Sepanjang perjalanan pulang, aku memeluk Mas Wisnu di atas motor. Terpaan angin dini hari yang sejuk membuat tubuh Mas Wisnu mampu menghangatkan. Harum tubuhnya yang maskulin membuatku merasa begitu betah dan ingin berlama-lama berdua bersamanya. Terbesit di benak, coba Mas Wisnu adalah milikku. Takkan kubiarkan dia mengeluh tentang hidup sedikit pun. Kubebaskan dia bagai burung untuk terbang mengitari cakrawala dan kembali ke sarang saat senja tiba. Mbak Mel yang keras dan banyak mau, jelas bukan wanita idaman yang dibutuhkan lelaki tampan itu. Tuhan, bolehkah aku merebut suami mbakku sendiri?
Kami tiba di rumah pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Ini benar-benar pengalaman yang gila. Aku keluar rumah tengah malam dengan seorang lelaki pula. Pelan Mas Wisnu menuntun motor ke halaman. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Lampu ruang ramu yang tadinya kami matikan, kini terang benderang. Ada apa? Apakah Mbak Mel dan Ibu terbangun?
“Mas....” Ucapanku tercekat. Kutarik ujung lengan bajunya. Lelaki itu maju ke depan untuk membuka pintu, sementara aku berlindung di balik punggung tingginya.
Pelan tangan berbulu Mas Wisnu membuka kenop. Suara derit engsel sebisa mungkin kami minimalisir. Betapa mataku membelalak kaget seiring dengan denyut jantung yang tak keruan berdetak. Jelas terlihat sosok Mbak Mel sedang duduk memainkan ponselnya di kursi ruang tamu. Dia menunduk sembari jari jemarinya sibuk mengetik sesuatu.
“S-sa-yang. K-kamu terbangun...?” Mas Wisnu terbata. Terlebih aku. Kami seakan mati kutu di hadapan Mbak Mel yang perlahan mengangkat kepalanya. Wajah perempuan itu terlihat begitu marah. Matanya nyalang menatap kami. Dia lalu tersenyum menyeringai seolah sebentar lagi akan memuntahkan segala caci maki.
“Mas, kita baru sebulan menikah dan kelakuanmu sudah seperti ini?” Mbak Mel berdiri dari duduknya. Dihempaskannya ke lantai ponsel mahal yang tadi dipegang. Berderai sudah benda yang terbuat dari kaca tersebut. Pilu hatiku melihat uang dua puluh juta lenyap dalam sekali hantam.
“K-kami, hanya keluar sebentar, Mel....” Mas Wisnu mendekat pada Mbak Mel. Lelaki itu memegang kedua tangan kakaku. Namun, Mbak Mel malah menepis dan menampar pipi lelaki itu dengan keras.
“Ada apa ini?” Ibu datang dengan wajah yang mengantuk. Matanya menyipit melihat keributan di ruang tamu. Seketika nyaliku menciut. Habis sudah riwayat kami berdua malam ini. Tamat!
“Bu, lihatlah Ayu! Anak haram ini sudah berani merebut suamiku, Bu! Lihat, Bu! Apa yang dia lakukan seperti ibunya dulu merebut Bapak! Seharusnya, Ibu tidak pernah setuju dia dibawa ke rumah ini. Ibunya dan almarhum Bapak memang berpisah, tapi lihat sekarang. Dia malah mau menghancurkan rumah tanggaku!” Mbak Mel berteriak sejadinya. Tangisnya pecah, membelah keheningan malam.
Kupingku jelas-jelas panas mendengarkan ucapannya. Hatiku hancur berkeping-keping. Kepala ini terasa dihantam oleh pada godam raksasa, membuat kesadaranku hampir hilang akibat syok. Terduduk lemas aku di lantai sembari berurai air mata. Apa yang Mbak Mel ucapkan barusan? Anak haram? Ibuku merebut Bapak? Ibuku siapa? Lantas, apakah aku bukan anak dari Ibu yang sekarang berada di depan kami ini?
Tak terduga, Ibu datang ke arahku. Perempuan berdaster batik panjang itu merenggut rambutku hingga mampu membuatku terbangun. Sakit, tetapi lebih nyeri lagi hati ini.
“Anak haram! Anak sialan! Berpuluh tahun kami membesarkanmu, berpuluh tahun juga aku menahan diri untuk tidak mengungkap asal usulmu yang kampang itu! Namun, lihat sekarang balasanmu, Ayu! Tega kamu!” Tamparan dan tendagan mengarah padaku dengan membabi buta.
“Cukup, Bu!” Mas Wisnu mencoba melerai kami. Namun, Mbak Mel malah menarik kuat suaminya.
“Laki-laki bajingan! Ingat, semua kenikmatanmu di kantor itu adalah upayaku! Kalau bukan aku yang mati-matian membujuk bos untuk mempromosikanmu, tak aka kau seperti sekarang!” Mbak Mel kembali berteriak, sementara aku terus mendapat pukulan dari Ibu yang membuat tubuhku tersungkur di lantai.
“S-sudah, Bu! A-am-pun....” Aku memohon sembari menangis sesegukan. Ini memang salah dan khilafku. Namun, apakah layak aku diperlakukan layaknya binatang seperti ini.
“Cukup!” Mas Wisnu mendorong Ibu sampai wanita itu hampir terjungkal. Mataku yang penuh dengan tangisan, terkaget melihat aksi lelaki itu.
“Ayu bukan manusia yang bisa seenaknya kalian perlakukan seperti hewan!” Mas Wisnu membantuku untuk bangkit, lalu merangkul tubuhku yang remuk redam akibat ulah tangan tua Ibu yang kesetanan.
“Mas Wisnu, kamu sudah gila? Beraninya kamu berbuat kasar pada ibuku!” Mbak Mel semakin mengamuk. Dia melemparkan vas bunga ke arah kami, tapi lemparannya meleset menghantam dinding.
“Mulai detik ini, aku cerai kamu Mel! Terserah jika kamu ingin menghasut bos untuk memecatku. Harusnya kau jadi istrinya bos saja kalau memang bisa. Dari pada harus melacurkan diri demi mendapat semua kemauanmu. Aku bukannya tak tau kebusukanmu, tapi jujur aku dulu memang memanfaatkanmu untuk menunjang karierku. Sekarang kuputuskan untuk meninggalkanmu dan pekerjaan. Silakan kau lakukan ancamanmu untuk bunuh diri akibat kucerai, sekarang aku sudah tak peduli!” Suara Mas Wisnu menggelegar, membuat kami terperanjat dan terdiam mendengarnya. Ibu langsung memeluk Mbak Mel yang menangis sejadi-jadinya, sementara aku hanya dapat berlindung takut di samping tubuh tinggi Mas Wisnu.
“Dek Ayu, kemasi barang-barangmu dan jangan lupa bawa sertifikat rumah ini. Kamu bilang, rumah ini untukmu bukan? Ambil sertifikatnya dan kalau perlu jual saja. Kita tinggalkan mereka berdua di sini. Kamu berhak untuk bahagia dan tak perlu takut untuk memulai hidup yang baru.” Mas Wisnu berkata dengan sangat tegas. Tak kusangka lelaki itu kini berubah menjadi seorang lelaki yang tak lagi takut pada sang istri. Sikapnya berubah menjadi keras dengan suara yang menggelegar. Aku mengangguk, mengikuti perkataan lelaki itu dan segera masuk ke kamar.
“Apa hak kamu untuk memerintahkan hal tersebut, Wisnu? Kamu orang baru dan tidak mengerti dengan masalah keluarga kami!” Terdengar olehku suara teriakan Ibu di ruang tamu sana. Cepat tanganku mengambil sertifikat tanah di dalam lemari pakaian dan membawa beberapa helai pakain kemudian memasukannya ke dala ransel. Tak lupa, aku juga memasukan buku dan laptop yang kugunakan untuk menjalankan bisnis daring.
Saat aku keluar kamar, Mbak Mel menghadangku. Dengan marah perempuan itu menjambak rambut dan menamparku berulang kali. Namun, tiba-tiba rasa geram memuncak di ubun-ubun dan membuatku berani untuk membalasnya. Perut wanita itu kudorong keras dengan kaki kananku hingga dia jatuh terlentang di lantai. Rupanya hanya segitu kekuatan Mbak Mel. Kuhadiahi kembali dia dengan sebuah sepakan di pipi hingga darah segar mengucur dari bibirnya yang pecah.
“Kalau aku adalah anak haram, maka dari itu sikapku juga tak boleh lemah. Inilah sikap yang harus dilakukan oleh seorang anak haram, seperti katamu tadi!” Kuludahi perempuan itu.
Cepat aku keluar dari rumah bersama Mas Wisnu. Lelaki itu mengendara motornya tanpa membawa barang apa pun kecuali dompetnya dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Sebelum pergi meninggalkan rumah, Mas Wisnu menggeber suara motornya hingga nyaring terdengar. Entah apa maksudnya, tapi kutangkap itu seperti sebuah ejekan kepada dua perempuan jahat di dalam sana.
Sambil menangis pilu, kupeluk tubuh Mas Wisnu dengan erat. Tak ingin aku kehilangan lelaki ini. Dia dalah serupa pahlawan penyelamat yang melepaskanku dari belenggu iblis yang selama ini mencekik kuat. Mas Wisnu merupakan lelaki pertama yang membelaku atas penindasan hasil perbuatan Ibu dan Mbak Mel. Tanpanya, aku tak bakal berani untuk meninggalkan mereka dan memulai babak baru dalam lembar kehidupan.
“Mas, mau ke mana kita?” tanyaku padanya dengan suara parau menahan tangis.
“Kita akan pergi jauh dan memulai semuanya bersama, Dek. Kamu mau kan hidup dengan Mas?” Tangan Mas Wisnu menggenggam pada tanganku yang sedari tadi memeluk pinggangnya. Telapaknya yang lebar melingkupi jemariku hingga aku dapat merasakan sebuah sentuhan yang hangat. Hati ini meleleh mendengar ucapan Mas Wisnu. Tentu saja aku mau hidup bersamanya.
Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk
Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku
Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”
Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik
Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus
Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak