Firli menangis saat melihat perempuan yang berada di dalam pelukan suaminya adalah perempuan yang sama dengan tamu yang mendatanginya beberapa hari yang lalu untuk memberikannya dua pilihan yaitu cerai atau menerima perempuan itu sebagai istri kedua dari suaminya, Varel Memilih menepi setelah kejadian itu Firli pergi dengan membawa bayi dalam kandungannya yang baru berusia delapan Minggu Dan benar saja setelah kepergian Firli hidup Varel mulai limbung tekanan dari kedua orang tuanya dan ipar tak sanggup Varel tangani apalagi saat tahu istrinya pergi dengan bayi yang selama 2 tahun ini selalu menjadi doa utamanya Bagaimana Denganku?!
View MoreHujan baru saja reda di Jakarta, menyisakan aroma petrichor yang merayap naik bahkan menembus lipatan tembok yang berlapis di ruang tamu sebuah rumah mewah yang baru saja ditempati selama hampir dua tahun.
Firli, ratu di rumah tersebut kini menatap tamu yang tak dia undang, dengan hati yang tak tenang. Dia tak menyukai perempuan di hadapannya, setidaknya, begitulah yang ia yakini hingga lima menit yang lalu. Firli memegang cangkir porselen berisi teh kamomil yang panasnya mulai turun itu hingga terasa bergetar. Ia kemudian meletakkannya di atas meja kopi marmer sebelum jemarinya yang gemetar tak membuatnya jatuh. “Jadi ….” Tiara memulai lagi, suaranya yang halus Namun penuh racun kini mulai lagi memecah keheningan. Ia menyilangkan kakinya yang dibungkus dengan rok panjang lebar, gerakannya terlihat penuh perhitungan. "Aku rasa kamu sudah mengerti posisi ku saat ini, Firli," sambungnya dengan dagu terangkat, penuh kesombongan. Firli menelan ludah. Kopi yang baru saja dia minum seperti hanya melewati kerongkongannya yang terasa sekering gurun pasir. Perempuan cantik itu tersenyum, walau terlihat kebingungan di wajahnya, seperti sedang mencoba mencari kata kata yang pas, menarik napas yang terasa berat dan menyakitkan. "Anda ternyata tidak sesederhana ucapan yang anda lontarkan. Saya yakin Anda pasti salah Alamat. Saya percaya suami saya, dia tidak mungkin ...." "Tidak mungkin apa?" potong Tiara, di iringi tawa kecil mengejek, yang terdengar seperti denting kaca yang retak. "Tidak mungkin punya kekasih masa kecil, bahkan sebelum ia bertemu denganmu? Tidak mungkin menghabiskan tiga malam dalam seminggu di rumahku? Tidak mungkin menjanjikan posisi Nyonya Arya Dharma yang sesungguhnya padaku? Itukan maksudmu tadi?!" Tiara kembali menarik sudut bibirnya, pandangan, kedua matanya seolah habis menelan Firli dari atas ke bawah. Setiap pertanyaan yang keluar dari mulut Tiara terasa seperti belati kecil nan tajam yang menghunjam langsung ke jantung Firli. Saat perempuan di hadapannya mengatakan lima tahun, sedangkan mereka baru menikah selama dua tahun. Matematika sederhana itu membuat kepalanya seketika bodoh. Terlihat sangat ironi, seluruh hidupnya selama dua tahun ini terasa seperti fatamorgana yang indah. Selama ini pernikahan yang ia kira di bangun di atas cinta, ternyata hanya sebuah anomali dalam cerita cinta orang lain. "Tidak …! Ini tidak mungkin!!” Terlihat ragu, Firli menggelengkan kepalanya berulang kali, kedua tangannya saling meremas, tanpa dia sadari. “Varel mencintaiku," bisik Firli, sesaat kemudian, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri dari pada untuk membantah Tiara. Tiara tersenyum, senyum yang tidak diketahui artinya, bahkan tampak seperti seringai yang menakutkan. "Tentu saja dia mencintaimu ….” Firli seketika mendongakkan kepala, mendengar apa yang di katakana oleh tamunya itu. “Mungkin … dia mencintai dengan caranya sendiri. Aku akui kalau kamu adalah istri yang sempurna. Lembut, penurut, pandai menjaga citra keluarga. Kamu adalah pelabuhan yang tenang. Tapi …-“ “Firli …, jangan terlalu naif, kamu harus tahu, bahkan seorang pilot terhebat pun sesekali butuh badai untuk membuatnya merasa hidup. Dan saat ini .... akulah badai itu." Dengan senyum yang terlihat sangat tipis itu, Tiara mencondongkan tubuhnya ke depan. Tatapan kedua mata yang di lindungi oleh contactlens berwarna coklat itu, intens, seolah ingin mengupas setiap lapisan pertahanan diri Firli hingga ke terasa ke tulang. "Dengar … saya datang ke sini bukan untuk berdebat tentang perasaan. Ini tentang logika. Tentang masa depan. Varel adalah CEO dari PT D'Angkasa. Posisi itu menuntut citra yang solid. Sebuah perceraian akan menjadi skandal yang merusak. Tapi di sisi lain, keluarga saya tidak akan selamanya menerima status saya yang kata orang hanya menjadi simpanan ….-" Tiara seperti sengaja tak melanjutkan ucapannya, wajah itu kini tak lagi datar, ada emosi yang tersimpan mulai tak rapi letaknya. Jantung Firli berdebar begitu kencang, rasanya seperti akan meledak dari rongga dada. Tanpa sengaja ia menatap nanar pada foto pernikahan mereka yang terpajang anggun di atas perapian elektrik. Varel yang gagah dalam setelan tuksedo, memeluknya dengan senyum yang dulu ia yakini hanya untuknya. Namun kini senyum itu tampak seperti sembilu yang dengan teganya menghujam jantungnya dengan kejam. "A -pa ... apa mau Anda?" tanya Firli akhirnya, setelah dengan susah payah mengumpulkan kembali asa yang terberai tadi, walau suara nyaris tak terdengar. Tanpa Firli tahu, ada senyum puas di wajah Tiara yang dia tunjukkan tanpa rasa malu. “Di sinilah momen itu tiba,” ujarnya tanpa bersuara. Tiara merasa di atas angin, saatnya kini dia menunjukkan kekuasaan penuh yang ia genggam. “Aku tahu kamu pasti sudah menuduhku sebagai perebut laki orang, tapi aku tidak sejahat itu … aku datang untuk menawarkan solusi," ujar Tiara, nadanya berubah menjadi lebih formal, seolah sedang mempresentasikan sebuah proposal bisnis. "Aku yakin solusi ini nantinya akan menguntungkan semua pihak. Varel tidak perlu kehilangan citranya, aku pasti mendapatkan status yang aku dan keluargaku inginkan, dan kamu... yaaa, kamu tetap bisa menjadi Nyonya Varel Arya Dharma." Firli mengerutkan kening, kedua matanya menyipit, sepertinya perempuan ini sedang menerka nerka hingga terlihat jelas di wajahnya, seolah ada kabut kebingungan menyelimuti otaknya yang sudah terasa penuh. Sesaat kemudian Tiara mulai menegakkan punggungnya, dengan kedua mata menatap lurus ke mata Firli, seperti sedang menyiapkan pukulannya yang terakhir. "Pilihannya ada di tanganmu, Firli. Kamu punya dua opsi. Pertama, ceraikan Varel dan berikan aku jalan untuk menjadi satu-satunya istrinya. Tentu saja … dengan kompensasi yang sangat layak yang aku akan atur untukmu." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata 'kompensasi' terasa seperti sebuah hinaan, melengkapi Ultimatum yang sudah meluncur dari bibirnya dengan dingin dan presisi yang mematikan. "Atau opsi kedua," lanjutnya, matanya berkilat penuh kemenangan. "Terima kenyataan ini. Mari kita berdamai, kamu harus terima saya sebagai istri kedua, mudah bukan?!." Dengan wajah datar, Firli merasa dunianya kini berhenti berputar. Udara di dalam paru-parunya terasa tiba tiba tersedot habis. Istri kedua?! Sebuah konsep yang hanya pernah ia dengar dari berita atau sinetron drama, kini di tawarkan kepadanya seperti pilihan menu di restoran. Kehormatan dan harga dirinya seolah diinjak-injak di atas karpet Persia yang mahal itu. Ia menatap Tiara, wanita yang dengan percaya diri datang untuk mengklaim separuh atau mungkin seluruh diri suaminya. “Pulanglah Tiara, kamu tanyakan apa yang kamu mau pada Varel, aku janji, akan terima setiap keputusan yang dia ambil tentang aku, nantinya ….” Firli memberikan keputusan akhir, entah apa yang ada dalam pikirannya hingga bisa memberikan keputusan yang mampu membuat Tiara terdiam sesaat dengan wajah tak percaya. Braagh …!! Dengan hentakan kasar, Tiara menutup pintu hingga terdengar suara bedebum yang memekakkan telinga. Dengan tatapan nanar, Firli pandangi sekelilingnya, rumah yang awalnya terasa sangat nyaman baginya kini terlihat seperti sangkar emas. Semuanya terasa palsu. Semuanya kini tercemar oleh kebohongan. Di tengah keheningan yang memekakkan, Firli tidak bisa menjawab. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap cermin sempurna kehidupannya yang kini telah retak, memperlihatkan kenyataan yang mengerikan di balik cinta. Dan ia tahu, apa pun keputusannya nanti, hidupnya tidak akan pernah sama. “Penipu ….”“Kita pulang, Pak …” pinta Firli dari kursi belakang.“Nya … siap!!” ujar Pak Mat dari kursi di belakang kemudi. “Kok sebentar, Nya? Bapak nggak ada di tempat ya?” tanya pak Mat lagi, Namun tak ada jawaban.Hingga akhirnya Pak Mat tertegun sesaat, ketika tanpa sengaja pandangan matanya melirik ke arah di mana Nyonya majikannya yang sedang menagis, berada.Dan selama perjalanan pulang dari kantor Varel adalah sebuah jeda yang waktu yang kosong dalam diam. Firli berulang kali mengusap wajahnya yang basah, kedua matanya menatap ke luar jendela kaca, semuanya tampak bergerak dalam kecepatan penuh, namun di dalam benak Firli, waktu telah berhenti pada satu adegan di mana saat tadi Varel yang memeluk Tiara dengan kelembutan yang seharusnya menjadi miliknya. Pemandangan itu terpatri di matanya, sebuah gambar beku yang membakar semua harapan yang tersisa.Bahkan saat sampai di rumah pun, Firli terlihat datar, tak ada semangat.“Assalamualaikum ….”Dengan satu tangan mendorong pintu, Firli d
“Mbok .... nanti pulang ke rumah pakai taksi ya, biar aku pesankan nanti, aku mau ke kantornya Mas Varel, aku tak ingin bahagia sendiri menerima kabar bahagia ini.”“Iya, Nya …” jawab Mbok Na dengan kedua tangan yang cekatan membereskan barang barang keperluan majikannya, agar kamar yang dia tempati saat ini kembali ke asal.Tak bisa dia pungkiri kalau saat ini dia merasa ada secercah harapan yang nekat mulai tumbuh di dalam hatinya yang terluka. Seorang anak, buah hati mereka. Ini bukan lagi sekadar tentang dirinya, Varel, dan Tiara. Kini ada kehidupan baru yang menjadi pengikat takdir mereka.“Mungkin ini adalah tanda dari-Mu ya …. Allah, sebuah kesempatan kedua. Varel harus tahu. Kabar ini pasti akan mengubah segalanya. Seorang anak akan mengingatkan Varel akan sumpah mereka, akan masa depan yang pernah mereka rancang bersama.”Firli tersenyum, harapan itu walau terasa rapuh, Namun begitu kuat hingga mendorongnya untuk bergerak.Setelah memastikan Mbok Na sampai di rumah dengan
“Mmm …..”Ketika kesadaran Firli kembali, segera di sambut bau antiseptik yang tajam menusuk hidungnya.“Mbok ….”Firli membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu neon yang berpendar di langit-langit putih.Ia mengenali ruangan steril itu sebagai kamar perawatan rumah sakit. Sebuah selang infus tertancap di punggung tangannya, menyalurkan cairan bening ke dalam pembuluh darahnya.“Mboook ….”Dengan suara yang terdengar seperti suara rintihan, Firli berusaha membangunkan mbok Na yang tertidur di samping ranjangnya.“Iya, Nya ….”Dengan agak tergesa, Mbok bangun dan langsung memfokuskan dirinya pada Firli.“Haus, Mbok ….”Mbok Na langsung menyiapkan apa yang di inginkan oleh Firli, dan membantu majikannya itu untuk meminumnya.Selesai minum tanpa sengaja mata Firli menoleh ke samping, dan pemandangan di sana membuat napasnya seketika tercekat. “Mas Varel ….” ujarnya pelan, melihat sosok yang berada di atas sofa kulit berwarna hijau lumut
Triiing ….!!Gemerincing kunci mobil Tiara yang menjauh, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi dunia Firli. Yang kemudian perlahan sirna bersama deru mobil, menciptakan keheningan ruang tamu yang mendadak terasa begitu luas dan dingin, bahkan Firli merasa saat ini pun dirinya sedang dikhianati oleh pendingin ruangan yang bersekongkol dengan kehancuran hatinya.“Benarkah apa yang Tiara katakan tentangmu? Benarkah kau belum utuh untuk kumiliki?!”Terdengar sangat menyayat hati, rintihan Firli yang diucap disertai isakan itu, sangat menggambarkan lukisan hati yang dia alami.Di benaknya, kata-kata Tiara berputar tanpa henti, tajam dan berbisa seperti belati yang terus ditikamkan ke ulu hati."Aku berikan kau pilihan, Firli. Kau ceraikan Varel dan pergi dari hidupnya, dengan kompensasi yang pasti tak akan membuatmu menyesal seumur hidup atau …. kau rela aku jadi yang kedua. Walau sebenarnya, akulah yang pertama yang kembali ke tempat nya."Kalimat yang terucap dengan di ikuti oleh
Hujan baru saja reda di Jakarta, menyisakan aroma petrichor yang merayap naik bahkan menembus lipatan tembok yang berlapis di ruang tamu sebuah rumah mewah yang baru saja ditempati selama hampir dua tahun. Firli, ratu di rumah tersebut kini menatap tamu yang tak dia undang, dengan hati yang tak tenang. Dia tak menyukai perempuan di hadapannya, setidaknya, begitulah yang ia yakini hingga lima menit yang lalu.Firli memegang cangkir porselen berisi teh kamomil yang panasnya mulai turun itu hingga terasa bergetar. Ia kemudian meletakkannya di atas meja kopi marmer sebelum jemarinya yang gemetar tak membuatnya jatuh.“Jadi ….”Tiara memulai lagi, suaranya yang halus Namun penuh racun kini mulai lagi memecah keheningan. Ia menyilangkan kakinya yang dibungkus dengan rok panjang lebar, gerakannya terlihat penuh perhitungan."Aku rasa kamu sudah mengerti posisi ku saat ini, Firli," sambungnya dengan dagu terangkat, penuh kesombongan.Firli menelan ludah. Kopi yang baru saja dia minum sepert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments