Share

Pesan Mas Dasep

"Mending kamu pulang, Mil. Sudah  malam." 

 

 

"Ngusir nih, ceritanya!" balasnya ketus seraya memakai helm dan menaiki motor.

 

 

Kelakuan adik iparku itu membuat geleng-geleng kepala. Untung aku masih punya stok sabar yang cukup. 

 

 

 *

 

 

 Jam 9 malam.

 

 

Aku masih berjaga di warung sambil menunggu Mas Dasep datang. Pesanan jagung terus kuterima, dan kali ini aku tengah membakar pesanan jagung terakhir.

 

 

Saat hendak membungkus jagung bakar, kudengar motor butut suamiku parkir di pinggir rumah. Sejenak kemudian mesin motornya berhenti, sepertinya suamiku itu masuk lewat pintu belakang.

 

 

"Sudah jadi, Mur?" tanya Mang Jaka yang sedari tadi duduk di bangku depan warung, menunggu pesanan jagungnya matang.

 

 

"Iya, ini sudah, Mang. Jadi dua puluh ribu untuk dua jagung bakar."

 

 

Setelah uang kuterima, Mang Ojak pergi. Aku pun bersiap menutup warung. Kumasukkan semua uang hasil jualanku ke dalam dompet hadiah dari toko emas.

 

 

Hatiku sudah tak tenang sejak tadi, apalagi Mas Dasep pulang tanpa menemuiku lebih dahulu. Pasti ada sesuatu yang tak beres.

 

 

Aku segera menemui suamiku begitu warung selesai kututup dan semua pintu serta jendela rumah sudah kukunci.

 

 

"Mas, kau sudah pulang rupanya? Makan dulu ya, tadi Mas belum sempat makan."

 

 

Kulihat Mas Dasep terduduk lesu di bibir ranjang. Wajahnya cemberut seakan telah menelan kekecewaan. 

 

 

"Mas tak nafsu makan," jawabnya singkat. Kepalanya masih menunduk.

 

 

"Kalau begitu, makan jagung bakar ini saja," kataku.

 

 

Tangan Mas Dasep terulur, mengambil sebuah jagung bakar yang kusodorkan. Dia makan dengan lahap. 

 

 

Aku tak sabar ingin menanyainya tentang hasil pembicaraan dengan Bapak, tapi Mas Dasep harus makan sesuatu dulu. Bicara dengan perut terisi akan lebih baik daripada saat perut kosong.

 

 

Kutuntun Mas Dasep berbaring di kasur. Kami hendak tidur, namun sebelumnya kami mengobrol dulu.

 

 

"Tadi, Mas jadi bicara dengan Bapak?" tanyaku.

 

 

"Ya," jawabnya singkat.

 

 

"Bagaimana hasilnya?"

 

 

"Bapak tak mempercayaiku, Mur. Dia bilang aku ngelantur." Mas Dasep menjawab kesal, pandangannya melihat ke langit-langit kamar. "Di rumah Bapak, ada kulkas dan mesin cuci. Katanya itu dibelikan Husni. Makanya, ketika kuceritakan yang sebenarnya tentang Husni, Bapak tak percaya, karena ada bukti barang-barang itu. Katanya dari Husni."

 

 

Mas Dasep tampak tidak terima. Aku pun mengerti jika Bapak tak akan mempercayai Mas Dasep. Sejak dulu sikap Bapak memang seperti itu terhadap suamiku.

 

 

"Ya sudah, Mas. Mungkin saja benar Husni membelikan mereka mesin cuci dan kulkas. Kan katamu Husni sudah cairkan uang proyeknya." Kucoba menenangkan Mas Dasep.

 

 

"Dugaanku, Mila lah yang membeli barang-barang itu dan memberikannya pada Ibu dan Bapak, dengan mengatakan bahwa itu semua dari Husni. Kudengar, Mila ikut beberapa arisan. Pasti dia beli mesin cuci dan kulkas itu dari uang arisan, Mur."

 

 

Sambil membenarkan posisi tidurnya, Mas Dasep menceritakan bagaimana dia bisa tahu tentang arisan Mila. Rupanya, pernah ada ibu-ibu yang menagih tunggakan arisan Mila pada Mas Dasep. Mila ikut arisan di setiap RT, sudah 5 arisan ibu-ibu RT yang dia ikuti, dan setiap minggu dia menghabiskan sekitar lima ratus ribu untuk membayar semua arisannya itu.

 

 

"Pantas saja, Mas. Tadi siang dia mau bayar utangnya yang lima ratus ribu, tapi malah diambil lagi sama dia. Mungkin, uang itu mau dibayarkan arisan ya," cetusku, merespon cerita Mas Dasep.

 

 

Suamiku itu menjadi semakin kesal. "Benar-benar ya, anak itu! Padahal sudah kumarahi, tapi gak mempan juga! Harus dengan cara apa aku menasihatinya?!" umpat Mas Dasep, seolah Mila tengah berada di hadapannya.

 

 

"Sabar. Mas bisa bicara lagi pada Mila nanti. Aku pun tak menyangka, Mila kembali menunjukkan sifatnya yang seperti dulu. Padahal sebelumnya kupikir dia sudah berubah," kataku menenangkan Mas Dasep.

 

 

"Setiap habis salat, Mas tak pernah lupa mendoakan Mila supaya dia bisa berpikir dewasa. Tapi ya, dianya gak berusaha untuk berubah, doa Mas jadi lama terkabul," renung Mas Dasep. "Dan satu hal yang Mas gak ngerti, kenapa Mila begitu cinta dengan Husni sampai-sampai rela melakukan ini-itu agar Husni dipandang baik oleh Ibu dan Bapak?"

 

 

Setahuku, dulu pernikahan mereka sempat tak direstui karena Husni berasal dari kota, tapi Mila keukeuh ingin menjadi istri Husni. Dan sekarang, mungkin itulah cara Mila agar Husni dapat diterima oleh Ibu dan Bapak.

 

 

"Tapi, Mas. Menurutku bisa saja memang Husni yang membelikan mereka mesin cuci dan kulkas itu. Meskipun bukan Husni yang membelikannya langsung, bisa saja dia ngasih uangnya ke Mila dan Mila yang membelikannya." Aku mengajak Mas Dasep untuk berprasangka baik.

 

 

"Iya, bisa saja. Tapi aku jadi malu, Mur. Bapak menganggapku berniat ngomporin supaya dia gak suka sama Husni. Padahal, maksudku bukan begitu. Aku hanya ingin jelaskan yang sebenarnya kalau kita juga peduli dan perhatian sama Bapak dan Ibu."

 

 

"Kan sudah kubilang, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan. Bapak tetap akan lebih percaya Mila. Ujung-ujungnya malah makan hati," kataku. "Lain hal kalau Bapak akan percaya, maka mau jelaskan panjang lebar pun ada gunanya."

 

 

Mas Dasep mengembuskan napasnya. Aku dapat merasakan kekecewaan suami yang paling kusayangi ini.

 

 

"Tapi, tadi Mas ngomongnya gak sambil marah, kan?" lanjutku bertanya.

 

 

"Enggak. Justru Mas bicara pelan dan sangat hati-hati. Tapi Bapak malah menertawakan."

 

 

Pilu hatiku, mendengar suamiku diperlakukan begitu oleh bapaknya. Bapak Mertua orang baik, dia pandai menghargai orang lain. Namun entah mengapa, dia kurang menyukai Mas Dasep. Bapak tak pernah sekalipun membanggakan anak lelakinya sendiri.

 

 

"Sepertinya, harus kamu yang bicara, Mur. Bapak pasti akan mendengarkanmu. Padaku, Bapak kurang respek," lanjut Mas Dasep.

 

 

"Sudahlah, Mas. Lupakan saja kejadian ini dan tentang urusan Mila-Husni. Daripada sibuk mengurusi mereka, lebih baik kita fokus dengan rumahtangga kita saja," jawabku.

 

 

Mas Dasep mengusap-usap keningku untuk membuatku tertidur.

 

 

"Mur," katanya saat aku hampir saja terlelap. "Upah Mas yang sempat ditahan bos beberapa hari itu ... tadi sudah cair. Mas juga dapat bonus. Sudah Mas simpan semuanya ke dalam dompetmu di lemari. Kau lihat saja besok berapa jumlahnya."

 

 

Aku ingin sekali bertanya, kenapa Mas Dasep tak memberikannya langsung padaku dan malah menyimpannya dalam dompetku. Namun, mataku sangat mengantuk karena lelah dengan aktivitas seharian, aku pun akhirnya terlelap.

 

 

*

 

 

Hari sudah berganti lagi. Aku bangun lebih awal, jam tiga pagi.

 

 

Segera aku menuju warung untuk menyiapkan sarapan. Karena sekarang kompor sudah kupindahkan ke warung untuk berjualan makaroni, maka pagi ini aku memasak sarapan di warung.

 

 

Sengaja aku memasak lebih awal, karena masak sarapan kali ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain lontong dan gorengan, aku juga akan menghidangkan puding jagung untuk Mas Dasep, sebelum jam lima harus sudah siap. 

 

 

"Kenapa kamu masak di sini?" 

 

 

Mas Dasep mengagetkanku dari belakang. Dia memang tak bisa tidur tanpaku. Jadi, ketika aku bangun, dia akan ikut bangun.

 

 

"Kompornya kupindah ke sini, untuk jualan makaroni. Kita kan cuma punya satu kompor, Mas."  Kuceritakan tentang jualan makroniku.

 

 

Mas Dasep melihat-lihat warungku. Dia memang baru ngeuh, "sudah banyak lagi barang dagangannya? Ada minuman seduh dingin juga. Kamu butuh termos es dong, kan kita gak punya kulkas," celetuknya.

 

 

Baru saja hendak kuceritakan bagaimana bisa aku mendapat barang dagangan gratis ini, dan juga tentang Bi Tika. Namun, Mas Dasep buru-buru mengajakku ke kamar. Dia menuntunku hingga aku berdiri tepat di depan lemari.

 

 

"Sekarang, buka dompetmu yang disimpan dalam lemari ini," katanya.

 

 

Aku pun menuruti perintahnya dan sangat terkejut, karena banyak sekali uang seratus ribuan di dalam dompet ini! Ya, bagiku ini banyak.

 

 

"Itu upah dan bonus dari bos. Pabrik dapat pesanan borongan sablon karung seminggu ini," kata Mas Dasep.

 

 

"Wah, satu juta, Mas?" ucapku tak percaya. 

 

 

Karena terbiasa dengan upah Mas Dasep yang rata-rata Rp. 40.000 sehari, maka uang satu juta ini terasa sangat banyak untukku.

 

 

"Iya. Nanti, belilah kompor gas dan termos es. Beli juga makanan atau barang yang kamu inginkan, tapi jangan dihabiskan semua uangnya. Simpan untuk tabungan, jaga-jaga jika nanti kita tak punya uang," kata Mas Dasep.

 

 

"Baik, Mas." 

 

 

Betapa senangnya hatiku ....

 

 

"Dan ingat! Nanti jangan pinjamkan sisa uangnya, meskipun pada Ibu dan Mila," lanjut Mas Dasep, sangat serius. "Kau ingat ya, ini pesanku. Jangan pinjamkan uang ini!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
hati hati ,ntar ada tuyul yg tkng bohong.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status