“Apa maksudmu?” tanya Christian sambil memicingkan mata. Tatapannya terfokus pada wanita cantik yang memiliki kemiripan identik dengan Laura.
Emma tersenyum, seraya beranjak dari duduk. Dia mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang membuatnya tertarik. “Siapa wanita muda itu?” tanya saudara kembar Laura tersebut.
Christian ikut mengarahkan pandangan pada foto keluarga yang terpajang di dinding. Dia tahu siapa yang Emma maksud. Pria tampan itu kembali mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar. “Memangnya kenapa?” Pengusaha tampan itu balik bertanya.
“Jawab saja,” sahut Emma enteng. “Aku pernah menemukan fotonya di kamar Laura. Kupikir, mereka adalah sahabat dekat,” terang wanita muda itu. Membuat Christian seketika memasang ekspresi serius. “Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa pun yang berkaitan dengan saudara kembarku. Namun, kurasa dia sangat beruntung karena dipersunting pria sepertimu.”
Christian menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Emma. Akan tetapi, dia tak menanggapi.
“Laura memang pandai memikat para pria. Itu sudah menjadi bakatnya sejak dulu. Aku bahkan kerap merasa iri karena dia selalu berada jauh di depanku,” tutur Emma sambil melangkah ke dekat pintu keluar. “Kau tahu apa yang membuatku sakit hati?” Si pemilik rambut pirang itu kembali menoleh pada Christian yang masih duduk penuh wibawa. “Lihatlah seberapa besar ayah mengkhawatirkannya.” Emma menggeleng tak percaya. Setelah berkata demikian, saudara kembar Laura tersebut bergegas menyusul James, yang sudah lebih dulu berlalu dari sana.
Sepeninggal James dan Emma, Christian termenung sendiri di ruang kerja, sambil memandangi paras cantik Maria yang telah meninggalkannya. Sesaat kemudian, perhatian pengusaha muda dengan kemeja putih itu beralih pada beberapa dokumen di meja. Dia belum menyelesaikan sisa pekerjaan, yaitu memeriksa laporan perusahaan, Namun, konsentrasi Christian sudah terbagi setelah kedatangan James dan Emma. Terlebih, setelah apa yang saudara iparnya itu katakan tentang Laura.
Christian beranjak dari kursi. Dia berjalan keluar. Langkahnya terlihat sangat gagah dan penuh rasa percaya diri saat menyusuri koridor menuju kamar.
Setibanya di sana, Christian langsung masuk ke walk in closet. Dia mengambil trench coat hitam dari salah satu lemari kaca tempat menyimpan koleksi blazer, jaket serta mantel. Christian keluar lagi dari kamar itu. Kali ini, dia menuju ruang depan.
“Apa Anda akan pergi, Tuan?” tanya Alfred, yang melihat sang majikan menuju pintu.
Christian tertegun, lalu menoleh. “Ya. Aku akan ke Cotswolds sebentar,” jawabnya datar.
“Apa perlu kutemani, Tuan?” tawar Alfred sopan.
“Tidak usah, Alfred. Kau di sini saja,” tolak Christian. “Beritahu Delila bahwa aku akan ke sana,” titahnya sambil mengenakan kacamata hitam, lalu berbalik.
“Baik, Tuan,” sahut Alfred hormat, meskipun Christian sudah berlalu dari hadapannya.
Sementara itu, Laura mulai membiasakan diri tinggal bersama Delila. Walaupun dia merupakan istri sah Christian, tetapi Laura tak sungkan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Wanita muda itu sudah terbiasa menyiapkan makanan atau sekadar membersihkan rumah.
Selain melakukan pekerjaan rumah tangga, Laura juga membantu Delila menanam beberapa bunga dan tanaman lain di pekarangan. Dia mulai menikmati aktivitasnya, meskipun rasa rindu terhadap James tak pernah bisa ditepiskan, oleh segudang kesibukan mengasyikan yang dijalani di sana.
“Pekerjaan sekecil apa pun membutuhkan bakat, Nyonya. Anda memiliki tangan yang sangat terampil,” sanjung Delila, sambil memangkas beberapa tanaman yang dirasa mengganggu.
“Aku suka melakukan segala jenis pekerjaan, Delila. Setelah lulus dari universitas, aku pernah bekerja di perusahaan milik ayahku. Tak lama, aku diterima di salah satu rumah mode ternama Inggris,” tutur Laura diakhiri senyum. “Aku bekerja di sana hingga ayah mengatakan bahwa aku harus menikah dengan Christian Lynch. Pria itu belum pernah kutemui sama sekali. Emma bahkan mengatakan banyak hal buruk tentang Christian. Padahal, dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa aslinya.” Senyum di wajah Laura perlahan memudar.
Delila yang tengah memangkas tanaman, menghentikan sejenak pekerjaannya. Wanita paruh baya itu menoleh. Dia menatap lekat Laura yang tengah asyik dengan beberapa bunga. “Emma? Siapa dia?” tanya istri Alfred tersebut penasaran.
“Emma adalah saudara kembarku. Kami kembar identik. Kau tak akan bisa membedakan yang mana Laura dan yang mana Emma dalam pertemuan pertama. Aku yakin itu.” Laura berdiri, setelah mendapat beberapa tangkai bunga yang akan dirangkai dalam vas.
“Jadi, Anda memiliki saudara kembar?” Delila terdengar ragu.
“Ya. Semoga kau bisa berkenalan secara langsung dengannya.” Laura tersenyum manis. “Aku masuk dulu. Aku sudah tidak sabar untuk merangkai bunga-bunga cantik ini. Akan kupajang di meja makan. Sebagian lagi kusimpan di kamarku.” Setelah berkata demikian, Laura berbalik menuju rumah dengan diiringi tatapan Delila.
Sementara itu, Christian sedang berada di perjalanan. Dia duduk di jok belakang seorang diri. Sesekali dirinya membuka ponsel untuk membalas pesan dari Chelsea.
[Bila kau pergi ke Cotswolds hari ini, artinya besok kau bisa menemaniku ke acara reuni]
Christian mengembuskan napas pelan, setelah membaca pesan dari sang kekasih. Sebenarnya, dia malas harus menghadiri acara-acara seperti itu.
[Kita lihat saja besok. Semoga bisa]
[Ayolah, Sayang. Kumohon]
Christian hendak membalas pesan dari Chelsea. Namun, kendaraan yang dia tumpangi telah tiba di tempat tujuan. Dia mengurungkan niat tersebut. Pria itu langsung turun dari SUV mewahnya, tanpa menunggu Wayne membukakan pintu.
Christian melangkah gagah melewati halaman, lalu berdiri di depan pintu. Tak berselang lama, Delila datang menyambutnya.
“Kukira Anda akan datang besok,” ucap Delila, setelah mempersilakan Christian masuk.
“Aku berubah pikiran,” balas Christian datar. “Di mana Laura?” tanyanya.
“Nyonya ada di kamarnya, Tuan.”
Tanpa banyak bicara, Christian langsung naik ke lantai dua. Dia melangkah sedikit terburu-buru. Pria itu bahkan belum sempat melepas trench coat yang dikenakannya.
Christian berdiri sejenak di depan kamar yang ditempati Laura, sebelum memutuskan langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Setelah berada di dalam, pria tampan itu mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Namun, sosok sang istri tidak ada di sana.
Christian memutuskan keluar dari kamar. Akan tetapi, langkahnya terhenti di dekat pintu, ketika mendengar suara lembut Laura.
“Kau?” Laura begitu terkejut, mendapati sang suami ada di sana. Dia menatap pria itu dengan sorot tak dapat diartikan. Rona cemas dan takut pun terpancar jelas dari paras cantiknya, saat Christian menoleh dan menatap lekat.
Di sisi lain, Christian berdiri terpaku memandang Laura yang hanya menutupi tubuh dengan selembar handuk sebatas dada.
Pundak, paha, serta kaki jenjang berbalut kulit putih mulusnya terekspos sempurna.
Tatapannya tertuju pada bulir air yang menetes dari anak rambut Laura. Sesaat kemudian, perhatian pria itu juga beralih pada bibir sang istri yang tampak lembap.'Apa wanita ini berniat menggodaku?'
“Sedang apa kau di sini?” tanya Laura seraya bergerak mundur perlahan, sambil memegangi gulungan handuk di dada.Sementara Christian justru terus maju. Tatapan serta bahasa tubuh pria tampan tersebut menunjukkan bahwa dialah sang penguasa, yang dapat mengintimidasi siapa pun lawannya. Christian terus menggiring Laura mundur, hingga punggung wanita itu menyentuh dinding.Laura yang hanya memakai handuk sebatas dada, terlihat was-was. Tangannya makin kencang memegangi gulungan handuk agar tidak terlepas. “Mundur, Christian.” Suara Laura terdengar pelan, tetapi penuh penekanan. Dia tidak akan membiarkan pria itu berbuat tak sopan lagi seperti kemarin-kemarin.Namun, Christian tak menerima perintah dari siapa pun. Pria tampan berambut gelap tadi tidak menggubris ucapan Laura. Pengusah
Christian menatap Laura dengan sorot tak bersahabat sama sekali. Namun, raut wajah pria tampan tersebut sudah tak terlalu tegang seperti tadi.“Tunggu sebentar. Aku harus berpakaian dulu.” Laura yang awalnya berdiri sambil menghadap pada Christian, segera membalikkan badan. Wanita muda dengan rambut yang digulung asal-asalan menggunakan jepitan plastik tersebut membuka lemari. Dia memilih baju tanpa berlama-lama, kemudian berjalan menuju pintu kamar mandi.“Mau ke mana?” tanya Christian dingin.Laura tertegun. “Aku harus berpakaian,” jawabnya tanpa menoleh.“Kenapa tidak di sini saja?”“Christian ….” Laura menoleh. Dia hendak mela
“Christian.” Suara Laura terdengar begitu lirih, saat menyebutkan nama pria yang telah menjadi suaminya. Seseorang yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi ancaman terbesar bagi wanita muda itu. “Kau sudah dibutakan oleh dendam sehingga tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Harus bagaimana lagi caraku menjelaskan ini padamu?” “Aku tak membutuhkan penjelasan apa pun darimu!” sentak Christian, sambil memukul pintu tepat di dekat kepala Laura. Wanita berambut pirang itu bahkan sampai tersentak dan memejamkan mata, akibat rasa terkejut yang luar biasa. “Kau tidak perlu menjelaskan apa pun lagi padaku!” Nada bicara Christian belum melunak. Dia seperti hendak menelan Laura hidup-hidup. “Dendammu salah sasaran, Christian.” Laura tetap membantah, meskipun suaranya mulai bergetar karena menahan tangis. “Tidak ada yang salah, Laura! Kau! Kau satu-satunya yang wajib dipersalahkan dalam hal ini! Kau harus mempertanggungjawabkan semua kekacauan yang sudah terjadi!” Christian me
Emma berdiri di depan pintu unit apartemen milik Jamie. Wanita muda berambut pirang itu memasang raut tegang, hingga sang pemilik tempat yang didatanginya mempersilakan masuk. Walaupun agak ragu saat melangkah ke dalam ruangan dengan desain modern minimalis itu, tetapi Emma berusaha terlihat tenang.“Apa kau ingin minum sesuatu?” tawar Jamie, seraya berjalan ke dekat lemari khusus tempat menyimpan minuman beralkohol.“Tidak usah. Aku tidak lama,” tolak Emma segera.“Kupikir tidak begitu,” ujar Jamie tenang. Dia tetap mengambil sebotol anggur, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas yang langsung dibawa ke hadapan Emma. Jamie memberikan satu pada saudara kembar Laura tersebut. “Bersantailah dulu,” ujarnya kalem. Pria tampan bermata abu-abu itu mengarahkan tang
“Ada apa denganmu? Kenapa kau … astaga. Kau ….” Emma tak dapat berkata-kata, mendapati pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya dalam kondisi seperti itu.Namun, pria yang tak lain adalah Henry, seperti tak mau ambil pusing. Dia terlihat sangat lahap, saat kembali menyantap sisa makanannya. Henry tak memedulikan keberadaan Emma, yang masih berdiri sambil memperhatikan dengan ekspresi tak percaya.“Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar Henry Thompson,” ucap Emma yang terus berusaha meyakinkan diri. “Apa-apaan ini?” Nada bicara wanita muda itu terdengar cukup tegas dan penuh penekanan.Sementara Henry yang tengah menikmati sisa sandwichnya, terpaksa kembali mendongak. “Apa masalahmu, Nona Pearson?” tanyanya sinis.
SUV milik Christian sudah tiba di kawasan pemukiman yang dihuni oleh Delila. Dia sengaja menyuruh sang sopir, agar berhenti tidak di depan rumah yang menjadi tempat dirinya mengurung Laura. Kendaraan itu diparkir beberapa meter dari rumah tersebut.Christian berjalan menyusuri pinggiran jalan beraspal. Dia terlihat sangat gagah dengan kemeja putih, yang dilipat bagian lengannya hingga tiga per empat. Berhubung hari masih siang, Christian meninggalkan trench coat miliknya di mobil. Setelah tiba di depan halaman rumah, sang pemilik Lynch Company tersebut menghentikan langkah.Tatapan Christian tertuju pada Laura, yang tengah duduk dekat jendela sambil membaca buku. Sesekali, wanit
Christian menatap heran sang sopir pribadi. “Masalah?” ulangnya tak mengerti.“Ya, Tuan. Sejak kemarin memang ada sedikit masalah dengan mobil Anda. Tadinya, hari ini aku akan melakukan pengecekan ulang. Namun, Anda mengajak kemari. Jadi ….”“Di mana mobilku sekarang?” sela Christian.“Aku sudah menghubungi mekanik dari tempat langganan Anda. Mereka sedang memeriksa kondisi mobil di tempat tadi, Tuan. Apa Anda ingin melihat ke sana?” tawar Wayne seraya menyodorkan trench coat milik sang majikan.Christian menerima mantel berwarna hitam itu sambil berdecak pelan. Tanpa memberikan jawaban, pengusaha muda tersebut langsung beranjak keluar dari rumah. Dia melangkah gagah menuju ke tempat
Pertautan terus berlangsung hingga beberapa saat. Laura yang awalnya kaku ketika mendapat perlakuan seperti itu dari Christian, makin lama makin luwes dan mulai menikmati setiap lumatan sang suami. Dia bahkan berani melingkarkan tangannya di pinggang pria tampan tersebut.Sejurus kemudian, Christian menghentikan sejenak ciumannya. Dia membuka mata, lalu menatap Laura yang masih terpejam. Seperti kecanduan, pengusaha muda itu kembali menikmati bibir sang istri yang basah terkena air dari shower. Christian bahkan menjamah beberapa bagian tubuh yang menjadi kesukaannya, setiap kali bermesraan dengan Chelsea.Chelsea?Seketika, Christian tersadar. Entah apa yang telah memengaruhi pikirannya sehingga bisa terlarut dalam suasana seperti itu. Dia yang sudah menegaskan pada Chelsea bahwa tak akan pernah te