Aku terbangun ketika Dewangga hendak berangkat kerja. Ia pamit seraya memberikan sebuah kecupan lembut di dahi. Aku hanya menggeliat pelan, lalu mengangguk dan bangkit untuk duduk dengan mata yang masih terasa enggan untuk terbuka. Entah sampai jam berapa tadi malam kami menghabiskan waktu untuk bercinta. Yang pasti aku merasa begitu lelah dan mengantuk pagi ini.“Aku akan kembali untuk makan siang nanti.” Dewangga berpesan, lalu beranjak pergi keluar dari kamar.Sedikit sulit karena kini aku tidak lagi dibekali alat komunikasi. Namun, cukup membantu karena tidak ada lagi pesan atau panggilan yang mengganggu dari Dewangga. Aku jadi lebih bisa sedikit bersantai.Setelah pintu tertutup dengan rapat, aku kembali rebahan. Hendak melanjutkan tidur yang sempat terjeda. Namun, mata mendadak enggan untuk diajak bekerja sama.Aku bangkit dari ranjang. Meregangkan otot-otot yang terasa begitu tegang. Terlebih leher yang terasa sakit saat menoleh ke kanan. Juga kepala yang pusing karena tadi mal
Dewangga pulang untuk makan siang, sesuai dengan pesannya sebelum berangkat kerja tadi pagi. Semua hidangan sudah tersedia di meja makan saat ia kembali. Sebuah senyum tersimpul dengan manis di bibirnya. Ia membawa bucket bunga saat ia berjalan mendekat padaku.Aku tersenyum, membalas senyum itu dengan malas. Menerima bunga yang ia sodorkan, lalu memberikan sebuah kecupan. Hari ini Dewangga benar-benar terlihat sedikit manis dari biasanya.Kami makan siang berdua, tidak ada obrolan penting sama sekali. Kami bahkan lebih banyak diam. Sesekali saling melempar senyum saat tanpa sengaja sorot mata saling beradu.“Sebaiknya Ruri kasih waktu buat istirahat. Setidaknya sampai lukanya mengering.” Aku berucap memecah keheningan yang tercipta.Dewangga menarik napas dengan kasar. “Pekerjaannya tidak ada yang berat. Tugasnya hanya mengawasi rumah, jadi tidak perlu kau hiraukan lukanya.” Ia memberikan jawaban dengan acuh tak acuh.Aku terdiam dengan helaan napas berat. Jika ia sudah berkata tidak
Dewangga memegang ucapannya. Ia selalu pulang tepat waktu untuk makan siang bersama di rumah. Memastikan bahwa aku telah meminum pil yang ia beli sebelumnya, tapi telah diganti oleh Dokter Roni ketika Ruri membawanya ke rumah sakit.Aku tidak lagi takut ketika menelannya, sebab sudah dipastikan jika itu bukan obat penghambat untuk hamil, tapi obat untuk menyuburkan rahim. Dewangga tampak senang akan hal itu. Ia jadi tidak khawatir untuk melakukan pelepasan di dalam ketika kami tengah bercinta. Sebab berpikir bahwa itu tidak akan memberikan efek apa-apa.Meskipun fantasinya semakin lama semakin aneh, aku masih bisa mengimbangi. Walaupun besoknya aku jadi tidak bisa keluar kamar karena merasa sakit di sekujur badan. Namun, semakin lama aku mulai terbiasa dan menikmati setiap permainannya.Seperti sore ini, ada sebuah paket yang datang atas nama Nasya. Aku tahu jika paket itu pemberian Dewangga. Sebab, ia telah berpesan sebelum berangkat kerja tadi pagi.Aku membuka kotak paket dengan dad
“Sakitnya parah, Dok?” Dewangga kembali bertanya karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Apalagi semuanya memasang wajah panik. Lelaki itu menjadi semakin panik.“Biarkan dia istirahat yang cukup selama beberapa hari ini.” Dokter akhirnya memberikan jawaban.“Istri saya sakit apa?” Ia tetap ngotot meminta jawaban.Aku menatap Ruri, berkomunikasi lewat sorot mata. Bernegosiasi agar aku memberitahu Dewangga kenyataan yang sebenarnya. Namun, ia langsung menggeleng dengan pelan.“Nyonya Nasya hanya masuk angin dan kelelahan.” Ruri yang memberikan jawaban pada akhirnya. Ia tetap memilih untuk memberikan kebohongan.Aku terdiam, menghela napas dengan kasar. Merasa jika saran Ruri ada benarnya juga. Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Dewangga masalah kehamilan. Bulan depan ia telah berjanji ingin mengadakan pesta di rumah. Sebagai acara perayaan satu tahun pernikahan kami. Beberapa hari ini ia telah sibuk ingin memilih gaun apa yang akan kupakai nanti. Barangkali aku bis
“Tangan pria diciptakan untuk melindungi wanita, bukan untuk menyakitinya.” Seorang lelaki yang cukup familiar berucap seraya meremas tangan pria itu.“Jangan ikut campur, urus saja urusanmu!”“Jelas ini urusanku ketika melihat yang kuat menindas yang lemah.”“Lepas atau kau akan menyesal?!”“Kau akan melakukan apa?” Lelaki itu bertanya, menantang.Aku menghela napas lega, bersyukur karena ternyata masih ada orang baik yang peduli terhadap orang yang tidak dikenal.Pria itu berdecak, mengempaskan tangan hingga cekalan lelaki itu terlepas, lalu beranjak pergi dengan raut wajah kesal.“Kau tidak apa-apa?” Lelaki yang telah menolongku itu bertanya seraya tersenyum.Aku menggeleng pelan dengan tangan kanan berada di perut. Sebab baru mulai merasakan efeknya sekarang. Merasa sakit di bagian bawah perut.“Apa kita sebelumnya pernah bertemu? Sepertinya aku mengenalimu.” Aku bertanya memastikan. Sebab, wajahnya tampak begitu familiar.Lelaki itu tertawa tipis.“Kau lupa padaku? Kita pernah be
Tatapan tajam Dewangga langsung menyambut saat aku mendatangi dirinya yang tengah menunggu di ruang belakang. Sorot itu terlihat begitu nyalang. Seakan ada amarah yang tengah tertahan. Terbukti dengan wajahnya yang terlihat begitu memerah.“Dari mana kamu?” Nada suaranya terdengar penuh amarah.“Dari rumah sakit.” Aku berusaha untuk menjawab sesantai mungkin. Berusaha untuk menyembunyikan rasa takut. Sebab, ia akan semakin merasa berkuasa jika aku menunjukkan rasa takutku di hadapan wajahnya.“Apa buktinya?” Ia menyorot penuh curiga.Aku menarik napas dalam.“Aku cuma ke rumah sakit. Kenapa kau menatapku seakan aku habis berselingkuh?” Aku membalas dengan nada tidak bersahabat.“Tunjukkan buktinya jika kau dari rumah sakit. Untuk apa kau ke rumah sakit? Siapa nama dokter yang memeriksamu? Apa kau sakit?” Ia langsung mencecarku dengan banyak pertanyaan.Lagi, aku menghela napas dalam“Aku sedang tidak ingin berdebat.” Aku berucap dengan tegas, hendak berlalu begitu saja. Namun, langkah
“Huek!” Rasa mual itu tidak bisa kusembunyikan setiap mencium aroma makanan. Aku lekas bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Memuntahkan makanan yang baru tertelan beberapa suap.Terdengar ketukan dan gedoran dari luar. Dewangga memanggil dengan kepanikan.Aku merasa begitu lemas setiap kali habis makan. Apa yang masuk, pasti akan langsung dikeluarkan saat itu juga. Jika terus seperti ini, tidak akan ada nutrisi yang terserap oleh tubuh.“Sayang!” Dewangga terus memanggil dengan nada khawatir. Ia tidak berhenti mengetuk pintu hingga aku menjawab panggilannya.Aku keluar kamar mandi setelah mencuci muka dan berkumur-kumur. Menatap Dewangga dengan tidak semangat setelah membuka pintu.“Ayo ke rumah sakit, pasti ada penyakit serius.” Dewangga berucap setengah memaksa.Aku langsung menggeleng. Sebab, tidak ingin ia tahu kenyataan yang sebenarnya . Terlebih ia telah memberikan ancaman bahwa akan mengangkat rahimku jika ketahuan aku tengah hamil.“Mungkin asam lambungku yang naik. Akhir-a
Hari ini ada satu tambahan pekerja yang direkrut langsung oleh Dewangga. Sebagai antisipasi jika ada pelanggan yang berbuat mesum seperti kemarin, ia mempekerjakan seorang pria. Aku tahu, dia sebenarnya peduli. Hanya saja semua kebaikan yang ia tunjukkan tidak ada gunanya selama ia masih suka main tangan.Awalnya hanya kasar ketika tengah di ranjang. Namun, makin ke sini sikap kasarnya tidak lagi mengenal tempat. Ia bersikap sesuka hati, sebab bisa dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Posisinya di kantor sangat berpengaruh. Terlebih perusahaan milik ibunya akan jatuh ke tangannya dalam waktu dekat. Kekuasaannya semakin meningkat.“Aku akan mengawasimu dari kantor. Ruangan kerja sudah kuminta pindah agar berada dekat jendela yang mengarah ke sini. Jadi kau tidak perlu khawatir jika ada pengganggu seperti kemarin.” Dewangga berucap dengan lembut.Aku mengangguk seraya menyunggingkan senyum.Bibir dan hidung masih terasa nyeri ketika berbicara karena hantamannya semalam. Bekas