Share

Pesan Mas Dasep

Author: Widanish
last update Last Updated: 2022-01-25 09:33:24

"Mending kamu pulang, Mil. Sudah  malam." 

 

 

"Ngusir nih, ceritanya!" balasnya ketus seraya memakai helm dan menaiki motor.

 

 

Kelakuan adik iparku itu membuat geleng-geleng kepala. Untung aku masih punya stok sabar yang cukup. 

 

 

 *

 

 

 Jam 9 malam.

 

 

Aku masih berjaga di warung sambil menunggu Mas Dasep datang. Pesanan jagung terus kuterima, dan kali ini aku tengah membakar pesanan jagung terakhir.

 

 

Saat hendak membungkus jagung bakar, kudengar motor butut suamiku parkir di pinggir rumah. Sejenak kemudian mesin motornya berhenti, sepertinya suamiku itu masuk lewat pintu belakang.

 

 

"Sudah jadi, Mur?" tanya Mang Jaka yang sedari tadi duduk di bangku depan warung, menunggu pesanan jagungnya matang.

 

 

"Iya, ini sudah, Mang. Jadi dua puluh ribu untuk dua jagung bakar."

 

 

Setelah uang kuterima, Mang Ojak pergi. Aku pun bersiap menutup warung. Kumasukkan semua uang hasil jualanku ke dalam dompet hadiah dari toko emas.

 

 

Hatiku sudah tak tenang sejak tadi, apalagi Mas Dasep pulang tanpa menemuiku lebih dahulu. Pasti ada sesuatu yang tak beres.

 

 

Aku segera menemui suamiku begitu warung selesai kututup dan semua pintu serta jendela rumah sudah kukunci.

 

 

"Mas, kau sudah pulang rupanya? Makan dulu ya, tadi Mas belum sempat makan."

 

 

Kulihat Mas Dasep terduduk lesu di bibir ranjang. Wajahnya cemberut seakan telah menelan kekecewaan. 

 

 

"Mas tak nafsu makan," jawabnya singkat. Kepalanya masih menunduk.

 

 

"Kalau begitu, makan jagung bakar ini saja," kataku.

 

 

Tangan Mas Dasep terulur, mengambil sebuah jagung bakar yang kusodorkan. Dia makan dengan lahap. 

 

 

Aku tak sabar ingin menanyainya tentang hasil pembicaraan dengan Bapak, tapi Mas Dasep harus makan sesuatu dulu. Bicara dengan perut terisi akan lebih baik daripada saat perut kosong.

 

 

Kutuntun Mas Dasep berbaring di kasur. Kami hendak tidur, namun sebelumnya kami mengobrol dulu.

 

 

"Tadi, Mas jadi bicara dengan Bapak?" tanyaku.

 

 

"Ya," jawabnya singkat.

 

 

"Bagaimana hasilnya?"

 

 

"Bapak tak mempercayaiku, Mur. Dia bilang aku ngelantur." Mas Dasep menjawab kesal, pandangannya melihat ke langit-langit kamar. "Di rumah Bapak, ada kulkas dan mesin cuci. Katanya itu dibelikan Husni. Makanya, ketika kuceritakan yang sebenarnya tentang Husni, Bapak tak percaya, karena ada bukti barang-barang itu. Katanya dari Husni."

 

 

Mas Dasep tampak tidak terima. Aku pun mengerti jika Bapak tak akan mempercayai Mas Dasep. Sejak dulu sikap Bapak memang seperti itu terhadap suamiku.

 

 

"Ya sudah, Mas. Mungkin saja benar Husni membelikan mereka mesin cuci dan kulkas. Kan katamu Husni sudah cairkan uang proyeknya." Kucoba menenangkan Mas Dasep.

 

 

"Dugaanku, Mila lah yang membeli barang-barang itu dan memberikannya pada Ibu dan Bapak, dengan mengatakan bahwa itu semua dari Husni. Kudengar, Mila ikut beberapa arisan. Pasti dia beli mesin cuci dan kulkas itu dari uang arisan, Mur."

 

 

Sambil membenarkan posisi tidurnya, Mas Dasep menceritakan bagaimana dia bisa tahu tentang arisan Mila. Rupanya, pernah ada ibu-ibu yang menagih tunggakan arisan Mila pada Mas Dasep. Mila ikut arisan di setiap RT, sudah 5 arisan ibu-ibu RT yang dia ikuti, dan setiap minggu dia menghabiskan sekitar lima ratus ribu untuk membayar semua arisannya itu.

 

 

"Pantas saja, Mas. Tadi siang dia mau bayar utangnya yang lima ratus ribu, tapi malah diambil lagi sama dia. Mungkin, uang itu mau dibayarkan arisan ya," cetusku, merespon cerita Mas Dasep.

 

 

Suamiku itu menjadi semakin kesal. "Benar-benar ya, anak itu! Padahal sudah kumarahi, tapi gak mempan juga! Harus dengan cara apa aku menasihatinya?!" umpat Mas Dasep, seolah Mila tengah berada di hadapannya.

 

 

"Sabar. Mas bisa bicara lagi pada Mila nanti. Aku pun tak menyangka, Mila kembali menunjukkan sifatnya yang seperti dulu. Padahal sebelumnya kupikir dia sudah berubah," kataku menenangkan Mas Dasep.

 

 

"Setiap habis salat, Mas tak pernah lupa mendoakan Mila supaya dia bisa berpikir dewasa. Tapi ya, dianya gak berusaha untuk berubah, doa Mas jadi lama terkabul," renung Mas Dasep. "Dan satu hal yang Mas gak ngerti, kenapa Mila begitu cinta dengan Husni sampai-sampai rela melakukan ini-itu agar Husni dipandang baik oleh Ibu dan Bapak?"

 

 

Setahuku, dulu pernikahan mereka sempat tak direstui karena Husni berasal dari kota, tapi Mila keukeuh ingin menjadi istri Husni. Dan sekarang, mungkin itulah cara Mila agar Husni dapat diterima oleh Ibu dan Bapak.

 

 

"Tapi, Mas. Menurutku bisa saja memang Husni yang membelikan mereka mesin cuci dan kulkas itu. Meskipun bukan Husni yang membelikannya langsung, bisa saja dia ngasih uangnya ke Mila dan Mila yang membelikannya." Aku mengajak Mas Dasep untuk berprasangka baik.

 

 

"Iya, bisa saja. Tapi aku jadi malu, Mur. Bapak menganggapku berniat ngomporin supaya dia gak suka sama Husni. Padahal, maksudku bukan begitu. Aku hanya ingin jelaskan yang sebenarnya kalau kita juga peduli dan perhatian sama Bapak dan Ibu."

 

 

"Kan sudah kubilang, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan. Bapak tetap akan lebih percaya Mila. Ujung-ujungnya malah makan hati," kataku. "Lain hal kalau Bapak akan percaya, maka mau jelaskan panjang lebar pun ada gunanya."

 

 

Mas Dasep mengembuskan napasnya. Aku dapat merasakan kekecewaan suami yang paling kusayangi ini.

 

 

"Tapi, tadi Mas ngomongnya gak sambil marah, kan?" lanjutku bertanya.

 

 

"Enggak. Justru Mas bicara pelan dan sangat hati-hati. Tapi Bapak malah menertawakan."

 

 

Pilu hatiku, mendengar suamiku diperlakukan begitu oleh bapaknya. Bapak Mertua orang baik, dia pandai menghargai orang lain. Namun entah mengapa, dia kurang menyukai Mas Dasep. Bapak tak pernah sekalipun membanggakan anak lelakinya sendiri.

 

 

"Sepertinya, harus kamu yang bicara, Mur. Bapak pasti akan mendengarkanmu. Padaku, Bapak kurang respek," lanjut Mas Dasep.

 

 

"Sudahlah, Mas. Lupakan saja kejadian ini dan tentang urusan Mila-Husni. Daripada sibuk mengurusi mereka, lebih baik kita fokus dengan rumahtangga kita saja," jawabku.

 

 

Mas Dasep mengusap-usap keningku untuk membuatku tertidur.

 

 

"Mur," katanya saat aku hampir saja terlelap. "Upah Mas yang sempat ditahan bos beberapa hari itu ... tadi sudah cair. Mas juga dapat bonus. Sudah Mas simpan semuanya ke dalam dompetmu di lemari. Kau lihat saja besok berapa jumlahnya."

 

 

Aku ingin sekali bertanya, kenapa Mas Dasep tak memberikannya langsung padaku dan malah menyimpannya dalam dompetku. Namun, mataku sangat mengantuk karena lelah dengan aktivitas seharian, aku pun akhirnya terlelap.

 

 

*

 

 

Hari sudah berganti lagi. Aku bangun lebih awal, jam tiga pagi.

 

 

Segera aku menuju warung untuk menyiapkan sarapan. Karena sekarang kompor sudah kupindahkan ke warung untuk berjualan makaroni, maka pagi ini aku memasak sarapan di warung.

 

 

Sengaja aku memasak lebih awal, karena masak sarapan kali ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain lontong dan gorengan, aku juga akan menghidangkan puding jagung untuk Mas Dasep, sebelum jam lima harus sudah siap. 

 

 

"Kenapa kamu masak di sini?" 

 

 

Mas Dasep mengagetkanku dari belakang. Dia memang tak bisa tidur tanpaku. Jadi, ketika aku bangun, dia akan ikut bangun.

 

 

"Kompornya kupindah ke sini, untuk jualan makaroni. Kita kan cuma punya satu kompor, Mas."  Kuceritakan tentang jualan makroniku.

 

 

Mas Dasep melihat-lihat warungku. Dia memang baru ngeuh, "sudah banyak lagi barang dagangannya? Ada minuman seduh dingin juga. Kamu butuh termos es dong, kan kita gak punya kulkas," celetuknya.

 

 

Baru saja hendak kuceritakan bagaimana bisa aku mendapat barang dagangan gratis ini, dan juga tentang Bi Tika. Namun, Mas Dasep buru-buru mengajakku ke kamar. Dia menuntunku hingga aku berdiri tepat di depan lemari.

 

 

"Sekarang, buka dompetmu yang disimpan dalam lemari ini," katanya.

 

 

Aku pun menuruti perintahnya dan sangat terkejut, karena banyak sekali uang seratus ribuan di dalam dompet ini! Ya, bagiku ini banyak.

 

 

"Itu upah dan bonus dari bos. Pabrik dapat pesanan borongan sablon karung seminggu ini," kata Mas Dasep.

 

 

"Wah, satu juta, Mas?" ucapku tak percaya. 

 

 

Karena terbiasa dengan upah Mas Dasep yang rata-rata Rp. 40.000 sehari, maka uang satu juta ini terasa sangat banyak untukku.

 

 

"Iya. Nanti, belilah kompor gas dan termos es. Beli juga makanan atau barang yang kamu inginkan, tapi jangan dihabiskan semua uangnya. Simpan untuk tabungan, jaga-jaga jika nanti kita tak punya uang," kata Mas Dasep.

 

 

"Baik, Mas." 

 

 

Betapa senangnya hatiku ....

 

 

"Dan ingat! Nanti jangan pinjamkan sisa uangnya, meskipun pada Ibu dan Mila," lanjut Mas Dasep, sangat serius. "Kau ingat ya, ini pesanku. Jangan pinjamkan uang ini!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
hati hati ,ntar ada tuyul yg tkng bohong.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tabayun

    "Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tamu yang Mencariku

    "Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Pesan Yang Terhapus

    "Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status