Share

Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)
Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)
Penulis: Widanish

Hilangnya Barang Daganganku

“Kenapa dikasih pinjam lagi? Kan sudah kubilang, mereka itu pinjam uang bukan karena butuh, tapi karena ada niat jelek sama kamu,” protes Mas Dasep saat kuceritakan bahwa tadi sore ibu dan adiknya meminjam uangku.

 

 

“Ya, habis mau gimana lagi? Mereka beralasan pinjam uang itu untuk biaya servis motor adikmu. Kan memang benar adikmu habis kecelakaan seminggu yang lalu, dan motornya masih di bengkel. Jadi, aku kasih pinjam aja karena kasihan,” jawabku.

 

 

 

“Ah, kamu itu kalau dikasih tahu suka menjawab. Berapa yang kamu pinjamkan?” Suamiku tampak keberatan.

 

 

“Satu juta, Mas. Mereka pinjamnya segitu,” jawabku sambil menunduk. Tahu persis bahwa suamiku itu akan gusar nantinya.

 

 

Benar saja, begitu mendengar nominal yang aku pinjamkan, Mas Dasep langsung mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Sesekali juga mengacak-acak rambutnya. “Lain kali jangan gak enakan. Meski mereka itu ibu dan adik kandungku, kamu berhak menolak. Karena, uang itu adalah hasil jualan warungmu, maka sepenuhnya hak kamu. Nanti kalau mereka pinjam lagi jangan pernah dikasih atau merasa kasihan. Mas tahu maksud dan tujuan mereka meminjam uangmu,” tegasnya.

 

 

Aku pun hanya bisa menunduk mendapat nasihat dari suamiku. Meskipun terhadap ibu dan adik kandungnya sendiri, namun Mas Dasep selalu bersikap tegas jika mereka melakukan hal yang tidak benar. Aku pun sebenarnya tahu, bahwa Ibu Mertua dan adik iparku hanya ingin membuat keuanganku menipis, karena mereka merasa tersaingi olehku. 

 

 

Aku dan Ibu Mertua memang sama-sama membuka warung di depan rumah, tapi jarak kami berjauhan, beda RT. Alhamdulillah warungku ramai. Para pembeli berdatangan tak hanya dari kampungku, tapi juga dari kampung sebelah. Bahkan tak sedikit pelanggan Ibu Mertua yang berpindah ke warungku, aku pun tak tahu mengapa mereka pindah langganan ke warungku.

 

 

“Ibuku punya usaha warung, bapakku juga masih bisa memberi nafkah pada Ibu. Sedangkan adikku Mila, dia sudah punya suami yang mapan. Mereka bisa saja meminjam padaku, tetapi mereka tidak melakukannya. Karena, sasaran mereka itu kamu. Mereka ingin kamu kehabisan modal,” lanjut Mas Dasep. Dia sudah tahu perihal Ibu Mertua yang merasa tersaingi olehku.

 

 

“Maafkan aku, Mas. Tapi kupikir mereka memang sedang tak punya uang, karena warung Ibu lagi sepi, hasil kebun Bapak belum terjual, dan Mila sedang kesulitan. Makanya, aku memberi pinjaman. Niatku membantu. Mereka kan keluargamu, jadi ya keluargaku juga,” kataku.

 

 

Mas Dasep menatapku lekat, dia menghela napas dan mengembuskannya, mungkin merasa kesal karena menurutnya aku tak bisa dikasih tahu. 

 

 

“Mereka memang keluargaku. Tapi kalau mereka mendzolimi kamu, maka tugasku adalah melindungimu. Aku tahu betul watak Ibu dan Mila,” balas Mas Dasep sambil menggenggam tanganku. “Tentu, kita harus menghormati mereka. Tapi tetap, ada batasan dalam bersikap. Jangan sampai mereka memanfaatkan rasa hormat dan rasa kasihanmu. Suaminya Mila sudah menang proyek, kok. Dan bonusnya sudah cair, mereka sudah punya uang. Mas sendiri yang mengantar suaminya Mila mencairkan uangnya ke bank.”

 

 

Aku mengangguk sebagai jawaban. Benar yang dikatakan suamiku, selama ini ibu mertua dan adik iparku memang selalu memanfaatkan rasa hormat dan rasa kasihanku. Padahal, kalau harus membandingkan, hidup mereka lebih sejahtera dibandingkan aku. 

 

 

Contohnya saja Mila—adik iparku, dia sudah memiliki rumah dan dua motor. Kehidupannya juga terbilang mewah. Sedangkan aku, ke pasar pun harus naik ojeg dan pulangnya naik becak karena harus membawa barang belanjaan. Suamiku pun berangkat kerja hanya dengan menaiki motor butut satu-satunya.

 

 

Karena itulah, aku membuka warung kecil-kecilan di depan rumah agar punya tabungan, ya siapa tahu dengan tabunganku nanti aku bisa membeli aset dan meningkatkan taraf hidup. 

 

 

 

Banyak kok, yang sudah berhasil membeli motor bahkan tanah dari hasil usaha warung sepertiku, dan itulah yang menjadi motivasi agar aku berhasil seperti mereka. 

 

 

Tetapi, setiap kali keuntungan warungku terkumpul, pasti ada saja yang meminjam entah itu tetangga, Ibu Mertua, ataupun adik ipar.  Seolah mereka bisa mencium bau uang menumpuk dalam dompetku, selalu saja tabunganku habis karena dipinjamkan. Beberapa ada yang mengembalikan, namun lebih banyak yang menunda membayar utangnya—terlebih Ibu Mertua dan Mila. Mereka selalu beralasan belum punya uang, namun tiap hari ada aja barang baru yang dibeli.

 

 

Lalu apa yang kulakukan? Tentu saja jengkel dan kesal. Tapi entah mengapa, ketika mereka meminjam uangku lagi, aku selalu memberikannya. Ya itulah, karena ‘penyakit kasihan’ yang kuderita. Sampai-sampai, aku sering dimarahi suami karena hal ini, dia bilang aku terlalu pakai perasaan.

 

 

“Dan satu lagi, jangan titipin warung ke Mila lagi seperti tadi. Nanti dia ngutangin daganganmu ke pembeli. Rugi nanti kamu!” Mas Dasep kembali menperingatkanku sebelum akhirnya kami tertidur lelap malam ini.

 

 

*

 

 

Pagi hari aku membuka warung, beberapa pembeli sudah mengantre di depan, mereka menanyakan sampo sachet, sabun mandi, deterjen, sabun pencuci piring, kopi, susu, dan bumbu dapur. Setiap pagi memang kebutuhan itulah yang dicari oleh para pembeli.

 

 

“Shampo sachetnya dua, ya. Sama penyedap rasa,” pesan mereka.

 

 

Bersyukur pagi buta sudah dekat dengan rezeki, aku langsung mencari barang yang dimaksud di tempat biasa, tetapi tidak ada. Kucari di dus tempan menyimpan stok juga tidak ada, bahkan beserta dus-dusnya pun hilang.

 

 

Ya ampun, bagaimana ini? Kok tiba-tiba barang daganganku hilang? Padahal aku yakin betul kemarin menyimpannya baik-baik di sini, di kolong bangku tempatku menjajakan jajanan anak-anak.

 

 

“Ada gak, Mur, barangnya?” tanya mereka yang mulai tak sabar ketika aku mencari barang daganganku.

 

 

“Sebentar ya, saya cari dulu. Sepertinya lupa nyimpen,” jawabku.

 

 

Mereka mulai terlihat tak sabar, dan aku semakin panik. 

 

 

Saat sedang sibuk mencari, ada tiga orang pembeli lagi datang. Mereka hendak membeli mi instan. “Aku beli mi instan rebus dua, goreng dua,” kata dua diantara mereka.

 

 

Sementara, satu orang lagi mau membayar utang. “Aku mau bayar utang, Mur. Kemarin sore, Mila ngasih aku utangan beras tiga kilo. Dia aneh, padahal aku kemarin itu mau bayar cash, tapi kok dia malah nyuruh aku ngutang, “ katanya sambil menyodorkan uang tiga puluh tiga ribu rupiah.

 

 

Kemarin  memang aku menitipkan warung pada Mila, saat dia ke sini meminjam uang. Karena, aku harus ke dokter kandungan di kota untuk periksa kehamilan. Dan setelah aku kembali pada malam hari, warung sudah ditutup oleh Mila. 

 

 

Aku tak mengira, kalau Mila berani memberi utangan pada pembeli di warungku.

 

 

Setelah menerima uang, aku pun kembali mencari barang yang diminta pembeli. Semua tidak ada, hanya ada satu mi rebus yang tergeletak di kolong bangku. Aku pun memberikannya pada Bi Sam yang memesan. “Bi, mi rebusnya cuma ada satu, gak apa-apa?” tanyaku.

 

 

“Ah, yang bener aja, Mur! Kamu sebenernya niat jualan gak, sih, kok gak ada barang? Lama-lama pelanggan kabur lho!” gerutunya kecewa.

 

 

“Aduh, maaf nih Ibu-Ibu yang lainnya juga, saya minta maaf banget. Kemarin padahal saya sudah belanja, dan stoknya masih banyak. Tapi kok sekarang pada gak ada ya, aneh,” kataku. “Sekali lagi maaf, ya. Saya tutup warung dulu hari ini. Tolong, jangan kapok belanja di saya ya, insyaalloh besok barang-barang ready lagi.”

 

 

“Ya, kalau barangnya kosong terus, kita pasti cari di warung lain, lah!” jawab mereka sambil berlalu, jelas sekali raut jengkel di wajah mereka.

 

 

Aku merasa tak enak, juga tak tenang. Hilangnya barang daganganku membuatku berpikir bahwa di kampung ini ada pencuri. Tapi anehnya, pintu dan kunci warung aman-aman saja, taka da tanda-tanda dibobol. Lalu kenapa?

 

 

Tiba-tiba Bi Idah yang tadi membayar utang beras, kembali lagi ke warungku. “Mur, aku kemarin lihat Mila beresin dus-dus di kolong bangkumu. Aku gak tahu itu dus apaan, tapi dia kelihatannya sibuk banget mindahin dus-dus itu ke motor!” katanya memberitahuku.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status