"Hei ... lo ngapain?" tegur salah seorang cowok, yang tadi sempat menolong Mila.
"Kenapa lo malah ngerusak properti kami?" hardiknya kemudian. Tetapi, tidak Arletta tanggapi sama sekali. Tentu saja. Melihat keacuhan Arletta, cowok itu pun mulai meradang dan ..."Let, lo ngapain?" Dita ikut mendekat dan bertanya bingung pada gadis yang dikenalnya sebagai sahabat artis binaannya tersebut."Diem dulu," sahut Arletta masih acuh. Tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun pada Dita, dan terus fokus pada pecahan kaca di hadapannya."Tapi lo ngapain, sih? Lo jangan bikin situasi makin kacau, bisa?""Ck, nanti juga lo tahu.""Ta--""Heh?! Lo siapa, sih?" Pria tadi kembali menghardik. Menyela Dita. "Kok, songong banget jadi orang. Lo artis baru, ya? Lo--""Nah, ini dia!" seru Arletta kemudian dengan tiba-tiba, memotong omelan pria berkaos maroon itu. Seraya mengangkat sebuah bilah pecahan kaca yang memanjang.Setelah menemukan yang dia cari. Arletta pun segera meletakan pecahan kaca itu sedikit menjauh, dari pecahan lainnya. Kemudian, tiba-tiba saja membuka sepatu, kaca mata baca, dan hodie yang sedang dia gunakan. Membuat semua mata terbelalak kaget melihatnya.Entah apa yang membuat mereka kaget seperti itu? Karena saat ini, sekalipun Arletta sudah menanggalkan Hodie yang dia kenakan. Arletta masih memakai tangtop sport bertali lebar. Bahkan masih mengenakan celana jeans yang tak ikut ditanggalkannya juga. Jadi, Arletta tidak telanjang sama sekali.Lalu kenapa mereka semua kaget begitu? Seakan baru saja melihat orang sedang telanjang bulat. Aneh!Mengabaikan semua mata yang tengah fokus padanya, Arletta pun segera menyerahkan barang-barang yang dia tanggalkan pada Dita kembali begitu saja."Titip," ucap Arletta tanpa beban. Sebelum membuka ikat rambutnya, melilitkan pada pecahan beling yang sudah dipilih tadi, kemudian tiba-tiba menceburkan diri ke dalam kolam renang. Di mana Mila sudah menanti pertolongan dengan nelangsa.Melihat kedatangan Arletta. Seakan semangat Mila kembali muncul. Gadis itu menyambut kehadiran sahabatnya dengan tatapan haru, seakan menemukan harapan yang baru.'Letta, tolongin gue!' Arletta membaca tatapan Milla demikian.Gadis itu mengangguk, berusaha menenangkan Karmila. Sayangnya, kedua pria yang ada di sana ternyata tak membiarkan Arletta begitu saja.Mengetahui apa yang Arletta bawa. Kedua pria itu pun menyangka jika Arletta ingin menyakiti Mila. Itulah kenapa, kedua pria itu menyusul masuk ke dalam air dan mencoba menghentikan Arletta.Bahkan satu di antara mereka langsung menarik Arletta, dan menjauhkannya dari Mila. Arletta dan pria itu sempat bersitegang di bawah air. Sebelum akhirnya pria berkaos putih itu menarik lengan Arletta ke atas, tepatnya ke permukaan Air."What the hell!! Apa yang om lakukan?" protes Arletta tak terima. Saat sudah berhasil memunculkan kepalanya di permukaan air.Om? Sebenarnya pria itu ingin sekali protes dengan panggilan Arletta. Dia merasa belum setua itu hingga harus dipanggil 'Om'. Beruntung pria itu cukup waras, untuk tak mempermasalahkan hal itu sekarang."Ada juga saya yang tanya, kamu ngapain bawa beling kaya gitu? Kamu Mau celakain Karmila?" tanya balik pria itu, tak bersahabat sama sekali."Justru saya mau menolong Mila dengan ini!" Arletta sengaja mengacungkan pecahan beling itu ke arah si pria berkaos polos di hadapannya. Pria itu langsung memundurkan tubuhnya secara refleks."Apa maksud kamu?" tanya pria itu lagi. Sambil terus waspada dengan menatap pecahan beling di tangan lalu bergantian pada wajah gadis dihadapannya, yang ternyata lumayan cantik.Ralat, bukan lumayan cantik. Tapi sangat cantik!"Makanya jangan ganggu! Nanti juga Om ngerti dengan maksud saya," jawab Arletta galak. Seraya kembali menyelam ke dasar kolam. Tepatnya ketempat Mila yang benar-benar sudah kepayahan."Om, lagi!" gerutu pria itu diam-diam, kemudian menyusul di gadis asing.'Sabar, Mil. Gue pasti nolongin lo.' Arletta membatin.Seperti halnya tadi. Si cowok berkaos maroon pun langsung ingin menghalangi tindakan Arletta. Membuat gadis itu kembali dengan sengaja mengacungkan pecahan beling di tangannya kehadapan pria itu. Hingga pria itu langsung mundur menghindar.Setelahnya, tak ingin lebih membuang waktu, Arletta pun langsung menarik bagian rok gaun yang Mila kenakan, dan menusukan pecahan beling itu ke sana perlahan agar tidak melukai kaki sahabatnya.Akan tetapi, ternyata rok gaun Mila itu lumayan tebal. Membuat Arletta lumayan kesulitan dalam merobeknya. Belum lagi tekanan air yang juga membatasi geraknya. Tak ayal, Arletta pun harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melakukan pekerjaannya.Namun, bukan Arletta namanya jika menyerah begitu saja. Karena sekalipun pecahan beling itu sudah mulai melukai tangannya sendiri. Arletta tetap tak menyerah, dan terus berusaha merobek gaun itu.'Ayolah!' batin Arletta meraung kesal.Akhirnya, perlahan tapi pasti. Gaun itu pun mulai terkoyak beling, dan harapan Arletta kembali terpacu.'Sabar, Mil. Sebentar lagi!' Semangat Arletta kembali menyala.Setelah pecahan itu masuk menusuk rok gaun Mila. Arletta pun mulai merobeknya dengan arah menyamping. Mengitari Milla dan membuat Gaun yang tadinya memiliki rok panjang menjuntai. Kini menjadi mini dress.Siapapun perancang gaun tersebut. Arletta benar-benar minta maaf karena telah merusak hasil karyanya. Bukan Arletta tak mau menghargai hasil karya orang. Hanya saja, saat ini nyawa Mila lebih berharga dari apa pun.Selesai dengan bagian bawah gaun Mila yang sudah terkoyak seluruhnya. Arletta pun membuang beling di tangannya begitu saja. Kemudian langsung meraih tubuh Mila.Di bawah tatapan kedua pria yang sempat menghalangi aksinya. Arletta mengangkat tubuh Mila kepermukaan air, tanpa kesulitan sedikit pun. Membuat mata kedua pria itu melotot horor, dengan mulut menganga tak percaya.Bagaimana bisa?*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat