Tangan Mas Dasep sudah mengepal, otot-otot lengannya menegang kencang saat kutahan dia agar tak jadi pergi.Mas Dasep terbakar amarah. Aku mengerti bagaimana perkataan Bapak tadi sangat menyakitkan bagi suamiku ini. Wajah yang berubah merah padam dan ekspresi menakutkan, menguatkan hatiku untuk berani menghadapi kemarahan Mas Dasep.Mas Dasep marah terhadap Mila dan Husni, tapi api kemarahannya itu bisa membakar semua anggota keluarga yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Untuk itulah, aku harus berani menghadapi kemarahan Mas Dasep saat ini.Seperti halnya suamiku itu selalu menenangkanku saat aku menangis, maka aku pun harus bisa menenangkannya saat dia marah.Mas Dasep mewarisi emosi Bapak Mertua, dia akan marah semenakutkan saat Bapak Mertua marah. Jika Mas Dasep bicara dalam kead
"Kamu bisa berpikir untuk menjaga hubungan semua orang, itu hal yang baik. Tapi aku aku tetap harus bicara pada Bapak. Ini tentang harga diri."Itulah yang diucapkan Mas Dasep sesaat sebelum dia pergi.*Selesai salat magrib, aku kembali menjaga warung. Hatiku tak tenang karena Mas Dasep belum juga pulang dari rumah Bapak.Tak sengaja, aku menyentuh cincin pernikahan yang melingkar di jari manis. Cincin yang sudah kupakai selama delapan tahun. Meski dalam kondisi keuangan sulit pun, aku tak pernah berpikir untuk menjualnya. Karena, bagiku cincin ini sangat berharga dan menyimpan banyak kenangan.Pernikahanku dengan Mas Dasep terbilang bahagia, kami hampir tak punya masalah meski hidup pas-pasan dan masih mengontrak. Ujian rumahtanggaku ha
"Mending kamu pulang, Mil. Sudah malam.""Ngusir nih, ceritanya!" balasnya ketus seraya memakai helm dan menaiki motor.Kelakuan adik iparku itu membuat geleng-geleng kepala. Untung aku masih punya stok sabar yang cukup.*Jam 9 malam.Aku masih berjaga di warung sambil menunggu Mas Dasep datang. Pesanan jagung terus kuterima, dan kali ini aku tengah membakar pesanan jagung terakhir.Saat hendak membungkus jagung bakar, kudengar motor butut suamiku parkir di pinggir rumah. Sejenak kemudian mesin motornya berhenti, sepertinya suamiku itu masuk lewat pintu belakang."Sudah jadi, Mur?" tanya Mang Jaka yang sedari tadi duduk di bang
"Kenapa, Mas?" tanyaku."Kemarin, untuk pertama kalinya Mas ngasih Ibu uang. Jadi, seharusnya Ibu tak akan meminjam lagi. Kalau Ibu sampai pinjam, berarti dia iseng," jawab Mas Dasep.Aku mengangguk. Lalu mengajak Mas Dasep ke warung menemaniku memasak. Azan subuh masih cukup lama, aku ingin ngobrol dulu dengannya sebentar."Barang-barang dagangan ini pemberian Bi Tika, Mas. Kemarin aku mau cerita. Tapi, Mas buru-buru ke rumah Bapak dan pulang malam," kataku begitu tiba di warung.Aku tak ingin Mas Dasep salah paham dan mengira uangku masih cukup banyak setelah kemarin menagih ke Ibu."Bi Tika yang dulunya tetangga kita?" tanya Mas Dasep sambil membantuku memarut tiga buah jagung berukuran besar untuk dijadikan puding.&n
"Mur! Bangun!"Jendela semakin digedor kencang. Bi Siti—tetangga belakang rumahku—berdiri di sana dengan muka panik begitu aku membuka gorden."Cepat keluar!" katanya. "Kamu ini dikasih tahu ada api, tapi diam saja!"Bi Siti memberikan kode dengan tangannya, agar aku segera mengikutinya ke belakang rumah.Sudah ada Bi Siti dan suaminya di belakang rumahku, juga Mas Dasep. Rupanya suamiku itu gercep, begitu mencium bau hangus langsung lari ke belakang.Mereka terlihat syok melihat gundukan jagung bakar, singkong, ubi, dan pisang yang hangus terbakar di sana. Dinding belakang rumah tampak menghitam, rupanya api belum sempat meluluhlantakkannya. Dan pintu belakang juga hangus sebagian, untung tidak sampai membuat hancur.
Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan saat kutanyai, seperti salah tingkah."Itu suami saya baru mau melapor," lanjutku.Mbak Ayu mengusap-usap sikunya, "ya tadi saya lewat belakang rumahmu, dan lihat ada hangus-hangus gitu," jawab Mbak Ayu.Kuperhatikan terus gerak-gerik Mbak Ayu, dan sepertinya dia mulai tak nyaman."Mbak Mur, saya ke sini mau memperkenalkan diri, karena saya warga baru di sini. Gak ada maksud lain, jadi tolong tatapannya jangan aneh begitu," lanjut Mbak Ayu. "Oh iya, dari awal saya pindah ke sini, saya sudah niat jual bebakaran. Seperti sosis bakar, bakso bakar, burger, termasuk jagung bakar. Jadi, nanti kalau jualan kita sama, Mbak jangan nganggap saya niru-niru Mbak ya," kata Mbak Ayu.Ada tatapan aneh yang tersirat saat Mb
"Ya Alloh, lindungilah suamiku."Pada akhirnya, kupasrahkan keselamatan Mas Dasep pada Yang Maha Kuasa. Tak akan cukup waktu untuk terus memikirkannya. Aku harus segera memasak, berharap suamiku segera pulang dan makan dengan lahap."Assalamualaikum."Yang kunantikan telah pulang. Mas Dasep melongokkan kepalanya di pintu warung, mengejutkanku yang tengah memasak sup ayam untuknya."Masih masak di warung, kompor yang baru belum dipasang?" tanya Mas Dasep."Belum, Mas. Aku masih takut nyalain api di dapur belakang. Mas dari mana saja?""Tadi Mas langsung berangkat ke pabrik. Kan Mas sudah cerita, kalau pabrik dapat borongan, jadi bos gak izinkan libur karena banyak kerjaan. Lagian gak enak, uang bonu
"Mbak Ayu mau beli apa? Biar saya ambilkan," kataku. Pura-pura tak mengerti kalau dia hendak meniru apa saja yang kujual di sini."Nggak kok Mbak Mur, aku cuma mau lihat-lihat saja barang daganganmu. Soalnya, dari pagi kuperhatikan warga bolak-balik belanja ke warungmu, sudah pasti kamu jual yang mereka butuhkan, kan. Makanya, aku ke sini mau ngecek Mbak Mur jual apa aja biar aku juga ikutan jual di warungku " jawabnya.Rasanya aneh melihat senyuman di raut wajah Ayu yang jutek."Bukannya barang dagangan Mbak Ayu lebih banyak, ya? sindirku halus."Ya banyak sih, tapi kupikir barang dagangan kita beda. Soalnya kok warungku sepi banget. Ternyata, semua yang kamu jual di sini, aku juga jual di warungku. Tapi, kok kenapa mereka malah beli di warungmu, ya?" katanya.