaskan tangan Aksa yang masih menggenggam tanga
Di pagi hari, Era sudah duduk di meja kerjanya sambil berkutat dengan komputernya. Meskipun dia bekerja untuk kekasihnya tapi bukan berarti dia bisa bermalas-malasan. Niat Era bekerja di sini tak hanya ingin dekat dengan Aksa, tapi dia juga ingin belajar. Meskipun Aksa dan Era adalah sepasang kekasih, tapisaatjam sudah menunjukkan waktu bekerja maka mereka akan berubah profesional. Bahkan Era menggunakan bahasa baku jika berbicara dengan Aksa. Bukannya apa, tapi memang harus seperti itu bukan?Telepon di meja Era berdering. Dengan segera dia mengangkatnya, "Ya, Pak?" sapa Era."Saya minta data pengeluaran bulan lalu, Ra.""Baik, Pak."Seperti itulah interaksi Era dan Aksa saat bekerja. Apa ini kemauan Aksa? Tentu saja tidak. Era yang memberikan ide ini. Setidaknya sebelum mereka sah, Era tidak ingin ada pemberitaan negatif tentang dirinya. Dia tidak mau para karyawan beranggapan jika dia adalah anak emas Aksa. Meskipun itu benar, tapi Era tida
Langit yang cerah seolah mendukung suasana yang ada. Taman belakang rumah Era telah disulap sedemikian rupa menjadi tempat acara yang luar biasa. Sama seperti langit, wajah semua tamu juga samacerahnya. Terutama dua bintang utama hari ini, Era dan Aksa.Dengan mengenakan batik, Aksa terlihat tampan hari ini. Dia tidak ragu untuk menunjukkan senyumnya. Senyuman yang mampu membuat semua orang terpesona. Begitu juga Era, dia tampak cantik dengan kebaya modern yang senada. Sama seperti Aksa, Era tidak bisa menyembunyikankabahagiaannya.Acara pertunangan dibuat privat dengan mengundang keluarga, orang-orang terdekat,danawak media yang terpilih. Tentu saja wartawan ikut hadirkarenaAksa adalah salah satu pengusaha yang cukup berpengaruh. Mereka yakin jika berita inimuncul di pemberitaannanti,akanbanyak wanita yang patah hati karena Aksa Kusumaakan segera menikah."Sini,Bian!" panggil Era pada&n
Di sebuah kafe, terlihat seorang pria tengah kebingungan melihat pasangan di depannya yang tengah berdebat. Dia hanya bisa diam dan menunggu keputusan final yang akan disampaikan. "Lebih bagusoutdoor, Kak." Era masih berusaha untuk membujuk Aksa. "Indoorlebih enak, Ra. Kamu nggak takut hujan apa?" Era mendengkus, "Panggil pawang hujan." "Pawang hujan bisa kalah sama takdir Tuhan." Ucapan Aksa membuat Era menutup mulutnya rapat. Dia kesal dengan Aksa yang meminta pernikahan mereka dilaksanakan di dalam ruangan. Sejak kecil, Era memiliki impian untuk menikah di taman bunga. Apa salahnya jika dia menginginkan itu sekarang? Pernikahan hanya akan terjadi satu kalibukan? "Jadi gimanaPak..Bu?" tanya Ardi, pria muda yang sedari tadi duduk di depan mereka, menunggu Aksa dan Era selesai berdebat. "Indoor." "Outdoor." Mereka menjawab secara bersamaan. Era berdecak dan menatap pria di sampingny