6
Kami berdua mengendara motor selama kurang lebih dua puluh menit di tengah malam buta yang cukup dingin ini. Mas Wisnu menghentikan laju kendaraannya di sebuah hotel bintang tiga yang lumayan terkenal di kota kami. Aku mengernyitkan kening. Hah? Hotel? Apakah mungkin iparku mengajak untuk check in di sini?
“Sementara kita menginap di sini ya, Dek?” Mas Wisnu memarkirkan motornya di halaman parkir hotel yang luas. Aku tak dapat banyak berkata, hanya mengangguk tanda mengiyakan saja.
Dengan penuh kelembutan, Mas Wisnu menggandeng tanganku sembari berjalan masuk ke hotel. Dua orang resepsionis menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Padahal, saat ini jam sudah menunjukkan pukul tiga. Mereka seakan tak mengantuk dan melayani kedatangan tamu dengan begitu prima.
“Saya pesan dua kamar superior. Ada?” Mas Wisnu bertanya dengan suara bass-nya. Aku mencuit lengan lelaki itu, mendelikkan mata pertanda tak setuju. Superior room artinya membayar lebih.
“Aku yang standar saja, Mas,” bisikku padanya.
Lelaki itu menggeleng dan tetap melanjutkan pesanannya. Kakiku lemas. Lima ratus ribu dikali dua hanya untuk satu malam. Itu pemborosan menurutku. Tidak sesuai dengan prinsip ekonomi yang kuanut sebagai seorang pebisnis kecil-kecilan.
Seorang resepsionis perempuan dengan pakaian rapi dan tatanan rambut disanggul ke atas tersebut menyerahkan dua buah kunci kartu kepada kami. Mas Wisnu membayar biaya sewa hotel dengan menyerahkan kartu debitnya kepada mereka. Entah mengapa, aku yang merasa lemas saat resepsionis tersebut menggesek kartu pada alat EDC.
“Mas, harganya mahal banget. Kan kita Cuma nginap satu malam.” Aku protes pada Mas Wisnu ketika kami naik lift menuju lantai tiga.
Mas Wisnu hanya menggeleng sambil tersenyum manis. Tangannya melingkar ke bahuku. “Nggak mahal. Kan sesekali? Memangnya nggak boleh?” Kata-kata Mas Wisnu begitu enteng.
“Mas, kenapa kamu malah mau membela dan ikut keluar rumah denganku? Bukankah kariermu akan hancur dan kedua orangtuamu akan malu? Nggak nyesal?” Penuh rasa penasaran aku bertanya.
Lelaki itu terus berjalan, tetapi bibirnya tetap diam mengunci.
“Mas, kalau kamu dikeluarkan dari kantor, apa yang akan kamu lakukan? Mas, masa depanmu bagaimana?” Aku terus mendesaknya agar dia kembali berpikir. Kesempatan untuknya pulang pada Mbak Mel belum terlambat. Dia masih bisa meminta maaf dan beralasan bahwa kesalahan tadi adalah kekhilafan. Sedang aku, aku bisa mencari kehidupan sendiri dengan sisa kemampuan yang ada. Toh, sertifikat tanah ini sudah terlanjur kubawa. Mungkin inilah saatnya untuk hidup mandiri dan tega kepada kedua perempuan jahat itu. Sambil membangun kehidupan baru, aku juga bisa mencari informasi tentang siapa ibu kandungku yang sebenarnya.
“Sudahlah, Dek Ayu. Aku sudah memikirkan semuanya matang-matang. Kamu adalah kekuatan yang datang untukku keluar dari zona nyaman. Mungkin Tuhan sudah mentakdirkan kita agar bersama-sama lari dari kehidupan Melani.” Mas Wisnu menghentikan langkahnya. Dia menatap dengan lekat dan mengusap kepalaku dengan penuh rasa sayang.
“Mas, semuanya belum terlambat jika—” Mas Wisnu langsung menghentikan ucapanku dengan sebuah pelukan yang erat. Tubuh mungilku tenggelam dalam dada bidang lelaki yang memiiki postur pemain voli itu.
Jantung ini berdegup sangat kencang dari biasanya. Semua rasa bercampur menjadi satu. Baru kali ini aku menyadari bahwa ada juga lelaki yang sudi memberikan perhatian yang besar. Mas Wisnu, apakah ini yang dinamakan cinta? Atau, hanya sebuah perhatian biasa? Akankah dapat kita bersatu dalam suatu hubungan spesial? Ah, Ayu, sepertinya kau sedang menghayal dan terlalu bawa perasaan. Sadarlah, Yu! Mas Wisnua hanya kasihan dan ingin membantu saja.
“Sekarang, kamu istirahat ya, Dek. Besok pagi kita bicarakan rencana selanjutnya. Jangan pusingkan Melani lagi. Aku sudah siap dengan segala konsekuensi. Kalau perlu, besok langsung kulayangkan surat resign agar kami tak perlu saling bertemu lagi selamanya.” Mas Wisnu melepaskan pelukannya. Dia memberikanku sebuah kunci kartu yang tadi disimpan di saku. Kuterima benda pipih tersebut, kemudian berjalan menuju kamar nomor 210.
Sepanjang sisa waktu malam, aku tak dapat memejamkan mata di kasur yang begitu luas untuk ditiduri seorang diri ini. Lagi pula, pikiran ini terus berkelana akan kata-kata Mbak Mel dan Ibu perihal aku yang ternyata adalah anak seorang pelakor. Apakah itu benar? Rasanya sungguh tak dapat dipercaya. Lantas, siapa ibuku? Di mana dia sekarang? Kenapa aku malah dibesarkan oleh Ibu yang kejam? Mengapa ibu kandungku tak membawa anaknya saja ketimbang menitipkan pada perempuan jahat itu?
Tangis kembali membanjiri. Rasa sedih, terpukul, stres, marah, campur aduk menghimpit dada. Mengapa takdir begitu pahit untuk dijalani? Mengapa harus aku, bukan orang lain saja? Mengapa Tuhan tak memberikan hidup yang nyaman saja, ketimbang kepelikan tiada ujung seperti ini? Sekarang masalah malah semakin bertambah dengan hadirnya Mas Wisnu dalam hidupku. Entah, kenyataan ini harus disyukuri atau bagaimana. Lambat laun, orang-orang pasti mencapku sebagai pelakor jika Mas Wisnu dan Mbak Mel benar-benar berpisah. Sudahlah ibu kandungku memiliki masa lalu yang demikian (jika kata-kata mereka benar), mengapa harus nasib serupa merundung diri ini?
Mas Wisnu, apakah kau benar tulus ingin menolongku keluar dari sarang buaya? Akankah ada modus atau niatan tertentu yang tak kuketahui sebelumnya? Atau mungkin, jangan-jangan ini adalah skenario kalian berdua? Tangisku makin pecah. Tuhan, tolong hamba-Mu. Jangan tinggalkan aku dalam kegelapan yang tiada berakhir.
***
Pukul delapan aku mengetuk pintu kamar Mas Wisnu yang letaknya hanya bersebelahan saja. Beberapa kali diketuk, Mas Wisnu tak kunjung keluar. Akhirnya kutelepon saja dan langsung diangkat. Terdengar suaranya parau dan malas-malasan berbicara. Dia pasti masih sangat mengantuk.
“Maaf, Dek. Aku tadi masih tidur.” Mas Wisnu membukakan pintu dengan tampilannya yang masih acak-acakan. Surainya berdiri bagai singa jantan yang baru selesai berkelahi. Kedua mata coklat lelaki itu masih menyipit.
“Ayo, masuk.” Mas Wisnu mempersilakanku untuk masuk. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki. Jantung ini semakin berdebar kencang saat pintu ditutup dan hanya ada kami berdua di dalam kamar. Bagiku, berduaan di kamar dengan Mas Wisnu bukanlah sebuah ide yang bagus.
“Dek, kamu duduk dulu. Aku mandi dulu dan setelah ini kita sarapan di bawah.” Mas Wisnu menghidupkan televisi yang tertempel di dinding seberang tempat tidur. Aku hanya mengangguk dan menuruti perintahnya, sementara lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi.
Salah tingkah menyergapi diriku. Bingung sekali harus berbuat apa di sini. Apa sebaiknya, keluar saja, ya? Bagaimana jika ada orang yang dikenal mengetahui bahwa kami berduaan di dalam kamar hotel? Pastilah timbul fitnah yang tidak-tidak.
Hampir sepuluh menit aku duduk dengan gelisah di tepi ranjang sembari menanti Mas Wisnu selesai mandi. Tontonan di televisi pun tak dapat membuyarkan ketidaktenangan ini. Jantung kembali berdebar lebih cepat, seperti habis marathon, ketika suara kenop pintu kamar mandi terdengar. Sesosok lelaki dengan rambut basah dan telanjang dada itu keluar sembari menyeka tubuhnya dengan handuk kecil. Hanya ada lilitan handuk putih yang menutupi pusat ke bawahnya. Deretan lekuk otot perut berupa roti sobek terpampang jelas menodai mata. Cepat aku mengalihkan perhatian untuk tidak melihat ke arahnya.
“Aku ke luar saja ya, Mas.” Cepat aku bangkit dan berniat untuk keluar. Namun, sebuah ketukan pintu yang nyaring dan tergesa membuat langkahku tercekat.
Pintu terus digedor berulang kali dengan suara lelaki meminta kami untuk keluar.Dadaku seketika sesak. Jantung ini seketika mau lepas dari rongga. Kami berdua saling tatap dengan wajah yang sama-sama pias. Apakah ini jawaban dari rasa gelisah sepanjang menunggu tadi?
(Bersambung)
Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk
Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku
Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”
Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik
Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus
Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak