Share

Bab 3 Siapa Dia?

GUNDIK SUAMIKU (3)

Wanita itu mengenakan kebaya berwarna pink salmon dan jilbab yang menutupi bagian dadanya. 

Hatiku mendadak nyeri melihat pemandangan ini. Apakah dia wanita selingkuh suamiku? Parasnya yang cantik dan terlihat kalem mana mungkin mau merebut suami orang. Ah, jaman sekarang. Apa saja bisa dilakukan, tak perduli penampilannya seperti apa. 

Aku menghela napas panjang. Sebah di dada tak kunjung mereda. Lututpun terasa melemas dan tak mampu menopang tubuhku. Kucengkram baju gamis yang tergantung di depanku. Tahan Vina, jangan menangis. Air matamu terlalu mahal untuk menangisi lelaki tak punya malu seperti Ari.

Mas Ari dan Mama kompak menoleh ke arah wanita itu. 

"Nah itu, Marisa udah dateng." ucap Mama mertua sumringah. Oh, jadi itu yang namanya Marisa. Kukira Marisa teman arisanku. Ternyata tidak. Dugaanku salah, dia Marisa ... wanita yang penampilannya  tertutup dan bahkan lebih baik dariku. kelihatannya sih begitu, namun entah bagaimana kelakuannya. 

"Gimana kebayanya? Pas kan?" kali ini Mas Ari yang berucap. Wanita bernama Marisa itu berdiri di tengah-tengah Mama dan Mas Ari. 

"Iya, Mas." jawab Marisa tersenyum malu. Aku yang sedari tadi memantau dari sini merasa muak dan ingin mencabik-cabik ketiganya. Apa salahku? Sehingga aku perlakukan begini. Empat tahun berumah tangga, haruskah terhenti karena wanita itu. Apa sepesialnya dia? Hingga Mas Ari mampu mencabangkan hatinya dan mengkhianati aku. Tak habis pikir aku dengan kelakuan Mas Ari dan mamanya. Bukankah harusnya sebagai orang tua melarang anaknya untuk tidak selingkuh. Namun tidak dengan Mama mertuaku, ia malah sepenuhnya mendukung Mas Ari. Tidakkah mereka memikirkan bagaimana hancurnya perasaanku. 

"Cocok banget ya, kebayanya. Pas banget di badan kamu, pasti nanti pas ijab kabul makin cantik deh kamu," Mama memuji Marisa sambil membenarkan lipatan yang terselip di baju kebaya Marisa. 

Percayalah, di sini aku hampir meledak mendengar perbincangan mereka. Mas Ari akan menikah dengan Marisa. Tanpa memberitahuku lebih dulu. Aku tidak terima, Mas! kamu perlakukan begini. Tunggu saja di hari bahagiamu. Akan aku hancurkan semuannya. 

"Marisa, kamu pengen mukena yang mana? Buat seserahan." tanya Mas Ari sambil mengedarkan pandangan ke penjuru toko. Ia melihat-lihat mukena yang terpasang di patung manekin. 

"Yang mana aja, Mas. Yang penting sederhana." balas Marisa. 

"Bagaimana jika yang itu ...." telunjuk Mas Ari menunjuk ke arah mukena berwarna putih dengan renda cantik di setiap ujung kainnya. 

"Iya, Mas. Ya udah, aku ganti baju dulu ya," pamit Marisa lalu melenggang ke ruang ganti. 

Mas Ari dan Mama membalas dengan anggukan. 

"Eh, Ari. Gimana soal si Vina? Kamu jadi 'kan ceraiin dia?" seloroh Mama bagai sembilu menusuk hati hingga tembus ke punggung. 

Mas Ari mau menceraikan aku? Apa aku salah dengar? 

Enggak! Ini nggak mungkin! 

"Mbak mau ambil bajunya yang mana?" aku tersentak mendengar suara asing yang masuk ke gendang telingaku. Dan itu membuat Mama dan Mas Ari menoleh ke arah sini. 

Gawat jika aku sampai ketahuan. 

"Yang ini, Mbak." jawabku cepat seraya menggambil satu potong baju lengan panjang berwarna pink muda. Dan menyerahkannya pada pegawai toko yang barusan menanyaiku. 

Sekilas kulirik ke arah Mas Ari dan Mama. Kedua orang itu sudah tak melihat ke arahku lagi. Untung aja aku pake masker dan jaket. Jadi mereka tidak mengenali aku.

Kuikuti langkah pegawai toko menuju meja kasir dan segera membayarnya. Kuhela napas gusar. Berbagai pertanyaan mengelilingi kepalaku. Apa alasan Mas Ari mau menceraikan aku? Tidakkah selama ini aku selalu memberikan yang terbaik untuknya. Bahkan soal anak ... dia tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia selalu bilang, bahwa belum memiliki anak tidak masalah. Karena Tuhan belum mempercayainya kepada kami. Tapi nyatanya, semua itu bulshit! Entah dia menikah dengan wanita berjilbab itu karena napsu atau karena ada hal lain. Dan Mama juga mendukungnya. Ah, benar-benar baik sekali permainan mereka. 

Inginnya aku langsung menghampiri mereka dan membuat perhitungan. Namun, kupikir lagi lebih rinci. Terlalu biasa jika mempermalukan mereka di tempat ini. Kenapa tidak aku permalukan mereka di hari pernikahan Mas Ari dengan Marisa nanti. Mungkin akan lebih seru dan elegant. Tidak perlu membuang-buang tenaga dengan kekerasan. Lebih baik pakai cara cantik saja. 

Pakaian yang kubeli selesai dibungkus. Kuayunkan langkah hendak ke luar dari toko. Lagi, pemandangan tak mengenakan mata kembali hadir. Marisa sudah berkumpul lagi bersama Mama dan Mas Ari. Terlihat Mas Ari yang amat antusias membayar beberapa potong gamis panjang dan mukena, tak lupa satu set kebaya yang tadi dicoba oleh Marisa. 

Mungkin Mas Ari akan segera pulang. Jadi aku harus buru-buru pergi dari tempat ini. Ah iya, aku juga baru ingat soal Pak Slamet. Kira-kira dia sudah sadar belum ya? Atau masih tertidur pulas berkat obat yang kububuhkan dalam kopinya. 

"Mas, apakah kau sudah membicarakan semua ini dengan Vina?" langkahku yang baru terayun di udara lantas berhenti mendengar ucapan Marisa. Kulipirkan tubuh dan bersembunyi di balik patung manekin agak jauh dari mereka bertiga. 

"Belum, aku masih belum mendapatkan alasan yang pas untuk mengatakan hal ini pada Vina. Kamu sabar dulu ya, yang penting kita nikah dulu setelah itu aku akan menceraikan Vina." kata Mas Ari menatap wanita itu yakin. Dasar buaya! Cuma mau enaknya saja. Masa iya, punya istri dua. Jangan harap aku mau kau madu Mas, jangan harap hal itu terjadi pada hubungan kita. Prinsipku adalah, lebih baik melepaskan dari pada harus menyakitkan. 

"Sudahlah, Ari. Tinggal kasih surat itu pada Vina selesailah semua masalah kamu, dan jangan lupa satu hal. Ambil semua harta yang seharusnya jadi milik kamu, si Vina gampang, tinggal kasih dia uang buat pulang ke rumah orang tuannya. Mudahkan semua," celetuk Mama panjang lebar. Tepampang sekali wajahnya tersenyum miring. Bagiku ini adalaj sebuah ejekan. Ternyata Mama juga ingin aku pergi dari rumah yang selama ini aku dan Mas Ari bangun berdua. Apa mereka lupa? Bahwa semua harta Mas Ari itu berawal dari modal yang orang tuaku berikan. Dengan enteng mereka mencemoohku sesuka hati. Ingat, aku tak akan tinggal diam dengan apa yang kalian lakukan padaku. Cepat atau lambat, apa yang kalian tanam, secepatnya akan kalian tuai. 

"Ma, aku nggak mungkin kasih tahu surat itu sama Vina, gimana perasaan dia Ma? Kalau tahu kenyataan pahit itu." wajah Mas Ari berubah cemas. Surat apa yang mereka maksud? Apa itu menyangkut tentangku? Menjengkelkan sekali! Aku hampir mati penasaran di sini. Menguping pembicaraan mereka yang banyak ambigunya. 

Kuatur napas berulang kali. Aku harus sabar menghadapi tikus-tikus itu. 

"Memangnya surat apa, Mas?" Marisa menyahut. Mimik wajahnya menyiratkan keingintahuan yang kentara. 

"Surat bahwa Vina, Man--"

"Stop, Ma!" sergah Mas Ari lantang. Ia menghentikan kalimat yang diucapkan Mama. 

Air muka Mama mendadak keruh. Wajahnya yang kian mengekeriput karena usia pun terlihat masam. Sedangkan Marisa juga menunduk diam. Ketiga orang itu mendadak senyap. Tak ada lagi obrolan manis seperti tadi. 

"Kalian mau langsung pulang apa makan dulu?" tanya Mas Ari pada kedua wanita di sisinya. Meski wajahnya masih nampak meredam emosi tapi ia tetap bekata datar. 

"Mau makan dulu aja deh, Ar. Mama lapar dari tadi muter-muter mall." tanpa sepotong kata. Mas Ari meraih paper bag berisi belanjaannya tadi dan membawa barang-barang itu menjauh dari toko. 

Tak ingin membuang waktu. Langkah kupercepat untuk segera pulang ke rumah. Aku jadi kepikiran soal surat yang dimaksud mereka. Sebegitu pentingnyakah surat itu? Hingga bisa membuatku hancur. 

*

Langit sudah berubah gelap. Gugusan bintang bertaburan indah di atas sana. Setengah jam lebih aku berkendara. Kini mobil yang kutumpangi sudah sampai di pekarangan rumah. 

Jariku memencet remote control agar pagar rumah segera terbuka. Mataku reflek melebar saat menatap ke arah teras. Pak Slamet sudah tidak ada di sana. Di tempat ia tadi tertidur. Ke mana dia? 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status