Share

Dikerjain Adik Ipar

“Motor?” 

 

 

Tanpa sadar aku bertanya pada diriku sendiri dan terdengar oleh Bi Idah. Dia menegaskan kembali, bahwa benar kemarin Mila membawa dus-dusku menggunakan motornya.

 

 

Aku masih merasa heran, bukankah motor Mila sedang diservis? Untuk itulah dia meminjam uangku. Lalu kemarin dia pakai motor siapa, karena tak mungkin pakai motor suaminya yang dipakai berangkat kerja?

 

 

Seperti ada yang tak beres. Segera kututup warung dan ke rumah Mila. Sekalian hendak menagih uangku, karena menurut cerita Mas Dasep, Mila sudah menang uang proyek jadi dia pasti punya uang.

 

 

“Mila!” seruku, saat tiba di depan pagar rumahnya. Dia  sedang menyirami bunga ketika menoleh padaku.

 

 

“Eh, Kak Murni. Sini, Kak!” sahutnya.

 

 

“Kamu lihat barang-barang daganganku, gak? Itu lho dus-dus yang di kolong meja, kok tadi pagi pas aku buka warung udah gak ada ya, itu stok barang?” tanyaku, sengaja pura-pura tidak tahu kalau dia memang mengambilnya.

 

 

Mila jadi salah tingkah, lalu menepuk jidatnya. “Oh, iya itu Kak. Aku lupa kemarin gak ngasih tahu Kakak, aku main ambil aja. Soalnya itu lho, kemarin Ibu tiba-tiba nelepon katanya barang-barang di warungnya habis, dan Ibu belum belanja lagi karena gak punya modal. Dan kemarin itu kebetulan pas ada yang beli di warung Ibu, jadi Ibu minta aku anter barang-barang dagangan Kakak ke warungnya. Katanya buat dijual di sana. Kasihan lho, Ibu lagi kesusahan banget … mana hasil kebun Bapak belum laku,” jelasnya.

 

 

Aku yang berdiri di depan teras rumah Mila, kini terduduk lemas. Berkali-kali aku mengatur napas agar tak keluar emosi negatif dari dadaku. Mendengar penjelasan Mila barusan, otomatis membuatku naik darah!

 

 

“Kenapa, Kak? Kok mukanya kesel gitu?” Mila menghentikan aktivitasnya dan tanpa merasa bersalah bertanya seperti itu padaku. “Kakak gak ikhlas ya, minjemin barang dagangan ke Ibu?”

 

 

Aku mengembus napas kasar, “bukannya begitu, Mil. Tapi kan kamu tahu sendiri kalau kakak juga jualan. Barang dagangan kakak hampir semuanya diambil, terus sekarang Kakak mau jualan apa? Mau belanja lagi juga gak ada modal, tabungan Kakak habis kan dipinjam kamu kemarin,” jawabku kesal.

 

 

Tentu saja aku kesal dan marah, karena barang daganganku diambil dan aku kena resiko kehilangan pelanggan. Padahal, tadi pagi seandainya mereka jadi membeli, kuhitung keuntungan yang akan kudapatkan pagi ini sekitar lima belas ribu rupiah. Lumayan lah buat pedagang kecil sepertiku.

 

 

“Ya udah sih, Kak. Ikhlasin aja, toh itu juga untuk Ibu. Kan meskipun statusnya mertua, tetap saja Ibu adalah orangtua Kakak juga. Sama orangtua jangan perhitungan kenapa sih, Kak!” Mila malah nyolot sambil membanting gayung yang dipakainya menyiram bunga.

 

 

Sontak, aku kaget dan sangat tak menyangka. Mila berani sekali bersikap kasar dan tak sopan seperti itu! Astaghfirulloh, aku baru tahu ternyata Mila sejelek ini etikanya!

 

 

“Mil—”

 

 

“KAK!” potong Mila, dia bahkan mulai membentakku. “Haduh … Kak Murni bikin aku pusing deh. Tadi  Kakak ngungkit-ngungkit barang dagangan yang dipinjam Ibu. Sekarang, Kakak mau ngungkit uang yang kupinjam kemarin? Ya ampun, perhitungan banget!” katanya.

 

 

“Bukan mau perhitungan, Mil. Kakak Cuma mau ngasih tahu kalau sekarang aku gak punya modal. Kemarin kukasih pinjam karena barang daganganku masih banyak stok, tapi malah dipinjam Ibu juga. Otomatis, sekarang aku butuh uang buat belanja lagi, Mil,” jawabku.

 

 

“Kalau gak niat minjamin, ya jangan ngasih lah dari kemarin!” bantahnya.

 

 

Aku mulai gerah, “ya udah Mil, aku to the point aja, sekalan aku ke sini mau nagih uangku. Lagipula, motor kamu baik-baik aja, kan. Tuh, lihat terparkir di pinggir rumah! Jadi uangku gak jadi dipakai nyervis motor, kan? Masih ada, kan?” tanyaku yang sudah habis kesabaran.

 

 

Mila malah menertawakanku. Tawa yang terdengar mengejek. “Cih, apaan sih! Baru juga pinjam sehari udah ditagih! Ya uangnya udah gak ada, lah. Udah kupakai untuk keperluan lain. Kan mau dipakai untuk nyervis motor atau bukan, intinya aku minjem. Ntar juga dibayar, kok!” jawabnya ketus.

 

 

Tanganku naik turun mengelus dada. Istighfar, istighfar … jangan sampai aku memarahi bocah yang usianya lima tahun lebih muda dariku ini. 

 

 

“Ya udah, gini aja deh, biar Kakak cepet pulang, coba deh ke rumah Ibu. Karena, kemarin itu aku bagi dua uangnya sama Ibu, ya siapa tahu aja Ibu masih simpan uangnya,” lanjut Mila sambil masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Meninggalkanku yang diselimuti rasa kesal dan marah.

 

 

Kembali kuucap istighfar. Jujur, baru kali ini aku tahu watak asli adik iparku itu! Akan kuceritakan pada Mas Dasep tentang sikap Mila barusan. Sebagai Kakak Ipar, aku sangat merasa tidak dihargai. Padahal, kurang apa aku selama ini? Dari mulai tenaga, bahkan uang pun kupinjamkan untuk membantunya. 

 

 

Entah sudah berapa juta uang yang kupinjamkan pada Mila, dia hanya pernah membayar sekali, selebihnya sudah kuikhlaskan karena cape terus-terusan menagih. Tapi untuk yang kali ini, aku benar-benar membutuhkannya untuk modal, jadi aku harus ikhtiar menagih sampai dapat. 

 

 

Aku pun menuju rumah Ibu Mertua untuk menanyakan uangku. Ketika sampai, tampak Ibu Mertua sibuk melayani pembeli. Beberapa pembeli itu adalah langgananku, mereka tetanggaku.  Sesak rasanya  melihat pelangganku belanja di sini. Ya, meskipun aku memaklumi, karena kan warungku hari ini tutup, sementara di daerah sini hanya ada dua warung yaitu warungku dan warung Ibu Mertua—kami beda RT. 

 

 

Cukup lama aku menunggu hingga warung Ibu Mertua sepi. Aku melihat barang daganganku terpajang rapi di warung Ibu Mertua, hingga warungnya itu terlihat penuh. Ya Alloh, ingin menangis rasanya … aku merasa dicurangi mertuaku sendiri.

 

 

“Lho, ada kamu rupanya, Mur. Sejak kapan di situ?” tanya Ibu Mertua saat keluar dari warung sambil senyam-senyum.

 

 

“Udah cukup lama, Bu,” jawabku. Lalu menuruti ajakan Ibu Mertua untuk duduk di kursi teras—di sampingnya.

 

 

“Makasih ya, Mur, kamu udah pinjamin barang daganganmu ke warung Ibu. Kemarin Mila yang membawanya ke sini,” kata Ibu semringah. “Tadi lihat, kan, warung Ibu ramai, banyak yang beli. Ibu senang sekali, dapat untung banyak!” lanjutnya.

 

 

Hatiku terasa panas. Enak sekali Ibu Mertua bilang begitu padaku, itu kan barang daganganku, dan kemarin Mila mengambilnya tanpa izin dariku.

 

 

“Kamu tenang aja, Mur. Nanti kalau barang daganganmu sudah laku semua, Ibu balikin ke kamu. Sekarang, Ibu pinjam dulu karena Ibu gak punya modal belanja. Lihat, tuh, hasil kebun bapak mertuamu masih teronggok di pinggir rumah hingga ke pekarangan belakang. Bapak belum dapat pemborong, kami lagi kesulitan keuangan,” jelas Ibu sambil menunjuk ke tempat hasil kebun itu tersimpan, tanpa aku bertanya.

 

 

Aku mengikuti ke mana arah jari telunjuk Ibu, dan benar saja yang dikatakannya. Singkong, ubi, pisang, kelapa, jagung, dan masih banyak lagi hasil kebun yang berserakan di sana.

 

 

Mertuaku memang seorang petani, dan sepertinya benar kali ini mereka sedang kesulitan keuangan. Mendadak hatiku merasa iba.

 

 

“Iya, Bu. Semoga barang-barangku cepat laris ya di warung Ibu.” Aku menjawab demikian, karena hatiku tak tega.

 

 

Tapi untuk uang yang kata Mila ada di Ibu, aku berniat tetap menanyakannya karena butuh. Aku pun menceritakan semuanya ke Ibu. “Kata Mila, uangnya dibagi dua sama Ibu. Tapi, yang dipegang Mila sudah terpakai. Dan sekarang, aku lagi butuh uang untuk modal dagang, Bu. Barang di warungku jadi kosong. Barangkali uang itu masih Ibu simpan?” tanyaku hati-hati, takut Ibu Mertua tersinggung.

 

 

“Lho? Minjam? Kata Mila kamu ngasih uang itu buat Ibu, bukan meminjamkan!” respon Ibu begitu terlihat terkejut. “Ya ampun, teganya kamu Murni! Kamu tega meminta kembali uang yang sudah kamu berikan ke mertuamu!” lanjutnya, kali ini sampai menangis.

 

 

Ya Alloh, bagaimana ini … kenapa jadi begini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status