Share

Tangisan Ibu Mertua

Author: Widanish
last update Last Updated: 2022-01-13 20:49:53

Melihat Ibu Mertua nangis sesenggukan, aku jadi panik. Namun, tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk sambil meremas jemari tangan.

 

 

Aku merasa kasihan, tapi juga kesal karena Ibu Mertua salah paham dengan uang itu. Sama sekali aku tak memberikannya. Uang itu adalah uang yang dipinjam Mila dariku, dan Mila berkata bohong pada Ibu Mertua.

 

 

"Maaf, Bu. Tapi Ibu salah paham." Aku coba bicara padanya dengan pelan. Kusentuh bahunya agar dia sedikit tenang.

 

 

Langsung Ibu Mertua menepis tanganku dengan kasar. Lalu, wajahnya berpaling.

 

 

"Baru kali ini aku punya menantu yang tidak sopan sepertimu. Meminta kembali uang yang sudah dikasih untukku ... bukankah itu namanya tidak sopan?! Padahal, aku tak pernah minta jatah bulanan pada suamimu—anak kandungku sendiri. Kubiarkan semua uangnya untukmu, tapi kamu ... sekalinya ngasih uang, dan itu pun cuma uang lima ratus ribu saja dipinta lagi! Perhitungan sekali!" kata Ibu Mertua dalam tangisnya.

 

 

Tak ada cara lain selain menjelaskan kesalahpahaman ini. Meski dengan perasaan takut, aku coba bicara bahwa uang itu adalah uang yang dipinjam Mila kemarin, dan Ibu juga tahu karena Ibu yang mengantar Mila ke rumahku.

 

 

Namun, setelah kujelaskan, Ibu Mertua tetap keukeuh dengan pikirannya.

 

 

"Enggak! Mila bilang, kamu nitip uang ini untuk Ibu!" bantahnya, setelah kujelaskan.

 

 

Ah, kenapa aku merasa akulah 'penjahatnya' di sini? Padahal, aku ini korban sikap keterlaluan Mila. 

 

 

Haruskah tetap kutagih uang itu dari Ibu Mertua? Bagaimana nanti jika dia memusuhiku gara-gara uang lima ratus ribu, kan lucu? Apalagi dia mertuaku sendiri. Tapi, aku juga butuh ....

 

 

Ibu Mertua mengeluarkan dompet dari saku gamisnya, dan mengepal dompet itu erat-erat. Lalu dia terisak lagi.

 

 

"Dulu, sebelum nikah sama kamu, banyak sekali perempuan yang mendekati Dasep. Mereka orang kaya , anak juragan semua. Tapi, Dasep malah milih kamu yang cuma anak tukang warung di terminal! Waktu itu, Ibu merestui kalian karena Ibu sayang sama Dasep. Dan akhirnya kamu jadi mantuku. Tapi, lihat sekarang, kamu jadi menantu yang tidak sopan dan perhitungan. Tahu begitu, Ibu dulu gak akan restuin kamu. Biar Dasep nikah sama anak orang kaya aja!" gerutu Ibu Mertua dalam tangisnya.

 

 

Mulutku terbuka hendak bicara, namun rasanya kaku. Aku hanya bisa terpaku. Tak pernah sebelumnya, dia bicara sekasar ini, apalagi menyinggung asal-usulku. Selama ini, dia selalu baik dan lembut. 

 

 

Semoga saja, barusan aku salah dengar.

 

 

 

"Nih!" Ibu Mertua membuka dompet dan mengeluarkan uang lima ratus ribu, menyerahkannya padaku. 

 

 

Aku pun mengulurkan tangan hendak mengambil uang itu, meski hatiku tak enak. Namun, baru saja kuulurkan tangan, Ibu Mertua berkata lagi.

 

 

"Ambil saja uang ini. Tapi ingat, kamu akan kuwalat kalau pelit sama orangtua."

 

 

Mendengarnya, aku kaget. Kutarik lagi tanganku. "Maaf, Bu. Sepertinya, aku sudah tidak butuh uang itu lagi. Simpan untuk Ibu saja," kataku.

 

 

Sungguh, aku tidak ingin menjadi menantu durhaka. Jangan sampai karena uang lima ratus ribu, aku kehilangan doa dan kasih sayang mertua. Bagaimana pun, mereka adalah pengganti kedua orangtua bagiku yang sudah yatim piatu sejak SMA ini.

 

 

"Jadilah menantu yang baik, maka mertuamu akan selalu mendoakanmu," kata Ibu Mertua. Dia menyimpan uang itu kembali ke dalam dompet.

 

 

Bukan hanya kali ini, sejak pertama menjadi menantunya pun, Ibu Mertua selalu memberikan nasihat itu padaku.

 

 

"Iya, Bu. Maaf, ya. Sebenarnya ini hanya salah paham. Tapi sudahlah, biar uang itu buat Ibu saja," balasku.

 

 

*

 

 

Pulang dengan membawa rasa kecewa, kakiku berasa tidak menapak ke tanah. Sambil berjalan, kuhitung sisa uang yang tersisa di dompet. Hanya ada dua ratus ribu rupiah. Aku harus putar otak untuk menjadikan uang ini menghasilkan keuntungan yang banyak. 

 

 

Ya, uang inilah satu-satunya harapanku untuk kembali berjualan. Sangat sedikit, kalau pun kujadikan modal, untung yang kuhasilkan tak akan seberapa. 

 

 

"Warungmu tutup, Mur?" 

 

 

Aku berpapasan dengan tetangga, sepertinya dia hendak belanja.

 

 

"Iya," jawabku.

 

 

"Aduh, kok tutup sih. Tahu sendiri kan ke pasar jauh, mana warung cuma ada dua, lagi ..." katanya.

 

 

"Barang dagangan saya lagi kosong, Bi." 

 

 

Maklum, aku baru membuka usaha warung jadi barang daganganku masih sedikit, alakadarnya—belum seperti warung-warung gedean. Dan barang dagangan yang tak seberapa itu, malah dipindahkan Mila ke warung Ibu Mertua.

 

 

"Ini aku mau ke warung mertuamu aja. Repot ya tinggal di sini, mau belanja aja harus nyari-nyari warung. Rasanya ingin pindah ke kota, deh." 

 

 

Kampungku memang di pelosok. Hampir semua warga berprofesi sebagai petani. 

 

 

Dari sini, pasar sangat jauh, sementara warung pun hanya beberapa. Itulah sebabnya, warga bergantung pada warung tradisional untuk menyediakan kebutuhan mereka.

 

 

Usaha warung memang menjanjikan di sini. Apalagi untukku yang hanya lulusan SMK dan ibu rumah tangga.

 

 

Kembali kupikir akan dibelanjakan apa sisa uangku ini. Sepanjang jalan menuju rumah aku tak menemukan jawaban.

 

 

"Bi, beli permen!" seru seorang anak kecil ketika aku hendak membuka pintu rumah.

 

 

Aku mendekati anak itu, namanya Hasan. "Mau berapa biji?" tanyaku.

 

 

"Beli dua ribu," jawabnya.

 

 

Kubuka pintu warung, lalu menuju meja jajanan anak-anak. Alhamdulillah, stok lengkap. Mila tidak membawa jajanan anak-anak ini.

 

 

Segera kuberikan permen pada Hasan. Dia membayar dengan uang lima ribu, aku memberikan kembalian tiga ribu.

 

 

"Bi, kembaliannya jajanin aja," kata Hasan.

 

 

"Loh, kok dihabisin, nanti ibumu marah."

 

 

"Jajanin makroni basah aja," lanjutnya.

 

 

Aku mengernyit. "Hah? Bi Murni kan gak jualan makroni basah," jawabku.

 

 

Mendadak, teman-teman Hasan menghampiri. Mereka juga menyerukan ingin membeli makaroni basah, tapi aku memang selama ini tak berjualan jajanan itu.

 

 

"Yaah ... padahal jajanan itu enak," kata mereka.

 

 

Tiba-tiba tercetus ide dalam otakku! Jualan makroni basah dan kering sepertinya akan laku, modal dua ratus ribu dari sisa uangku ini akan cukup. 

 

 

Ditambah lagi, hari ini tanah luas di depan rumahku sudah dipasangi net dan juga gawang bola oleh pemuda desa—dijadikan tempat main voly dan sepak bola alakadarnya, untuk tempat bermain anak-anak. Sudah pasti nanti di sini akan ramai anak-anak. Jualan jajanan anak pasti akan laku.

 

 

"Ya sudah, Bi Murni janji, besok pasti kalian bisa jajan makroni di sini," kataku. "Kalian harus jajan, ya ...."

 

 

Anak-anak kecil usia kelas empat SD itu loncat kegirangan.

 

 

Tak terasa senyumku mengembang. Alhamdulillah, pertolongan Alloh selalu datang saat dibutuhkan. Dengan uang dua ratus ribu ini, aku sudah ada ide untuk berjualan besok.

 

 

*

 

 

"Jadi, tadi kamu datangi Mila?"

 

 

"Iya, Mas. Dia kok jadi berubah sikap ya, Mas. Tidak sopan, gitu," jawabku.

 

 

Malam hari, seperti biasa aku dan Mas Dasep ngobrol dulu sebelum tidur. Aku bercerita tentang Mila dan Ibu, juga kesalahpahaman yang terjadi gara-gara ulah Mila.

 

 

"Kan sudah kuperingatkan berulangkali, Mila dan Ibu itu jangan terlalu digubris. Mereka sebenarnya gak suka sama kamu sejak lam—"

 

 

Tiba-tiba Mas Dasep menghentikan bicaranya, sepertinya dia keceplosan.

 

 

"Sejak lama kan, Mas?" Aku melanjutkan kata-kata suamiku itu.

 

 

"Maaf, Murni. Mas gak bermaksud ...."

 

 

"Mungkin sebelumnya aku tak menyadari hal itu, Mas. Tapi sekarang aku mengerti, karena Ibu pun mengungkit masalah itu tadi ... tentang perempuan-perempuan yang pernah mendekatimu," kataku.

 

 

"Apa, Mur? Ibu bilang apa?"

 

 

"Ah, sudahlah, Mas. Tidak apa-apa, kok." 

 

 

Aku jadi tak ingin menceritakannya, karena Mas Dasep sepertinya marah.

 

 

Hening beberapa saat di antara kami. Salahku, harusnya tak membicarakan perihal perempuan lain. Mas Dasep sangat tak suka itu.

 

 

"Besok Mas akan nagih uangmu. Biar aku bicara sama Ibu," kata Mas Dasep pada akhirnya, memecah keheningan di antara kami.

 

 

Aku menahannya, "jangan, Mas. Tadi Ibu menangis ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Ela Suryatina
bikin emosi..
goodnovel comment avatar
Deandra Adellia
cerita tolol
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
mertua jahat ....julid
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status