Share

Bayar Utang Tapi Bohong

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-14 14:05:42

Aku menajamkan pandangan, melihat wajah siapa di balik jilbab bergo berwarna hitam itu. Lesung pipinya saat tersenyum mengingatkanku pada seseorang.

 

 

"Bi Tika, ya?" tebakku tiba-tiba.

 

 

Senyumnya semakin mengembang. "Rupanya kamu masih ingat sama aku, Mur!" balasnya.

 

 

Bi Tika adalah tetanggaku dulu, sebelum dia pindah rumah setahun lalu. Dia tetangga yang lumayan merepotkan. Hampir setiap hari pasti mengetuk pintu rumahku hanya untuk minta sesendok garam, gula, beberapa biji bawang, bahkan kadang beras dan sayuran. Listrik di rumahnya saat itu juga dialiri dari rumahku, aku dan Mas Dasep kasihan karena dia seorang janda dengan tiga orang anak yang masih kecil. Waktu itu, Bi Tika tidak bekerja dan menjanda selepas suaminya meninggal dunia.

 

 

"Tentu saja, sama tetangga sendiri masa tidak ingat," jawabku. "Ini usaha Bi Tika sekarang?" lanjutku bertanya sambil menunjuk barang dagangannya.

 

 

"Alhamdulillah, iya Mur. Setelah pindah dari kampung kita dulu, aku memutuskan untuk usaha jualan kerupuk mentah. Modalnya hasil minjam ke bank, tapi aku bersyukur banget usahaku ini laris manis, aku bisa menutup utang-utangku sedikit demi sedikit." Senyum bahagia itu belum surut dari wajah Bi Tika.

 

 

"Saya ikut seneng, Bi," responku. "Sekarang saya juga buka usaha warung kecil-kecilan di depan rumah. Baru jalan beberapa bulan. Oh iya, jadi berapa belanjaan saya semuanya?"

 

 

Bi Tika menahan tanganku yang terulur hendak membayar belanjaan. "Kan sudah kubilang, gak perlu bayar," katanya.

 

 

"Lho, kenapa?"

 

 

"Untukmu gratis, Mur. Kamu orang baik, waktu itu sering banget nolongin saat saya kesusahan. Padahal kita ini sama-sama ngontrak dan hidup pas-pasan, tapi kamu mau berbagi denganku dan anak-anakku," jawabnya.

 

 

Aku terharu mendengarnya. "Tapi kan Bi Tika juga jualan, orang jualan itu pasti nyari untung. Kok malah digratisin?" ucapku, merasa segan.

 

 

"Ini semua gak ada apa-apanya dibanding yang udah kamu berikan ke saya dulu. Sudah, jangan menolak rezeki. Ambil saja barangnya," kata Bi Tika sambil memaksaku memegang keresek belanjaan. Dia juga menambahkan beberapa renteng sampo sachet, penyedap rasa, bumbu instan, dan lainnya. "Buat nambahin jualan di warungmu," katanya.

 

 

Bi Tika begitu bersemangat saat memberiku belanjaan ini secara gratis. Dia tampak senang dan ikhlas. Melihat penampilannya sekarang, Bi Tika jauh berbeda dengan saat dulu. Dia pasti sudah sukses dengan usahanya ini, bahkan jemari tangan dan pergelangan tangannya pun dihiasi dengan perhiasan.

 

 

"Kalau begitu terimakasih, Bi. Semoga usahanya semakin laris ya," ucapku.

 

 

Sepanjang perjalanan pulang, aku masih tak percaya dengan perubahan hidup Bi Tika. Masih kuingat jelas bagaimana dulu dia sering minta tolong, dan kali ini ... hanya jarak satu tahun, dia sudah jauh berubah. Rezeki memang urusan Alloh.

 

 

Jika dulu aku yang selalu membantunya, maka kali ini Bi Tika yang membantuku. Ya, secara tidak langsung dia menjadi jalan pembuka rezeki di saat aku kesulitan keuangan.

 

 

Mang Ojak menghentikan motornya di depan rumah. Aku telah sampai. Kusodorkan uang Rp. 20.000 sebagai upah pulang-pergi. Namun, Mang Ojak menolaknya.

 

 

"Upahku pakai bayar utang aja, Mur. Istriku kan hampir tiap pagi ngambil kopi hitam dan rokok di warungmu, jadi mulai sekarang tiap kamu naik ojekku upahnya langsung potong ke utang ya," kata Mang Ojak.

 

 

"Ya sudah, Mang. Terimakasih ya," kataku sambil menyimpan uang kembali ke dompet.

 

 

"Aku yang terimakasih, Mur. Kamu udah ngasih utangan, dan gak pernah nagih pula. Jadi malu aku, Mur. Ngomong-ngomong, berapa jumlah utangku? Saking banyaknya aku jadi lupa," lanjutnya.

 

 

"Dua ratus ribu, Mang," jawabku.

 

 

"Ya sudah. Begini saja, mulai hari ini kamu gak perlu bayar ojekku PP selama satu bulan. Itung-itung untuk melunasi utangku." Mang Ojak menawarkan solusi. "Karena, jujur kalau bayar pakai uang aku gak sanggup, anakku yang paling gede mau masuk SMA butuh biaya banyak, itu pun masih nunggak. Pusing aku, Mur."

 

 

Kulihat wajah kesedihan Mang Ojak, dia seumuran almarhum bapakku. Aku jadi teringat Bapak. 

 

 

"Iya, gak apa-apa kok, Mang. Mau bayar pakai uang atau pakai jasa ojek juga sama aja," jawabku.

 

 

Sungguh di luar dugaan, belanja kali ini uangku utuh tak terpakai sepeser pun. 

 

 

Aku langsung membuka warung dan menata barang dagangan yang diberi Bi Tika secara gratis. 

 

 

Lima orang tetangga sudah berderet di depan warung, mereka membeli kebutuhan seperti biasa.

 

 

"Nah, gini dong, Mur. Kan enak kalau belanja barangnya lengkap, gak usah jalan jauh-jauh ke RT sebelah," kata salah seorang di antara mereka.

 

 

"Iya, betul. Aku lebih suka belanja di sini karena deket. Gak kayak kemarin, gara-gara warungmu tutup aku harus jalan jauh ke warung Bu Saadah, mertuamu itu." Yang lain ikut berkomentar.

 

 

Aku pun kemudian sibuk melayani mereka. Ketika satu pergi, datang lagi pembeli yang lain. Begitu seterusnya hingga siang tiba.

 

 

*

 

 

Jam satu siang. Kulihat Hasan yang kemarin pesan makaroni basah, berlarian bersama teman-temannya di tanah lapang tempat bermain bola.

 

 

Tak lama mereka datang. "Bi, jajan makaroni!" kata Hasan.

 

 

"Aku yang basah!"

 

 

"Aku yang kering!"

 

 

"Aku basah-kering!"

 

 

Begitulah anak-anak kecil ini. Jika pagi hari aku sibuk melayani ibu-ibu mereka, maka siangnya anak-anak mereka yang membuatku sibuk.

 

 

Tapi aku senang, kesibukan ini mendatangkan keuntungan. 

 

 

Kulihat wajah bahagia saat anak-anak itu duduk berjajar di teras rumah, sambil menyantap makroni.

 

 

Aku menghitung uang hasil jualanku hari ini, ketika suara motor yang tak asing di telinga terdengar semakin dekat ke arah warung.

 

 

Ternyata Mila. Dia sudah berdiri di hadapanku dan membawa satu kantung keresek, menyerahkannya padaku.

 

 

"Ini jagung! Tinggal direbus atau dibakar. Manis kok rasanya!" Mila menjawab.

 

 

Aku pun menerimanya. "Ini dari Ibu?"

 

 

"Iya lah, Kak. Dari siapa lagi?" jawabnya sambil melipat tangan di dada.

 

 

Ketika aku hendak berbalik arah untuk menyimpan jagung ini, Mila menadahkan tangannya. "Mana?" katanya.

 

 

"Apa, Mil?"

 

 

"Uangnya, lah!" jawab Mila.

 

 

Aku mengernyit. Mila tampaknya mengerti kebingunganku. "Uang untuk jagung itu! Seratus dua puluh ribu harganya, Kak! Itu banyak lho jagungnya, sekeresek besar. Kalau beli di pasar, Kakak gak akan dapat harga segitu!" lanjutnya menjelaskan.

 

 

"Lah, kukira ini pemberian Ibu, Mil. Kalau gitu, ambil lagi aja. Maaf, Kakak belum punya cukup uang untuk membayarnya," tolakku.

 

 

Mila berubah cemberut, dia sepertinya mulai marah. "Bener-bener pelit. Padahal dengan membeli jagung ini, artinya membantu membeli hasil kebun orangtua! Kasihan, mereka sedang gak punya uang" katanya, sinis.

 

 

Masa gak punya uang? Kan, kemarin barang dagangan sama uangku sudah kuberikan pada Ibu Mertua, batinku.

 

 

"Udah pelit, tukang ngadu lagi!" Mila tak henti mengoceh. "Kakak ngadu kan, sama Kak Dasep soal aku ngutang ke Kakak! Gara-gara aduan itu, tadi pagi aku dimarahin Kak Dasep habis-habisan!" lanjutnya.

 

 

"Bukan ngadu. Tapi kakakmu itu bertanya, Aku cuma jawab apa adanya." Aku membela diri.

 

 

"Ah, sudahlah. Mentang-mentang utangku banyak ke Kakak. Nih, aku bayar yang lima ratus ribu dulu, bekas pinjam kemarin—"

 

 

Tangan Mila terulur dengan lima lembar uang seratus ribu. Namun, dia terhenti saat melihat isi warungku.

 

 

"Wah, warung Kakak udah penuh lagi aja. Padahal kemarin barang dagangan udah dipinjam, dibawa ke warung Ibu. Kakak belanja lagi ya? Katanya gak punya uang untuk belanja, sampai ngemis segala nagih-nagih ke aku dan Ibu. Ini buktinya, Kakak bisa belanja sampai warungnya penuh lagi. Berarti Kakak punya banyak uang, dong!" celotehnya.

 

 

Kedua mata Mila tak henti mengitari warungku sambil terus berkomentar. Aku geleng-geleng kepala dengan sikap adik ipar yang satu ini. 

 

 

Dia mengira aku banyak uang.

 

 

Tanganku pun terulur hendak menerima uang pembayaran utang Mila, namun Mila menarik kembali tangannya.

 

 

"Gak jadi deh, Kak. Aku bayar utangnya nanti dulu aja. Soalnya Kakak juga masih punya banyak uang kan, gak susah-susah banget seperti yang diceritakan Kak Dasep. Ini buktinya bisa belanja," katanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sawitri
ishhh pengen tak ulek lambene iparmu mur....kok ga punya hati
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
gemes,geram sama ipar kurang ajar ky gini .setali tiga uang sm emak nya ,hati nya jelek ,busuk dan penuh iri dengki .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status