Share

Mila Dapat Balasan?

Author: Widanish
last update Last Updated: 2022-01-25 09:32:49

"Kamu bisa berpikir untuk menjaga hubungan semua orang, itu hal yang baik. Tapi aku aku tetap harus bicara pada Bapak. Ini tentang harga diri."

 

 

Itulah yang diucapkan Mas Dasep sesaat sebelum dia pergi.

 

 

*

 

 

Selesai salat magrib, aku kembali menjaga warung. Hatiku tak tenang karena Mas Dasep belum juga pulang dari rumah Bapak. 

 

 

Tak sengaja, aku menyentuh cincin pernikahan yang melingkar di jari manis. Cincin yang sudah kupakai selama delapan tahun. Meski dalam kondisi keuangan sulit pun, aku tak pernah berpikir untuk menjualnya. Karena, bagiku cincin ini sangat berharga dan menyimpan banyak kenangan. 

 

 

Pernikahanku dengan Mas Dasep terbilang bahagia, kami hampir tak punya masalah meski hidup pas-pasan dan masih mengontrak. Ujian rumahtanggaku hanyalah keluarga Mas Dasep. Terutama Ibu Mertua dan Mila.

 

 

Masih terngiang, ketika aku dan Mas Dasep terpaksa pergi dari rumah mertua. Ibu Mertua berkata bahwa dia tidak terima Mas Dasep mengontrak bersamaku. Ibu juga berkata bahwa dia tidak akan ikhlas melihat anak lelakinya itu hidup bahagia jika sampai kami berani keluar dari rumah Ibu.

 

 

Waktu itu, Mas Dasep sama sekali tak menggubris Ibu. Suamiku itu bilang, dia tidak takut karena tidak bersalah. Dia tak tega melihatku yang selalu jadi 'kambing hitamnya' Mila di sana. Jadi, Mas Dasep bertekad untuk mengontrak, dia bilang sudah kewajibannya memberikan tempat tinggal yang nyaman untukku.

 

 

Ibu memang berharap Mas Dasep tinggal bersamanya, karena dia anak lelaki satu-satunya.

 

 

Sudah berapa kali usaha Ibu Mertua untuk membuat Mas Dasep kembali ke rumah dan berbagai cara pun telah dilakukan. Diantaranya,  membuat kami tak bisa membayar kontrakan. Tapi, itu semua tak mempan. Hingga akhirnya Ibu menyerah dan terpaksa membiarkan kami tinggal di sini.

 

 

"Ibu habis panen padi, tapi Ibu tak akan membagi kalian jatah beras. Kalau kalian mau dapat jatah, kembalilah ke rumah Ibu!" kata Ibu pada saat itu.

 

 

Ketika Mas Dasep dipecat dari pekerjaannya, Ibu juga datang ke rumah dan berkata, "Murni, Dasep sudah lama menganggur. Kalian pasti gak punya uang untuk bayar kontrakan, kan? Kembalilah ke rumah, karena Ibu tak akan membantu kalian kalau masih tetap tinggal di sini!"

 

 

Dan pada saat Mas Dasep mendapatkan pekerjaan kembali sebagai buruh sablon, Ibu kembali datang padaku dengan kata-kata yang lebih menohok hatiku. "Murni, jangan ajak Dasep mengontrak lagi. Kembalikan dia ke rumah Ibu. Kamu mau ikut silakan, enggak juga gak apa-apa," katanya.

 

 

"Bukan aku yang mengajak hidup ngontrak, Bu. Tapi Mas Dasep sendiri yang menginginkannya. Silakan Ibu bicara sendiri padanya," jawabku pada waktu itu.

 

 

"Lambemu itu anyir, Murni. Menjawab terus omonganku!" 

 

 

Astaghfirulloh ...

 

 

Tak terasa kenangan itu terputar kembali dalam benakku. Luka lama yang seharusnya kulupakan dan tak kuingat-ingat lagi.

 

 

Gegas kuambil keresek berisi tiga puluh jagung berukuran besar pemberian Bapak Mertua. Aku baru ingat punya banyak jagung untuk dimanfaatkan.

 

 

Kuambil pembakaran dan arang dari belakang rumah, lalu mulai membakar jagung satu per-satu di depan warung. Malam ini aku berniat untuk menjual jagung bakar.

 

 

"Murni," panggil Pak RT. Dia sudah berada di depan warungku.

 

 

"Eh, ada Pak RT, rupanya," jawabku. "Mau belanja apa, Pak?"

 

 

"Tadi pas lewat mau ke pos ronda, saya nyium wangi jagung bakar dari warungmu. Ternyata kamu lagi bakar-bakar. Dijual gak Mur itu jagungnya? Kayaknya enak," kata Pak RT.

 

 

"Iya dijual, Pak." Tentu saja aku senang karena dapat pembeli.

 

 

"Bakar tujuh ya, saya mau bagi dengan anak istri di rumah dan bapak-bapak di pos ronda."

 

 

"Iya, Pak. Ngomong-ngomong, masih suasana magrib tapi sudah pada berangkat ngeronda, Pak? Kebetulan Mas Dasep juga jadwal ronda malam ini, tapi dia belum pulang," tanyaku.

 

 

"Sekarang mau rapat di pos ronda. Kalau ngerondanya nanti malam, Mur," jawab Pak RT seraya menyodorkan uang seratus ribu. "Nih uangnya."

 

 

Aku menerima dan mengembalikan sejumlah tiga puluh ribu. Jagung bakar ini kujual dengan harga sepuluh ribu rupiah per buah.

 

 

"Lho, ada kembaliannya. Kukira pas. Ya sudah, bikin tiga lagi aja jagung bakarnya, jadi pas seratus ribu," kata Pak RT saat aku memberikan uang kembalian.

 

 

Segera kubikinkan pesanan Pak RT. Tak lama kemudian, datang Bi Siti membeli obat nyamuk. Aku menawarkan jagung bakar padanya, bagiku kesempatan tak boleh dilewatkan.

 

 

"Bisa beli jagungnya juga, Bi. Mau mentahnya atau dibakar juga bisa," kataku.

 

 

"Dapat jagung dari mana, Mur?" tanyanya.

 

 

"Dari Bapak Mertua. Biasa, habis panen hasil kebun jadi bagi-bagi ke sini," jawabku.

 

 

Bi Siti mulai memilih jagung. "Tumben mertuamu ngasih bagian untukmu. Biasanya kan mereka gak peduli, terutama ibu mertuamu itu tuh," katanya.

 

 

Sebagai tetangga terdekat, Bi Siti memang sedikit tahu tentang permasalahan keluargaku. Sebenarnya bukan aku yang buka aib, tapi Ibu Mertua yang selalu 'curhat' pada tetangga-tetangga di sini. Jadi, mau tidak mau mereka mengetahuinya.

 

 

"Ya, namanya juga orangtua, Bi. Semarah apapun mereka ... mana bisa tega mengabaikan anaknya terlalu lama," jawabku.

 

 

"Kamu bener, Mur. Duh, heran saya sama ibu mertuamu itu, punya menantu baik kayak kamu tapi tetaappp saja suka dikeluhin ke tetangga-tetangga di sini. Memang ya, manusia itu tidak pernah merasa puas," respon Bi Siti, malah ngedumel. Lucu juga melihatnya jengkel sendiri.

 

 

"Begitulah, Bi. Mungkin bagi Ibu Mertua, aku ini masih banyak kekurangan. Kan namanya juga manusia, tidak ada yang sempurna," balasku. "Jadi, mau beli mentahnya apa yang dibakar?" lanjutku bertanya.

 

 

Bi Siti menyerahkan tiga buah jagung padaku. "Ini Mur, aku beli mentahnya aja biar besok subuh kurebus untuk sarapan anak-anak."

 

 

"Siap, Bi. Ini manis lho, jagungnya. Dan juga besar-besar. Semuanya jadi lima belas ribu ya, sama obat nyamuk jadi tujuh belas ribu, Bi," kataku seraya menyerahkan kembali jagung pesanannya yang sudah kubungkus kantung keresek. "Terimakasih ya."

 

 

Bi Siti memeberikan uang pas. "Sama-sama, Mur. Kamu pinter banget jualan. Duh, kalau saya jadi mertuamu ... pasti saya bangga punya menantu pinter cari duit kayak kamu," katanya sambil berlalu.

 

 

Kubereskan pesanan jagung bakar Pak RT dan  segera mengantarkan ke pos ronda.

 

 

Setelah kembali dari pos ronda, aku mendapati Mila tengah duduk di bangku depan warungku. Mungkinkah dia datang ke sini ingin memarahiku karena Mas Dasep mengadukan kelakuannya ke Bapak?

 

 

"Mila? Kamu ngapain di sini?" tanyaku hati-hati.

 

 

Mila menoleh, raut wajahnya tampak kesal. "Aku habis pulang arisan, Kak. Acaranya dari tadi siang sampai sekarang ini baru pulang," jawabnya ketus.

 

 

Pulang arisan? Berarti dia belum bertemu Bapak dan Mas Dasep.

 

 

"Terus?" lanjutku bertanya.

 

 

"Aku kesal sama ketua arisan! Masa aku menang dan uangnya udah mau dikasih ke aku, tapi malah ditarik lagi sama dia? Katanya aku gak jadi menang, karena dia tahu suamiku baru aja pulang dari luar kota. Jadi, uang itu malah dikasih ke peserta lain yang membutuhkan. Dia ngira aku banyak uang, Kak! Padahal kan aku pun bayar arisan dapet minjem dari Kakak!" jawabnya sambil cemberut.

 

 

Aku mengembus napas kasar. Syukurlah, dia sudah kena batunya. Kadang, ketika ada orang yang jahat sama kita, meski kita tak membalasnya, tapi selalu aja ada orang lain yang membalaskannya.

 

 

Aku duduk di samping Mila. "Kakak tahu kok gimana rasanya, soalnya tadi siang juga kan kamu memperlakukan Kakak seperti itu," kataku.

 

 

Mila langsung menatap sinis. "Ih, apaan sih," katanya kesal. Lalu pandangannya beralih ke pembakaran jagung bakar. "Itu pembakaran, kan?" tanyanya.

 

 

"Iya, Kakak jualan jagung bakar," jawabku.

 

 

Wajah Mila semakin menunjukkan rasa tak suka. "Pantesan dari tadi aku nyium wangi jagung bakar. Ternyata jagungnya dijual tho, padahal kan Bapak ngasih gratis. Enak banget dimodalin sama Bapak! Bapak yang keluar modal, eh malah Kakak yang dapat untung," katanya sinis. "Kak Murni licik juga, ya," lanjutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status