Share

Tangisan Ibu Mertua

Melihat Ibu Mertua nangis sesenggukan, aku jadi panik. Namun, tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk sambil meremas jemari tangan.

 

 

Aku merasa kasihan, tapi juga kesal karena Ibu Mertua salah paham dengan uang itu. Sama sekali aku tak memberikannya. Uang itu adalah uang yang dipinjam Mila dariku, dan Mila berkata bohong pada Ibu Mertua.

 

 

"Maaf, Bu. Tapi Ibu salah paham." Aku coba bicara padanya dengan pelan. Kusentuh bahunya agar dia sedikit tenang.

 

 

Langsung Ibu Mertua menepis tanganku dengan kasar. Lalu, wajahnya berpaling.

 

 

"Baru kali ini aku punya menantu yang tidak sopan sepertimu. Meminta kembali uang yang sudah dikasih untukku ... bukankah itu namanya tidak sopan?! Padahal, aku tak pernah minta jatah bulanan pada suamimu—anak kandungku sendiri. Kubiarkan semua uangnya untukmu, tapi kamu ... sekalinya ngasih uang, dan itu pun cuma uang lima ratus ribu saja dipinta lagi! Perhitungan sekali!" kata Ibu Mertua dalam tangisnya.

 

 

Tak ada cara lain selain menjelaskan kesalahpahaman ini. Meski dengan perasaan takut, aku coba bicara bahwa uang itu adalah uang yang dipinjam Mila kemarin, dan Ibu juga tahu karena Ibu yang mengantar Mila ke rumahku.

 

 

Namun, setelah kujelaskan, Ibu Mertua tetap keukeuh dengan pikirannya.

 

 

"Enggak! Mila bilang, kamu nitip uang ini untuk Ibu!" bantahnya, setelah kujelaskan.

 

 

Ah, kenapa aku merasa akulah 'penjahatnya' di sini? Padahal, aku ini korban sikap keterlaluan Mila. 

 

 

Haruskah tetap kutagih uang itu dari Ibu Mertua? Bagaimana nanti jika dia memusuhiku gara-gara uang lima ratus ribu, kan lucu? Apalagi dia mertuaku sendiri. Tapi, aku juga butuh ....

 

 

Ibu Mertua mengeluarkan dompet dari saku gamisnya, dan mengepal dompet itu erat-erat. Lalu dia terisak lagi.

 

 

"Dulu, sebelum nikah sama kamu, banyak sekali perempuan yang mendekati Dasep. Mereka orang kaya , anak juragan semua. Tapi, Dasep malah milih kamu yang cuma anak tukang warung di terminal! Waktu itu, Ibu merestui kalian karena Ibu sayang sama Dasep. Dan akhirnya kamu jadi mantuku. Tapi, lihat sekarang, kamu jadi menantu yang tidak sopan dan perhitungan. Tahu begitu, Ibu dulu gak akan restuin kamu. Biar Dasep nikah sama anak orang kaya aja!" gerutu Ibu Mertua dalam tangisnya.

 

 

Mulutku terbuka hendak bicara, namun rasanya kaku. Aku hanya bisa terpaku. Tak pernah sebelumnya, dia bicara sekasar ini, apalagi menyinggung asal-usulku. Selama ini, dia selalu baik dan lembut. 

 

 

Semoga saja, barusan aku salah dengar.

 

 

 

"Nih!" Ibu Mertua membuka dompet dan mengeluarkan uang lima ratus ribu, menyerahkannya padaku. 

 

 

Aku pun mengulurkan tangan hendak mengambil uang itu, meski hatiku tak enak. Namun, baru saja kuulurkan tangan, Ibu Mertua berkata lagi.

 

 

"Ambil saja uang ini. Tapi ingat, kamu akan kuwalat kalau pelit sama orangtua."

 

 

Mendengarnya, aku kaget. Kutarik lagi tanganku. "Maaf, Bu. Sepertinya, aku sudah tidak butuh uang itu lagi. Simpan untuk Ibu saja," kataku.

 

 

Sungguh, aku tidak ingin menjadi menantu durhaka. Jangan sampai karena uang lima ratus ribu, aku kehilangan doa dan kasih sayang mertua. Bagaimana pun, mereka adalah pengganti kedua orangtua bagiku yang sudah yatim piatu sejak SMA ini.

 

 

"Jadilah menantu yang baik, maka mertuamu akan selalu mendoakanmu," kata Ibu Mertua. Dia menyimpan uang itu kembali ke dalam dompet.

 

 

Bukan hanya kali ini, sejak pertama menjadi menantunya pun, Ibu Mertua selalu memberikan nasihat itu padaku.

 

 

"Iya, Bu. Maaf, ya. Sebenarnya ini hanya salah paham. Tapi sudahlah, biar uang itu buat Ibu saja," balasku.

 

 

*

 

 

Pulang dengan membawa rasa kecewa, kakiku berasa tidak menapak ke tanah. Sambil berjalan, kuhitung sisa uang yang tersisa di dompet. Hanya ada dua ratus ribu rupiah. Aku harus putar otak untuk menjadikan uang ini menghasilkan keuntungan yang banyak. 

 

 

Ya, uang inilah satu-satunya harapanku untuk kembali berjualan. Sangat sedikit, kalau pun kujadikan modal, untung yang kuhasilkan tak akan seberapa. 

 

 

"Warungmu tutup, Mur?" 

 

 

Aku berpapasan dengan tetangga, sepertinya dia hendak belanja.

 

 

"Iya," jawabku.

 

 

"Aduh, kok tutup sih. Tahu sendiri kan ke pasar jauh, mana warung cuma ada dua, lagi ..." katanya.

 

 

"Barang dagangan saya lagi kosong, Bi." 

 

 

Maklum, aku baru membuka usaha warung jadi barang daganganku masih sedikit, alakadarnya—belum seperti warung-warung gedean. Dan barang dagangan yang tak seberapa itu, malah dipindahkan Mila ke warung Ibu Mertua.

 

 

"Ini aku mau ke warung mertuamu aja. Repot ya tinggal di sini, mau belanja aja harus nyari-nyari warung. Rasanya ingin pindah ke kota, deh." 

 

 

Kampungku memang di pelosok. Hampir semua warga berprofesi sebagai petani. 

 

 

Dari sini, pasar sangat jauh, sementara warung pun hanya beberapa. Itulah sebabnya, warga bergantung pada warung tradisional untuk menyediakan kebutuhan mereka.

 

 

Usaha warung memang menjanjikan di sini. Apalagi untukku yang hanya lulusan SMK dan ibu rumah tangga.

 

 

Kembali kupikir akan dibelanjakan apa sisa uangku ini. Sepanjang jalan menuju rumah aku tak menemukan jawaban.

 

 

"Bi, beli permen!" seru seorang anak kecil ketika aku hendak membuka pintu rumah.

 

 

Aku mendekati anak itu, namanya Hasan. "Mau berapa biji?" tanyaku.

 

 

"Beli dua ribu," jawabnya.

 

 

Kubuka pintu warung, lalu menuju meja jajanan anak-anak. Alhamdulillah, stok lengkap. Mila tidak membawa jajanan anak-anak ini.

 

 

Segera kuberikan permen pada Hasan. Dia membayar dengan uang lima ribu, aku memberikan kembalian tiga ribu.

 

 

"Bi, kembaliannya jajanin aja," kata Hasan.

 

 

"Loh, kok dihabisin, nanti ibumu marah."

 

 

"Jajanin makroni basah aja," lanjutnya.

 

 

Aku mengernyit. "Hah? Bi Murni kan gak jualan makroni basah," jawabku.

 

 

Mendadak, teman-teman Hasan menghampiri. Mereka juga menyerukan ingin membeli makaroni basah, tapi aku memang selama ini tak berjualan jajanan itu.

 

 

"Yaah ... padahal jajanan itu enak," kata mereka.

 

 

Tiba-tiba tercetus ide dalam otakku! Jualan makroni basah dan kering sepertinya akan laku, modal dua ratus ribu dari sisa uangku ini akan cukup. 

 

 

Ditambah lagi, hari ini tanah luas di depan rumahku sudah dipasangi net dan juga gawang bola oleh pemuda desa—dijadikan tempat main voly dan sepak bola alakadarnya, untuk tempat bermain anak-anak. Sudah pasti nanti di sini akan ramai anak-anak. Jualan jajanan anak pasti akan laku.

 

 

"Ya sudah, Bi Murni janji, besok pasti kalian bisa jajan makroni di sini," kataku. "Kalian harus jajan, ya ...."

 

 

Anak-anak kecil usia kelas empat SD itu loncat kegirangan.

 

 

Tak terasa senyumku mengembang. Alhamdulillah, pertolongan Alloh selalu datang saat dibutuhkan. Dengan uang dua ratus ribu ini, aku sudah ada ide untuk berjualan besok.

 

 

*

 

 

"Jadi, tadi kamu datangi Mila?"

 

 

"Iya, Mas. Dia kok jadi berubah sikap ya, Mas. Tidak sopan, gitu," jawabku.

 

 

Malam hari, seperti biasa aku dan Mas Dasep ngobrol dulu sebelum tidur. Aku bercerita tentang Mila dan Ibu, juga kesalahpahaman yang terjadi gara-gara ulah Mila.

 

 

"Kan sudah kuperingatkan berulangkali, Mila dan Ibu itu jangan terlalu digubris. Mereka sebenarnya gak suka sama kamu sejak lam—"

 

 

Tiba-tiba Mas Dasep menghentikan bicaranya, sepertinya dia keceplosan.

 

 

"Sejak lama kan, Mas?" Aku melanjutkan kata-kata suamiku itu.

 

 

"Maaf, Murni. Mas gak bermaksud ...."

 

 

"Mungkin sebelumnya aku tak menyadari hal itu, Mas. Tapi sekarang aku mengerti, karena Ibu pun mengungkit masalah itu tadi ... tentang perempuan-perempuan yang pernah mendekatimu," kataku.

 

 

"Apa, Mur? Ibu bilang apa?"

 

 

"Ah, sudahlah, Mas. Tidak apa-apa, kok." 

 

 

Aku jadi tak ingin menceritakannya, karena Mas Dasep sepertinya marah.

 

 

Hening beberapa saat di antara kami. Salahku, harusnya tak membicarakan perihal perempuan lain. Mas Dasep sangat tak suka itu.

 

 

"Besok Mas akan nagih uangmu. Biar aku bicara sama Ibu," kata Mas Dasep pada akhirnya, memecah keheningan di antara kami.

 

 

Aku menahannya, "jangan, Mas. Tadi Ibu menangis ...."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ela Suryatina
bikin emosi..
goodnovel comment avatar
Deandra Adellia
cerita tolol
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
mertua jahat ....julid
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status