Share

Mila Dapat Balasan?

"Kamu bisa berpikir untuk menjaga hubungan semua orang, itu hal yang baik. Tapi aku aku tetap harus bicara pada Bapak. Ini tentang harga diri."

 

 

Itulah yang diucapkan Mas Dasep sesaat sebelum dia pergi.

 

 

*

 

 

Selesai salat magrib, aku kembali menjaga warung. Hatiku tak tenang karena Mas Dasep belum juga pulang dari rumah Bapak. 

 

 

Tak sengaja, aku menyentuh cincin pernikahan yang melingkar di jari manis. Cincin yang sudah kupakai selama delapan tahun. Meski dalam kondisi keuangan sulit pun, aku tak pernah berpikir untuk menjualnya. Karena, bagiku cincin ini sangat berharga dan menyimpan banyak kenangan. 

 

 

Pernikahanku dengan Mas Dasep terbilang bahagia, kami hampir tak punya masalah meski hidup pas-pasan dan masih mengontrak. Ujian rumahtanggaku hanyalah keluarga Mas Dasep. Terutama Ibu Mertua dan Mila.

 

 

Masih terngiang, ketika aku dan Mas Dasep terpaksa pergi dari rumah mertua. Ibu Mertua berkata bahwa dia tidak terima Mas Dasep mengontrak bersamaku. Ibu juga berkata bahwa dia tidak akan ikhlas melihat anak lelakinya itu hidup bahagia jika sampai kami berani keluar dari rumah Ibu.

 

 

Waktu itu, Mas Dasep sama sekali tak menggubris Ibu. Suamiku itu bilang, dia tidak takut karena tidak bersalah. Dia tak tega melihatku yang selalu jadi 'kambing hitamnya' Mila di sana. Jadi, Mas Dasep bertekad untuk mengontrak, dia bilang sudah kewajibannya memberikan tempat tinggal yang nyaman untukku.

 

 

Ibu memang berharap Mas Dasep tinggal bersamanya, karena dia anak lelaki satu-satunya.

 

 

Sudah berapa kali usaha Ibu Mertua untuk membuat Mas Dasep kembali ke rumah dan berbagai cara pun telah dilakukan. Diantaranya,  membuat kami tak bisa membayar kontrakan. Tapi, itu semua tak mempan. Hingga akhirnya Ibu menyerah dan terpaksa membiarkan kami tinggal di sini.

 

 

"Ibu habis panen padi, tapi Ibu tak akan membagi kalian jatah beras. Kalau kalian mau dapat jatah, kembalilah ke rumah Ibu!" kata Ibu pada saat itu.

 

 

Ketika Mas Dasep dipecat dari pekerjaannya, Ibu juga datang ke rumah dan berkata, "Murni, Dasep sudah lama menganggur. Kalian pasti gak punya uang untuk bayar kontrakan, kan? Kembalilah ke rumah, karena Ibu tak akan membantu kalian kalau masih tetap tinggal di sini!"

 

 

Dan pada saat Mas Dasep mendapatkan pekerjaan kembali sebagai buruh sablon, Ibu kembali datang padaku dengan kata-kata yang lebih menohok hatiku. "Murni, jangan ajak Dasep mengontrak lagi. Kembalikan dia ke rumah Ibu. Kamu mau ikut silakan, enggak juga gak apa-apa," katanya.

 

 

"Bukan aku yang mengajak hidup ngontrak, Bu. Tapi Mas Dasep sendiri yang menginginkannya. Silakan Ibu bicara sendiri padanya," jawabku pada waktu itu.

 

 

"Lambemu itu anyir, Murni. Menjawab terus omonganku!" 

 

 

Astaghfirulloh ...

 

 

Tak terasa kenangan itu terputar kembali dalam benakku. Luka lama yang seharusnya kulupakan dan tak kuingat-ingat lagi.

 

 

Gegas kuambil keresek berisi tiga puluh jagung berukuran besar pemberian Bapak Mertua. Aku baru ingat punya banyak jagung untuk dimanfaatkan.

 

 

Kuambil pembakaran dan arang dari belakang rumah, lalu mulai membakar jagung satu per-satu di depan warung. Malam ini aku berniat untuk menjual jagung bakar.

 

 

"Murni," panggil Pak RT. Dia sudah berada di depan warungku.

 

 

"Eh, ada Pak RT, rupanya," jawabku. "Mau belanja apa, Pak?"

 

 

"Tadi pas lewat mau ke pos ronda, saya nyium wangi jagung bakar dari warungmu. Ternyata kamu lagi bakar-bakar. Dijual gak Mur itu jagungnya? Kayaknya enak," kata Pak RT.

 

 

"Iya dijual, Pak." Tentu saja aku senang karena dapat pembeli.

 

 

"Bakar tujuh ya, saya mau bagi dengan anak istri di rumah dan bapak-bapak di pos ronda."

 

 

"Iya, Pak. Ngomong-ngomong, masih suasana magrib tapi sudah pada berangkat ngeronda, Pak? Kebetulan Mas Dasep juga jadwal ronda malam ini, tapi dia belum pulang," tanyaku.

 

 

"Sekarang mau rapat di pos ronda. Kalau ngerondanya nanti malam, Mur," jawab Pak RT seraya menyodorkan uang seratus ribu. "Nih uangnya."

 

 

Aku menerima dan mengembalikan sejumlah tiga puluh ribu. Jagung bakar ini kujual dengan harga sepuluh ribu rupiah per buah.

 

 

"Lho, ada kembaliannya. Kukira pas. Ya sudah, bikin tiga lagi aja jagung bakarnya, jadi pas seratus ribu," kata Pak RT saat aku memberikan uang kembalian.

 

 

Segera kubikinkan pesanan Pak RT. Tak lama kemudian, datang Bi Siti membeli obat nyamuk. Aku menawarkan jagung bakar padanya, bagiku kesempatan tak boleh dilewatkan.

 

 

"Bisa beli jagungnya juga, Bi. Mau mentahnya atau dibakar juga bisa," kataku.

 

 

"Dapat jagung dari mana, Mur?" tanyanya.

 

 

"Dari Bapak Mertua. Biasa, habis panen hasil kebun jadi bagi-bagi ke sini," jawabku.

 

 

Bi Siti mulai memilih jagung. "Tumben mertuamu ngasih bagian untukmu. Biasanya kan mereka gak peduli, terutama ibu mertuamu itu tuh," katanya.

 

 

Sebagai tetangga terdekat, Bi Siti memang sedikit tahu tentang permasalahan keluargaku. Sebenarnya bukan aku yang buka aib, tapi Ibu Mertua yang selalu 'curhat' pada tetangga-tetangga di sini. Jadi, mau tidak mau mereka mengetahuinya.

 

 

"Ya, namanya juga orangtua, Bi. Semarah apapun mereka ... mana bisa tega mengabaikan anaknya terlalu lama," jawabku.

 

 

"Kamu bener, Mur. Duh, heran saya sama ibu mertuamu itu, punya menantu baik kayak kamu tapi tetaappp saja suka dikeluhin ke tetangga-tetangga di sini. Memang ya, manusia itu tidak pernah merasa puas," respon Bi Siti, malah ngedumel. Lucu juga melihatnya jengkel sendiri.

 

 

"Begitulah, Bi. Mungkin bagi Ibu Mertua, aku ini masih banyak kekurangan. Kan namanya juga manusia, tidak ada yang sempurna," balasku. "Jadi, mau beli mentahnya apa yang dibakar?" lanjutku bertanya.

 

 

Bi Siti menyerahkan tiga buah jagung padaku. "Ini Mur, aku beli mentahnya aja biar besok subuh kurebus untuk sarapan anak-anak."

 

 

"Siap, Bi. Ini manis lho, jagungnya. Dan juga besar-besar. Semuanya jadi lima belas ribu ya, sama obat nyamuk jadi tujuh belas ribu, Bi," kataku seraya menyerahkan kembali jagung pesanannya yang sudah kubungkus kantung keresek. "Terimakasih ya."

 

 

Bi Siti memeberikan uang pas. "Sama-sama, Mur. Kamu pinter banget jualan. Duh, kalau saya jadi mertuamu ... pasti saya bangga punya menantu pinter cari duit kayak kamu," katanya sambil berlalu.

 

 

Kubereskan pesanan jagung bakar Pak RT dan  segera mengantarkan ke pos ronda.

 

 

Setelah kembali dari pos ronda, aku mendapati Mila tengah duduk di bangku depan warungku. Mungkinkah dia datang ke sini ingin memarahiku karena Mas Dasep mengadukan kelakuannya ke Bapak?

 

 

"Mila? Kamu ngapain di sini?" tanyaku hati-hati.

 

 

Mila menoleh, raut wajahnya tampak kesal. "Aku habis pulang arisan, Kak. Acaranya dari tadi siang sampai sekarang ini baru pulang," jawabnya ketus.

 

 

Pulang arisan? Berarti dia belum bertemu Bapak dan Mas Dasep.

 

 

"Terus?" lanjutku bertanya.

 

 

"Aku kesal sama ketua arisan! Masa aku menang dan uangnya udah mau dikasih ke aku, tapi malah ditarik lagi sama dia? Katanya aku gak jadi menang, karena dia tahu suamiku baru aja pulang dari luar kota. Jadi, uang itu malah dikasih ke peserta lain yang membutuhkan. Dia ngira aku banyak uang, Kak! Padahal kan aku pun bayar arisan dapet minjem dari Kakak!" jawabnya sambil cemberut.

 

 

Aku mengembus napas kasar. Syukurlah, dia sudah kena batunya. Kadang, ketika ada orang yang jahat sama kita, meski kita tak membalasnya, tapi selalu aja ada orang lain yang membalaskannya.

 

 

Aku duduk di samping Mila. "Kakak tahu kok gimana rasanya, soalnya tadi siang juga kan kamu memperlakukan Kakak seperti itu," kataku.

 

 

Mila langsung menatap sinis. "Ih, apaan sih," katanya kesal. Lalu pandangannya beralih ke pembakaran jagung bakar. "Itu pembakaran, kan?" tanyanya.

 

 

"Iya, Kakak jualan jagung bakar," jawabku.

 

 

Wajah Mila semakin menunjukkan rasa tak suka. "Pantesan dari tadi aku nyium wangi jagung bakar. Ternyata jagungnya dijual tho, padahal kan Bapak ngasih gratis. Enak banget dimodalin sama Bapak! Bapak yang keluar modal, eh malah Kakak yang dapat untung," katanya sinis. "Kak Murni licik juga, ya," lanjutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status