Share

Dikerjain Adik Ipar

Author: Widanish
last update Last Updated: 2022-01-13 20:49:24

“Motor?” 

 

 

Tanpa sadar aku bertanya pada diriku sendiri dan terdengar oleh Bi Idah. Dia menegaskan kembali, bahwa benar kemarin Mila membawa dus-dusku menggunakan motornya.

 

 

Aku masih merasa heran, bukankah motor Mila sedang diservis? Untuk itulah dia meminjam uangku. Lalu kemarin dia pakai motor siapa, karena tak mungkin pakai motor suaminya yang dipakai berangkat kerja?

 

 

Seperti ada yang tak beres. Segera kututup warung dan ke rumah Mila. Sekalian hendak menagih uangku, karena menurut cerita Mas Dasep, Mila sudah menang uang proyek jadi dia pasti punya uang.

 

 

“Mila!” seruku, saat tiba di depan pagar rumahnya. Dia  sedang menyirami bunga ketika menoleh padaku.

 

 

“Eh, Kak Murni. Sini, Kak!” sahutnya.

 

 

“Kamu lihat barang-barang daganganku, gak? Itu lho dus-dus yang di kolong meja, kok tadi pagi pas aku buka warung udah gak ada ya, itu stok barang?” tanyaku, sengaja pura-pura tidak tahu kalau dia memang mengambilnya.

 

 

Mila jadi salah tingkah, lalu menepuk jidatnya. “Oh, iya itu Kak. Aku lupa kemarin gak ngasih tahu Kakak, aku main ambil aja. Soalnya itu lho, kemarin Ibu tiba-tiba nelepon katanya barang-barang di warungnya habis, dan Ibu belum belanja lagi karena gak punya modal. Dan kemarin itu kebetulan pas ada yang beli di warung Ibu, jadi Ibu minta aku anter barang-barang dagangan Kakak ke warungnya. Katanya buat dijual di sana. Kasihan lho, Ibu lagi kesusahan banget … mana hasil kebun Bapak belum laku,” jelasnya.

 

 

Aku yang berdiri di depan teras rumah Mila, kini terduduk lemas. Berkali-kali aku mengatur napas agar tak keluar emosi negatif dari dadaku. Mendengar penjelasan Mila barusan, otomatis membuatku naik darah!

 

 

“Kenapa, Kak? Kok mukanya kesel gitu?” Mila menghentikan aktivitasnya dan tanpa merasa bersalah bertanya seperti itu padaku. “Kakak gak ikhlas ya, minjemin barang dagangan ke Ibu?”

 

 

Aku mengembus napas kasar, “bukannya begitu, Mil. Tapi kan kamu tahu sendiri kalau kakak juga jualan. Barang dagangan kakak hampir semuanya diambil, terus sekarang Kakak mau jualan apa? Mau belanja lagi juga gak ada modal, tabungan Kakak habis kan dipinjam kamu kemarin,” jawabku kesal.

 

 

Tentu saja aku kesal dan marah, karena barang daganganku diambil dan aku kena resiko kehilangan pelanggan. Padahal, tadi pagi seandainya mereka jadi membeli, kuhitung keuntungan yang akan kudapatkan pagi ini sekitar lima belas ribu rupiah. Lumayan lah buat pedagang kecil sepertiku.

 

 

“Ya udah sih, Kak. Ikhlasin aja, toh itu juga untuk Ibu. Kan meskipun statusnya mertua, tetap saja Ibu adalah orangtua Kakak juga. Sama orangtua jangan perhitungan kenapa sih, Kak!” Mila malah nyolot sambil membanting gayung yang dipakainya menyiram bunga.

 

 

Sontak, aku kaget dan sangat tak menyangka. Mila berani sekali bersikap kasar dan tak sopan seperti itu! Astaghfirulloh, aku baru tahu ternyata Mila sejelek ini etikanya!

 

 

“Mil—”

 

 

“KAK!” potong Mila, dia bahkan mulai membentakku. “Haduh … Kak Murni bikin aku pusing deh. Tadi  Kakak ngungkit-ngungkit barang dagangan yang dipinjam Ibu. Sekarang, Kakak mau ngungkit uang yang kupinjam kemarin? Ya ampun, perhitungan banget!” katanya.

 

 

“Bukan mau perhitungan, Mil. Kakak Cuma mau ngasih tahu kalau sekarang aku gak punya modal. Kemarin kukasih pinjam karena barang daganganku masih banyak stok, tapi malah dipinjam Ibu juga. Otomatis, sekarang aku butuh uang buat belanja lagi, Mil,” jawabku.

 

 

“Kalau gak niat minjamin, ya jangan ngasih lah dari kemarin!” bantahnya.

 

 

Aku mulai gerah, “ya udah Mil, aku to the point aja, sekalan aku ke sini mau nagih uangku. Lagipula, motor kamu baik-baik aja, kan. Tuh, lihat terparkir di pinggir rumah! Jadi uangku gak jadi dipakai nyervis motor, kan? Masih ada, kan?” tanyaku yang sudah habis kesabaran.

 

 

Mila malah menertawakanku. Tawa yang terdengar mengejek. “Cih, apaan sih! Baru juga pinjam sehari udah ditagih! Ya uangnya udah gak ada, lah. Udah kupakai untuk keperluan lain. Kan mau dipakai untuk nyervis motor atau bukan, intinya aku minjem. Ntar juga dibayar, kok!” jawabnya ketus.

 

 

Tanganku naik turun mengelus dada. Istighfar, istighfar … jangan sampai aku memarahi bocah yang usianya lima tahun lebih muda dariku ini. 

 

 

“Ya udah, gini aja deh, biar Kakak cepet pulang, coba deh ke rumah Ibu. Karena, kemarin itu aku bagi dua uangnya sama Ibu, ya siapa tahu aja Ibu masih simpan uangnya,” lanjut Mila sambil masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Meninggalkanku yang diselimuti rasa kesal dan marah.

 

 

Kembali kuucap istighfar. Jujur, baru kali ini aku tahu watak asli adik iparku itu! Akan kuceritakan pada Mas Dasep tentang sikap Mila barusan. Sebagai Kakak Ipar, aku sangat merasa tidak dihargai. Padahal, kurang apa aku selama ini? Dari mulai tenaga, bahkan uang pun kupinjamkan untuk membantunya. 

 

 

Entah sudah berapa juta uang yang kupinjamkan pada Mila, dia hanya pernah membayar sekali, selebihnya sudah kuikhlaskan karena cape terus-terusan menagih. Tapi untuk yang kali ini, aku benar-benar membutuhkannya untuk modal, jadi aku harus ikhtiar menagih sampai dapat. 

 

 

Aku pun menuju rumah Ibu Mertua untuk menanyakan uangku. Ketika sampai, tampak Ibu Mertua sibuk melayani pembeli. Beberapa pembeli itu adalah langgananku, mereka tetanggaku.  Sesak rasanya  melihat pelangganku belanja di sini. Ya, meskipun aku memaklumi, karena kan warungku hari ini tutup, sementara di daerah sini hanya ada dua warung yaitu warungku dan warung Ibu Mertua—kami beda RT. 

 

 

Cukup lama aku menunggu hingga warung Ibu Mertua sepi. Aku melihat barang daganganku terpajang rapi di warung Ibu Mertua, hingga warungnya itu terlihat penuh. Ya Alloh, ingin menangis rasanya … aku merasa dicurangi mertuaku sendiri.

 

 

“Lho, ada kamu rupanya, Mur. Sejak kapan di situ?” tanya Ibu Mertua saat keluar dari warung sambil senyam-senyum.

 

 

“Udah cukup lama, Bu,” jawabku. Lalu menuruti ajakan Ibu Mertua untuk duduk di kursi teras—di sampingnya.

 

 

“Makasih ya, Mur, kamu udah pinjamin barang daganganmu ke warung Ibu. Kemarin Mila yang membawanya ke sini,” kata Ibu semringah. “Tadi lihat, kan, warung Ibu ramai, banyak yang beli. Ibu senang sekali, dapat untung banyak!” lanjutnya.

 

 

Hatiku terasa panas. Enak sekali Ibu Mertua bilang begitu padaku, itu kan barang daganganku, dan kemarin Mila mengambilnya tanpa izin dariku.

 

 

“Kamu tenang aja, Mur. Nanti kalau barang daganganmu sudah laku semua, Ibu balikin ke kamu. Sekarang, Ibu pinjam dulu karena Ibu gak punya modal belanja. Lihat, tuh, hasil kebun bapak mertuamu masih teronggok di pinggir rumah hingga ke pekarangan belakang. Bapak belum dapat pemborong, kami lagi kesulitan keuangan,” jelas Ibu sambil menunjuk ke tempat hasil kebun itu tersimpan, tanpa aku bertanya.

 

 

Aku mengikuti ke mana arah jari telunjuk Ibu, dan benar saja yang dikatakannya. Singkong, ubi, pisang, kelapa, jagung, dan masih banyak lagi hasil kebun yang berserakan di sana.

 

 

Mertuaku memang seorang petani, dan sepertinya benar kali ini mereka sedang kesulitan keuangan. Mendadak hatiku merasa iba.

 

 

“Iya, Bu. Semoga barang-barangku cepat laris ya di warung Ibu.” Aku menjawab demikian, karena hatiku tak tega.

 

 

Tapi untuk uang yang kata Mila ada di Ibu, aku berniat tetap menanyakannya karena butuh. Aku pun menceritakan semuanya ke Ibu. “Kata Mila, uangnya dibagi dua sama Ibu. Tapi, yang dipegang Mila sudah terpakai. Dan sekarang, aku lagi butuh uang untuk modal dagang, Bu. Barang di warungku jadi kosong. Barangkali uang itu masih Ibu simpan?” tanyaku hati-hati, takut Ibu Mertua tersinggung.

 

 

“Lho? Minjam? Kata Mila kamu ngasih uang itu buat Ibu, bukan meminjamkan!” respon Ibu begitu terlihat terkejut. “Ya ampun, teganya kamu Murni! Kamu tega meminta kembali uang yang sudah kamu berikan ke mertuamu!” lanjutnya, kali ini sampai menangis.

 

 

Ya Alloh, bagaimana ini … kenapa jadi begini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sawitri
lain kali jangan kasih lagi... kok aku yg geram yaa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tabayun

    "Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tamu yang Mencariku

    "Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Pesan Yang Terhapus

    "Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status