Share

Keputusan Suamiku

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-24 16:35:40

Tangan Mas Dasep sudah mengepal, otot-otot lengannya menegang kencang saat kutahan dia agar tak jadi pergi.

 

 

Mas Dasep terbakar amarah. Aku mengerti bagaimana perkataan Bapak tadi sangat menyakitkan bagi suamiku ini. Wajah yang berubah merah padam dan ekspresi menakutkan, menguatkan hatiku untuk berani menghadapi kemarahan Mas Dasep.

 

 

Mas Dasep marah terhadap Mila dan Husni, tapi api kemarahannya itu bisa membakar semua anggota keluarga yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Untuk itulah, aku harus berani menghadapi kemarahan Mas Dasep saat ini. 

 

 

Seperti halnya suamiku itu selalu menenangkanku saat aku menangis, maka aku pun harus bisa menenangkannya saat dia marah.

 

 

Mas Dasep mewarisi emosi Bapak Mertua, dia akan marah semenakutkan saat Bapak Mertua marah. Jika Mas Dasep bicara dalam keadaan emosi, sudah pasti Bapak pun akan meladeninya dengan emosi pula. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Itulah sebabnya, aku mencegah Mas Dasep.

 

 

"Kali ini jangan halangi aku, Mur. Sesekali, berhentilah jadi orang baik!" kata Mas Dasep bicara padaku, tapi matanya melihat entah ke mana. "Aku tak terima Bapak menilai Husni kejauhan seperti itu, sudah saatnya Bapak tahu yang sebenarnya!"

 

 

Napas suamiku itu memburu diiringi peluh yang mengucur dari kening. Aku paham, dia lelah sehabis bekerja. Menyablon karung secara manual pasti membuatnya capek dan pegal-pegal, ditambah lagi harus mendengarkan kata-kata yang menyakitkan sepulang kerja.

 

 

"Mas, dengarkan aku dul—"

 

 

"Tidak, Murni. Diamlah. Minggir, aku mau menyusul Bapak ke rumah. Aku harus bicara dengannya!" potong Mas Dasep, masih dikuasai emosi.

 

 

"Aku janji, Mas akan bicara dengan Bapak. Tapi, dengarkan aku dulu, Mas," tahanku.

 

 

Sepuluh tahun mengenalnya—dua tahun masa pacaran dan delapan tahun berumahtangga, aku sudah hapal bagaimana cara meredam amarah suamiku. Kuusap kening Mas Dasep yang bercucuran peluh dengan ujung lengan gamisku, dan hal itu membuat amarahnya berkurang. Aku selalu melakukan trik ini ketika Mas Dasep marah.

 

 

Begitu aku selesai mengelap peluh di keningnya, Mas Dasep mengatur napas, dia mengendalikan emosinya sendiri. 

 

 

"Ayo, masuk dan duduklah dulu di dalam rumah. Tak baik kita seperti ini di luar, gak enak jika dilihat tetangga."

 

 

Selesai menuntun Mas Dasep duduk di dalam rumah, aku langsung ke warung untuk membuatkannya minuman dingin rasa jeruk. Setelah itu, aku kembali.

 

 

"Minum dulu, Mas. Cuaca sedang panas terik, Mas juga belum minum apa-apa sejak pulang kerja. Ini pasti menyegarkan. Mulai hari ini, aku jualan minuman dingin juga, Mas," kataku sambil menyuguhkannya ke Mas Dasep, sengaja kualihkan pembicaraan agar suamiku dapat sejenak melupakan kejadian barusan.

 

 

Tak butuh waktu lama bagi Mas Dasep untuk meneguk minumannya sampai habis. Sudah pasti dia kehausan.

 

 

"Tadi kenapa kamu diam aja waktu Bapak muji-muji Husni? Kan kamu tahu sendiri kenyataannya Husni tidak seperti yang Bapak bilang?" tanya Mas Dasep. Emosinya masih ada, tapi tak sekuat tadi.

 

 

"Mas pikir, kalau kita beritahu Bapak yang sebenarnya, Bapak akan langsung percaya dan terima? Mas tahu sendiri bagaimana watak Bapak, jika dia sudah punya penilaian sendiri, sangat sulit untuk mengubahnya meskipun kenyataannya kitalah yang benar. Yang ada, nanti malah kita yang dianggap memfitnah Husni, iri sama Husni karena Bapak lebih membanggakannya. Coba dipikirkan lagi, pasti akan jadi masalah baru nantinya," jawabku.

 

 

Mas Dasep mendengus. Dia masih belum bisa menatapku, pandangannya kemana-mana, tak fokus. Artinya, dia memang masih marah. Aku harus hati-hati menjelaskan.

 

 

"Itulah sebabnya aku mencegahmu, Mas. Lagipula, Mas dalam keadaan emosi. Apa yang akan Mas katakan pada Bapak nanti, sementara Mas tak bisa berpikir jernih? Tenangkan dulu dirimu, baru bicara ke Bapak. Tapi, aku ingatkan satu hal," jelasku pelan.

 

 

"Apa itu?"

 

 

"Tidak ada gunanya mengadu. Mas ingat kan, waktu kita masih serumah dengan Bapak, Ibu, dan Mila?" tanyaku.

 

 

Kali ini, Mas Dasep menoleh dan menatapku. Pandangan kami bertemu. Tampak dia berpikir, mengingat saat-saat itu.

 

 

"Waktu itu, Mila belum bersuami. Setiap hari kerjanya rebahan dan main ponsel di kamar, sedangkan aku mengerjakan semua pekerjaan rumah, bahkan baju-baju Mila pun aku yang nyuci. Ibu selalu ikut Bapak ke kebun, kadang ke sawah, dan baru pulang sore hari. Dan waktu Ibu pulang, Mila mengaku mengerjakan pekerjaan rumah dan bilang pada mereka bahwa kerjaku hanya rebahan saja. Mas ingat, kan?"

 

 

Suamiku mendengarkan sambil manggut-manggut. "Lalu?" tanyanya.

 

 

"Kejadian itu tujuh tahun yang lalu, setahun pernikahan kita dan aku masih sangat labil, belum bisa berpikir dewasa seperti sekarang. Waktu itu aku sangat marah, aku melawan Mila. Kuadukan pada Ibu, tapi Ibu malah membela Mila. Akhirnya kuadukan ke Bapak. Bapak memarahi Mila, tapi Mila dan Ibu malah memusuhiku," kenangku.

 

 

Mas Dasep manggut-manggut, sepertinya dia mulai mengingat kejadian itu.

 

 

"Sejak saat itu, aku jadi tak nyaman di rumahmu, Mas. Dan akhirnya kau mengambil tindakan, menasihati Mila sampai bicara pada Ibu dan Bapak. Tapi apa selanjutnya ... tak ada yang mau mendengarkan kita. Pada akhirnya, Ibu dan Bapak lebih percaya Mila, karena anak itu memang berbakat mengarang cerita. Dan karena itu pula lah kita pindah ke sini, mengontrak karena tak tahan dengan situasi di sana." Aku melanjutkan.

 

 

Terdengar embusan napas panjang. Mas Dasep tampaknya kini sudah bisa mengingat kejadian itu dengan jelas. Tentu saja, itu adalah hal yang tak akan pernah kami lupakan. 

 

 

"Iya, Mur. Waktu itu kita serumah bertengkar hebat. Semua gara-gara Mila. Ah ... adikku itu susah dikendalikan," respon Mas Dasep. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

 

 

"Aku tak mau kejadian itu terulang lagi. Tak ada gunanya mengadukan Mila, ujung-ujungnya kita yang akan kena masalah karena dia pasti akan membela diri. Lagipula, soal pemberian itu ... Alloh kan tidak tidur, Mas. Biarkanlah Mila mengarang cerita, toh balasan perbuatan manusia tidak akan salah alamat, baik-buruknya pasti akan kembali ke manusia itu sendiri. Kita fokus saja pada urusan kita, Mas. Biarkan Mila bermain dengan permainannya, nanti juga lama-lama kebusukannya akan terbongkar," kataku.

 

 

Setelah cukup lama kami berdiam diri dan tak saling bicara, akhirnya Mas Dasep membuka suara. Tampaknya dia telah memikirkan perkataanku tadi.

 

 

"Kamu benar, Mur," katanya. "Tapi, Mas tetap harus bicara pada Bapak," katanya.

 

 

"Silakan. Tugasku hanya mengingatkan. Dari awal aku tak melarangmu bicara ke Bapak, aku mencegahmu bicara dengan orangtua dalam keadaan emosi. Itu saja," balasku.

 

 

Bagaimana pun, aku hanya bisa memberi pendapat dan mengingatkan suamiku atas konsekuensi tindakan yang akan diambilnya. Namun tetap, keputusan akhir ada di tangan suamiku sebagai pemimpin rumah tangga. 

 

 

Dan aku harus menghormati keputusan Mas Dasep. Sekarang, tinggal menunggu hal apa yang akan terjadi. 

 

 

Mungkin, tak lama lagi Mila atau Ibu akan melabrakku ke sini, karena Mas Dasep mengadu ke Bapak.

 

 

Mas Dasep kini jauh dari pandanganku, dia sudah berangkat ke rumah Bapak.

 

 

Masalah besar pasti sedang menunggu kami di sana.

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tabayun

    "Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tamu yang Mencariku

    "Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Pesan Yang Terhapus

    "Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status