Share

Bayar Utang Tapi Bohong

Aku menajamkan pandangan, melihat wajah siapa di balik jilbab bergo berwarna hitam itu. Lesung pipinya saat tersenyum mengingatkanku pada seseorang.

 

 

"Bi Tika, ya?" tebakku tiba-tiba.

 

 

Senyumnya semakin mengembang. "Rupanya kamu masih ingat sama aku, Mur!" balasnya.

 

 

Bi Tika adalah tetanggaku dulu, sebelum dia pindah rumah setahun lalu. Dia tetangga yang lumayan merepotkan. Hampir setiap hari pasti mengetuk pintu rumahku hanya untuk minta sesendok garam, gula, beberapa biji bawang, bahkan kadang beras dan sayuran. Listrik di rumahnya saat itu juga dialiri dari rumahku, aku dan Mas Dasep kasihan karena dia seorang janda dengan tiga orang anak yang masih kecil. Waktu itu, Bi Tika tidak bekerja dan menjanda selepas suaminya meninggal dunia.

 

 

"Tentu saja, sama tetangga sendiri masa tidak ingat," jawabku. "Ini usaha Bi Tika sekarang?" lanjutku bertanya sambil menunjuk barang dagangannya.

 

 

"Alhamdulillah, iya Mur. Setelah pindah dari kampung kita dulu, aku memutuskan untuk usaha jualan kerupuk mentah. Modalnya hasil minjam ke bank, tapi aku bersyukur banget usahaku ini laris manis, aku bisa menutup utang-utangku sedikit demi sedikit." Senyum bahagia itu belum surut dari wajah Bi Tika.

 

 

"Saya ikut seneng, Bi," responku. "Sekarang saya juga buka usaha warung kecil-kecilan di depan rumah. Baru jalan beberapa bulan. Oh iya, jadi berapa belanjaan saya semuanya?"

 

 

Bi Tika menahan tanganku yang terulur hendak membayar belanjaan. "Kan sudah kubilang, gak perlu bayar," katanya.

 

 

"Lho, kenapa?"

 

 

"Untukmu gratis, Mur. Kamu orang baik, waktu itu sering banget nolongin saat saya kesusahan. Padahal kita ini sama-sama ngontrak dan hidup pas-pasan, tapi kamu mau berbagi denganku dan anak-anakku," jawabnya.

 

 

Aku terharu mendengarnya. "Tapi kan Bi Tika juga jualan, orang jualan itu pasti nyari untung. Kok malah digratisin?" ucapku, merasa segan.

 

 

"Ini semua gak ada apa-apanya dibanding yang udah kamu berikan ke saya dulu. Sudah, jangan menolak rezeki. Ambil saja barangnya," kata Bi Tika sambil memaksaku memegang keresek belanjaan. Dia juga menambahkan beberapa renteng sampo sachet, penyedap rasa, bumbu instan, dan lainnya. "Buat nambahin jualan di warungmu," katanya.

 

 

Bi Tika begitu bersemangat saat memberiku belanjaan ini secara gratis. Dia tampak senang dan ikhlas. Melihat penampilannya sekarang, Bi Tika jauh berbeda dengan saat dulu. Dia pasti sudah sukses dengan usahanya ini, bahkan jemari tangan dan pergelangan tangannya pun dihiasi dengan perhiasan.

 

 

"Kalau begitu terimakasih, Bi. Semoga usahanya semakin laris ya," ucapku.

 

 

Sepanjang perjalanan pulang, aku masih tak percaya dengan perubahan hidup Bi Tika. Masih kuingat jelas bagaimana dulu dia sering minta tolong, dan kali ini ... hanya jarak satu tahun, dia sudah jauh berubah. Rezeki memang urusan Alloh.

 

 

Jika dulu aku yang selalu membantunya, maka kali ini Bi Tika yang membantuku. Ya, secara tidak langsung dia menjadi jalan pembuka rezeki di saat aku kesulitan keuangan.

 

 

Mang Ojak menghentikan motornya di depan rumah. Aku telah sampai. Kusodorkan uang Rp. 20.000 sebagai upah pulang-pergi. Namun, Mang Ojak menolaknya.

 

 

"Upahku pakai bayar utang aja, Mur. Istriku kan hampir tiap pagi ngambil kopi hitam dan rokok di warungmu, jadi mulai sekarang tiap kamu naik ojekku upahnya langsung potong ke utang ya," kata Mang Ojak.

 

 

"Ya sudah, Mang. Terimakasih ya," kataku sambil menyimpan uang kembali ke dompet.

 

 

"Aku yang terimakasih, Mur. Kamu udah ngasih utangan, dan gak pernah nagih pula. Jadi malu aku, Mur. Ngomong-ngomong, berapa jumlah utangku? Saking banyaknya aku jadi lupa," lanjutnya.

 

 

"Dua ratus ribu, Mang," jawabku.

 

 

"Ya sudah. Begini saja, mulai hari ini kamu gak perlu bayar ojekku PP selama satu bulan. Itung-itung untuk melunasi utangku." Mang Ojak menawarkan solusi. "Karena, jujur kalau bayar pakai uang aku gak sanggup, anakku yang paling gede mau masuk SMA butuh biaya banyak, itu pun masih nunggak. Pusing aku, Mur."

 

 

Kulihat wajah kesedihan Mang Ojak, dia seumuran almarhum bapakku. Aku jadi teringat Bapak. 

 

 

"Iya, gak apa-apa kok, Mang. Mau bayar pakai uang atau pakai jasa ojek juga sama aja," jawabku.

 

 

Sungguh di luar dugaan, belanja kali ini uangku utuh tak terpakai sepeser pun. 

 

 

Aku langsung membuka warung dan menata barang dagangan yang diberi Bi Tika secara gratis. 

 

 

Lima orang tetangga sudah berderet di depan warung, mereka membeli kebutuhan seperti biasa.

 

 

"Nah, gini dong, Mur. Kan enak kalau belanja barangnya lengkap, gak usah jalan jauh-jauh ke RT sebelah," kata salah seorang di antara mereka.

 

 

"Iya, betul. Aku lebih suka belanja di sini karena deket. Gak kayak kemarin, gara-gara warungmu tutup aku harus jalan jauh ke warung Bu Saadah, mertuamu itu." Yang lain ikut berkomentar.

 

 

Aku pun kemudian sibuk melayani mereka. Ketika satu pergi, datang lagi pembeli yang lain. Begitu seterusnya hingga siang tiba.

 

 

*

 

 

Jam satu siang. Kulihat Hasan yang kemarin pesan makaroni basah, berlarian bersama teman-temannya di tanah lapang tempat bermain bola.

 

 

Tak lama mereka datang. "Bi, jajan makaroni!" kata Hasan.

 

 

"Aku yang basah!"

 

 

"Aku yang kering!"

 

 

"Aku basah-kering!"

 

 

Begitulah anak-anak kecil ini. Jika pagi hari aku sibuk melayani ibu-ibu mereka, maka siangnya anak-anak mereka yang membuatku sibuk.

 

 

Tapi aku senang, kesibukan ini mendatangkan keuntungan. 

 

 

Kulihat wajah bahagia saat anak-anak itu duduk berjajar di teras rumah, sambil menyantap makroni.

 

 

Aku menghitung uang hasil jualanku hari ini, ketika suara motor yang tak asing di telinga terdengar semakin dekat ke arah warung.

 

 

Ternyata Mila. Dia sudah berdiri di hadapanku dan membawa satu kantung keresek, menyerahkannya padaku.

 

 

"Ini jagung! Tinggal direbus atau dibakar. Manis kok rasanya!" Mila menjawab.

 

 

Aku pun menerimanya. "Ini dari Ibu?"

 

 

"Iya lah, Kak. Dari siapa lagi?" jawabnya sambil melipat tangan di dada.

 

 

Ketika aku hendak berbalik arah untuk menyimpan jagung ini, Mila menadahkan tangannya. "Mana?" katanya.

 

 

"Apa, Mil?"

 

 

"Uangnya, lah!" jawab Mila.

 

 

Aku mengernyit. Mila tampaknya mengerti kebingunganku. "Uang untuk jagung itu! Seratus dua puluh ribu harganya, Kak! Itu banyak lho jagungnya, sekeresek besar. Kalau beli di pasar, Kakak gak akan dapat harga segitu!" lanjutnya menjelaskan.

 

 

"Lah, kukira ini pemberian Ibu, Mil. Kalau gitu, ambil lagi aja. Maaf, Kakak belum punya cukup uang untuk membayarnya," tolakku.

 

 

Mila berubah cemberut, dia sepertinya mulai marah. "Bener-bener pelit. Padahal dengan membeli jagung ini, artinya membantu membeli hasil kebun orangtua! Kasihan, mereka sedang gak punya uang" katanya, sinis.

 

 

Masa gak punya uang? Kan, kemarin barang dagangan sama uangku sudah kuberikan pada Ibu Mertua, batinku.

 

 

"Udah pelit, tukang ngadu lagi!" Mila tak henti mengoceh. "Kakak ngadu kan, sama Kak Dasep soal aku ngutang ke Kakak! Gara-gara aduan itu, tadi pagi aku dimarahin Kak Dasep habis-habisan!" lanjutnya.

 

 

"Bukan ngadu. Tapi kakakmu itu bertanya, Aku cuma jawab apa adanya." Aku membela diri.

 

 

"Ah, sudahlah. Mentang-mentang utangku banyak ke Kakak. Nih, aku bayar yang lima ratus ribu dulu, bekas pinjam kemarin—"

 

 

Tangan Mila terulur dengan lima lembar uang seratus ribu. Namun, dia terhenti saat melihat isi warungku.

 

 

"Wah, warung Kakak udah penuh lagi aja. Padahal kemarin barang dagangan udah dipinjam, dibawa ke warung Ibu. Kakak belanja lagi ya? Katanya gak punya uang untuk belanja, sampai ngemis segala nagih-nagih ke aku dan Ibu. Ini buktinya, Kakak bisa belanja sampai warungnya penuh lagi. Berarti Kakak punya banyak uang, dong!" celotehnya.

 

 

Kedua mata Mila tak henti mengitari warungku sambil terus berkomentar. Aku geleng-geleng kepala dengan sikap adik ipar yang satu ini. 

 

 

Dia mengira aku banyak uang.

 

 

Tanganku pun terulur hendak menerima uang pembayaran utang Mila, namun Mila menarik kembali tangannya.

 

 

"Gak jadi deh, Kak. Aku bayar utangnya nanti dulu aja. Soalnya Kakak juga masih punya banyak uang kan, gak susah-susah banget seperti yang diceritakan Kak Dasep. Ini buktinya bisa belanja," katanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
gemes,geram sama ipar kurang ajar ky gini .setali tiga uang sm emak nya ,hati nya jelek ,busuk dan penuh iri dengki .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status