Share

Kemana Nama Baik Suamiku?

Author: Widanish
last update Last Updated: 2022-01-24 15:36:14

"Kok kamu gitu sih, Mil? Kalau mau bayar utang ya bayar aja, jangan hubung-hubungkan dengan sisa uangku." 

 

 

Mulut ini terasa gatal ingin mengatakan hal itu pada Mila, tapi kedatangan Bapak Mertua yang mengendarai motor membuatku urung melontarkan kalimat itu. 

 

 

Mata Mila terbelalak seperti orang kepergok saat melihat Bapak Mertua turun dari motor dan menghampiri kami. Kemudian Mila meraih tanganku, dan menyerahkan keresek berisi jagung padaku.

 

 

"Nih, aku mau pulang!" katanya setengah berbisik, buru-buru sekali.

 

 

Bapak Mertua melihat Mila yang pergi tergesa menaiki motornya. "Dia kenapa, Mur?" tanyanya padaku.

 

 

"Gak tahu, Pak."

 

 

"Ada-ada aja anak itu," gumam Bapak Mertua. "Oh ya, kamu udah terima jagungya? Bapak ke sini mau mastiin kamu terima jagung itu."

 

 

Aku melihat ke keresek yang kujinjing dan melihat isinya. "Jagung yang ini, Pak?" tanyaku memastikan.

 

 

"Iya, yang itu." 

 

 

"Gimana ya, kalau nunggu sore aku bayarnya gimana, Pak? Soalnya jualanku belum dapat seratus dua puluh ribu," kataku. Kupikir Bapak mau nagih uang jagung ini.

 

 

"Ngomong apa kamu, Mur?" Bapak Mertua malah mengernyit.

 

 

"Ini lho, Pak. Kan jagung ini harus kubeli, kan?"

 

 

Bapak Mertua tersentak mendengarnya. "Memangnya siapa yang jual jagung itu, Mur. Kamu pikir, Bapak jual jagung itu ke anak sendiri? Enggak, gak usah bayar! Tadi Bapak nitip jagung ini ke Mila untuk kamu dan Dasep, daripada hasil kebun Bapak numpuk gak terjual, mending dibagiin ke anak-anak. Makanya Bapak ke sini mau mastiin kamu udah terima jagungnya atau belum," jelas Bapak.

 

 

Aku pun terdiam. Berarti tadi itu akal-akalannya Mila aja jual jagung ini padaku, padahal Bapak Mertua niatnya ngasih. Dasar, Mila ... ada-ada aja kelakuannya.

 

 

"Kok kamu mikir jagung itu Bapak jual, sih? Apa Mila tadi minta uang ke kamu?" lanjut Bapak bertanya, mungkin Bapak heran melihatku yang jadi terdiam.

 

 

"E—eh, nggak kok, Pak. Mila gak ngomong apa-apa," jawabku terbata sambil cepat-cepat menyimpan jagung ini ke dalam warung. 

 

 

Kalau aku ceritakan yang sebenarnya tentang Mila tadi, Bapak pasti akan marah pada Mila. Dan aku tak ingin itu terjadi, karena marahnya Bapak itu menakutkan. Semua anggota keluarga takut padanya. Sekali Bapak marah, semuanya tidak akan sama lagi, bahkan mungkin Mila bisa memutuskan tali silaturahmi jika kuadukan kelakuannya ke Bapak Mertua.

 

 

Aku mempersilakan Bapak beristirahat di rumah selagi aku melayani pembeli. Namun, Bapak menolak dan lebih milih duduk di bangku depan warungku.

 

 

Anak-anak masih jajan di warungku. Setelah makroninya habis, kini mereka beli pop es.

 

 

Siang hari cuaca di kampungku memang cenderung panas. Aku membuatkan es teh manis untuk Bapak Mertua.

 

 

"Bapak perhatikan, jualanmu laris, Mur," komen Bapak saat kusuguhkan es teh manis.

 

 

"Alhamdulillah, Pak."

 

 

"Kamu pinter lihat peluang. Di sini banyak anak-anak main, dan cuaca juga panas ... kamu manfaatin untuk jual jajanan anak dan minuman dingin," kata Bapak Mertua setelah meneguk es teh manis buatanku. "Coba ibumu seperti kamu, Mur. Kreatif, gitu ... pasti warungnya maju dan gak harus dapat sumbangan modal terus dari Husni," lanjutnya.

 

 

Tanpa sadar, Bapak Mertua mengungkapkan keluh kesahnya. Pasti itulah uneg-uneg yang selama ini terpendam dalam hatinya. 

 

 

Aku duduk di samping Bapak Mertua, mendengarkannya bercerita sambil melihat anak-anak berlarian main bola.

 

 

"Bapak malu sama Husni. Ibu ngerepotin dia terus," kata Bapak. 

 

 

Husni adalah suaminya Mila. Pekerjaannya di proyek-proyek gitu, aku kurang ngerti. Yang jelas, sekali dapat proyek, dia dapat uang banyak. 

 

 

"Kenapa memangnya, Pak?" Aku merespon.

 

 

"Sore lalu, Mila datang ke rumah bawa dus-dus barang dagangan. Katanya itu pemberian Husni untuk modal Ibu dagang. Maklum, beberapa hari sebelumnya warung Ibu kosong karena gak punya uang untuk belanja," jelas Bapak.

 

  

"Ap-apa, Pak?" Aku ingin memastikan lagi cerita Bapak barusan. Karena sepertinya, itu bukan pemberian Husni, tapi barang yang diambil Mila dari warungku. 

 

 

"Iya, Mur. Husni belanjain barang dagangan untuk warung Ibu, dia kan baru menang proyek. Husni memang menantu yang baik dan pengertian dengan mertua, setiap punya rezeki selalu ngasih. Tapi Bapak malu, Mur, sama dia ... rasanya Bapak dan Ibu ini ngerepotin dia terus, apalagi kemarin kata Ibu, Husni juga ngasih uang lima ratus ribu untuknya."

 

 

Bapak bercerita dengan ekspresi yang membanggakan Husni, padahal sebenarnya semua yang didapatkan Ibu Mertua itu pemberianku. 

 

 

Kudengar, Husni itu pelit. Bahkan Mila pernah cerita kalau dia hanya dikasih nafkah secukupnya saja oleh Husni, hampir semua gaji Husni diberikan pada ibunya Husni.

 

 

Tapi, Bapak dan Ibu Mertua tak pernah tahu hal itu. Mereka tahunya Husni baik dan suka memberi. Mila memang pintar menutupi kejelekan suaminya, tapi caranya salah. 

 

 

Setiap Husni pulang dari proyek, Mila selalu datang ke rumahku minta apa aja yang aku punya, lebih seringnya minjam uang. Kemudian Mila akan memberikannya pada Ibu dan Bapak Mertua dengan mengatakan bahwa itu semua oleh-oleh Husni, pemberian Husni.

 

 

Ya, Mila sampai rela berutang padaku untuk menjaga citra suaminya agar dipandang baik oleh Ibu dan Bapak Mertua.

 

 

"Oh, ya? Kalau begitu, berarti Husni sudah menemui Ibu dan Bapak, ya?" Aku coba mencari tahu.

 

 

"Enggak. Kata Mila, dia langsung berangkat lagi ke Jakarta, cuma nitipin pemberian yang Bapak sebutkan tadi. Setiap pulang ke kampung, Husni memang jarang sekali menemui Ibu dan Bapak ke rumah, paling hanya sekali-dua kali. Yah, Bapak maklum karena dia orang sibuk, pekerjaannya gak kayak kita di kampung ini yang cuma petani."

 

 

Berarti benar dugaanku. Husni tidaklah memberi barang dagangan dan uang itu, tetapi itu semua dariku. Karena, jika memang Husni yang memberikannya, dia pasti masih di sini tidak buru-buru ke Jakarta lagi. Dia ke Jakarta pasti untuk menemui orangtuanya, Husni memang berasal dari Jakarta.

 

 

Wajah renta Bapak Mertua terlihat polos ketika mengucapkan kebanggaannya pada Husni. Ah, ingin rasanya kuberitahu yang sebenarnya ... bahwa semua itu adalah dariku. Tapi, nanti dia akan sedih dan kecewa karena terlanjur berbangga dengan Husni.

 

 

Lagipula, aku tak bisa bayangkan jika kubongkar semua. Bapak pasti akan marah besar.

 

 

Setelah meneguk es teh terakhirnya, Bapak kembali berkata, "sebenarnya Bapak tak mengharapkan pemberian dari anak dan menantu. Tapi Husni itu ... dia bahkan lebih perhatian dari Dasep kalau soal ngasih ke orangtua. Rasa-rasanya yang anak lelakiku itu Husni, bukan Dasep. Dasep cuek banget, dia gak kayak Husni yang ingat untuk memberi. Ya, walau Bapak tak mengharapkan ... tapi jujur, ada saatnya Bapak ingin merasa diperhatikan oleh Dasep."

 

 

Asal Bapak tahu saja, yang selama ini Bapak anggap pemberian Husni itu sebenarnya dariku, dan ada uang Mas Dasep juga di situ karena itu semua sebagian kutabung dari nafkah yang diberikan Mas Dasep.

 

 

Aku tersenyum tipis merespon perkataan Bapak. Miris. Untung Bapak tak melihat senyum palsuku, dia langsung pamit pulang.

 

 

Beruntung, Mas Dasep sedang tidak ada di rumah. Dia biasanya pulang sore. Kalau Mas Dasep dengar, pasti dia akan sangat sakit hati. Nama baiknya seolah 'direbut paksa' oleh Husni. Mending kalau Husni benar baik, tapi kenyataannya Husni tidak sebaik yang dipikirkan mertuaku.

 

 

Setelah motor Bapak menjauh, aku hendak masuk ke dalam warung. Namun betapa kagetnya ketika kulihat di depan pintu rumah, Mas Dasep tengah berdiri dan wajahnya terlihat sedih juga kecewa. Kemudian dia berjalan mendekatiku.

 

 

"Aku dengar semua yang dikatakan Bapak, Mur," katanya ketika kami sudah berhadapan.

 

 

Jleb!

 

 

"Bapak sudah salah mengira sampai sejauh itu, Mur. Aku akan katakan yang sebenarnya ke Bapak," lanjut Mas Dasep sambil bersiap menyusul Bapak.

 

 

"Jangan, Mas!" cegahku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sawitri
murni.... hatimu baik bgt. bener2 sesuai dgn namamu
goodnovel comment avatar
Haeroen
hahahhaa ada lagi cerita yang aga gmn yaa.. kebodohan yg beda tipis ma sabar.. bener
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
waduhhhh bakalan rame nih....habis si mila pe'a tuh.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tabayun

    "Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tamu yang Mencariku

    "Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Pesan Yang Terhapus

    "Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status