GUNDIK SUAMIKU (2)
Mataku terbelalak saat sampai di pekarangan rumah yang kutempati. Mobil Mas Ari sudah terparkir di sana. Itu artinya Mas Ari sudah pulang. Oh Tuhan, bagaimana ini?
Cepat kutepis semua kekhawatiran yang berkecamuk di dalam hati. Dan lantas memarkirkan mobil yang kutumpangi di sebelah mobil berwarna hitam pekat milik Mas Ari.
"Nyonya sudah pulang?" aku terperanjat mendengar suara itu. Baru saja pintu mobil setengah terbuka. Pak Slamet, supir mertuaku sudah berada di teras depan. Ia berdiri dan menyambutku dengan senyum hangatnya.
Namun, untuk apa beliau berada di sini? Bukankah dia supir pribadinya Mama mertuaku? Yang rumahnya lumayan agak jauh dari sini.
Belum kujawab pertanyaannya, mataku sibuk celingukan memandangi sekeliling. Siapa tahu Mas Ari di sekitar sini, bisa gawat kalau dia udah pulang, atau ... dia sedang mencari cincin itu. Duh, bisa gagal semua rencanaku.
Kuhampiri Pak Slamet yang masih melebarkan senyumannya ke arahku. Pria paruh baya yang sudah beruban itu memang sangat ramah.
"Eh, iya, Pak. Saya baru pulang. Pak Slamet kok tumben ke sini? Ada apa? Ini 'kan mobil Mas Ari, apa Mas Arinya udah pulang?" tanyaku beruntun seraya mendongak ke arah mobilnya Mas Ari. Tentu saja, sambil menenangkan debar di dada menanti jawaban darinya.
"Oh, Pak Arinya lagi lembur, Nya. Palingan nanti pulangnya malam. Saya tadi diminta buat jadi supir di sini." jelas Pak Slamet. 'ah, syukurlah Mas Ari belum pulang.' batinku lega.
Tapi, tumben sekali Mas Ari meminta supir untuk mengambil alih kemudi mobil kesayangannya. Biasanya 'kan dia suka nyetir sendiri. Begitu pula denganku. Meski aku sering bepergian, tapi aku lebih suka membawa mobil sendiri. Ketimbang harus ada supir. Sepertinya ada yang tidak beres dengan sikap Mas Ari yang tiba-tiba berubah begini. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dariku.
"Oh ... lembur ya, tumben ya, Pak. Suami saya minta Pak Slamet buat nyupirin mobilnya, biasanya kan dia suka nyupir sendiri." lanjut kulontarkan pertanyaan berikutnya.
"Saya, tadi kebetulan nganterin Bu Mely ke kantornya Pak Ari. Terus, tiba-tiba Pak Ari nyuruh saya bawa mobilnya pulang. Karena katanya nanti ada lembur." dahiku mendadak mengeryit mendengar penuturan Pak Slamet. Pasalnya, tadi ia mengantarkan wanita yang disebutnya Bu Mely. Wanita yang tak lain adalah mertuaku itu untuk apa berada di kantor Mas Ari. Fix, semakin aneh saja kelakuan Mas Ari dan ibunya. Aku merasa ada yang janggal dan perlu diselidiki lebih dalam lagi.
"Bu Mely ada urusan apa, Pak? Tumben ke kantor Mas Ari?" tanyaku sedikit menekan. Semoga ada jawaban yang bisa menjabarkan semua kecurigaanku. Karena setahuku, Mama mertua paling malas bila ke kantor. Ah, semoga saja hanya ingin mengunjungi usaha anaknya. Tidak lebih dari itu.
"Kalau masalah itu, saya kurang tahu, Nya." jelasnya singkat. Kurasa, Pak Slamet memang tidak tahu apa-apa. Lagi pula, Pak Slamet juga biasa hanya berada di parkiran. Nggak pernah masuk ke dalam kantor kalau tidak ada hal yang mendesak.
"Ya, udah, Pak. Saya masuk dulu, Pak Slamet istirahat saja ya, kalau lapar ke dapur aja. Suruh Mbok Darmi bikin makanan atau kopi." tukasku sebelum melenggang masuk ke dalam rumah.
"Iya, Nya."
*
Selepas menutup pintu kamarku dan meletakan kembali surat beserta cincin berlian KW buatan Nadif ke dalam saku jas Mas Ari. Dengan malas kurebahkan tubuh ini di atas kasur. Ternyata, cukup melelahkan juga, menukar cincin palsu untuk wanita simpanan suamiku. Bisa dibilang aku cukup puas. Namun, jika dikatakan sepenuhnya puas. Tentu saja belum. Aku belum tahu siapa wanita yang menjadi tambatan hati suamiku.
Lelaki yang sudah empat tahun seatap denganku. Dengan mudahnya ia membagi perasaannya pada orang lain. Sungguh tak punya hati dia. Aku bukanlah wanita cengeng yang harus pasrah akan keadaan. Jika suamiku selingkuh, minimal ya, keruk semua hartanya. Enak saja, berjuang sama aku. Enaknya sama orang lain. Dasar! Buaya buntung!Baru saja punggung ini relax dalam nyamannya spring bad empuk ini. Ada sesuatu yang memaksaku untuk bangkit lagi. Baru kuingat, jika gawaiku tertinggal di mobil. Tadi aku lupa memasukannya ke dalam tas. Dengan malas, terpaksa aku harus mengambil benda pipih itu.
Satu persatu undakan anak tangga selesai kuturuni. Dan kini aku sudah tiba di teras depan. Seusai mengambil handphone. Ekor mataku tak sengaja menangkap sesuatu yang menyala di atas meja kaca teras. Kuhentikan langkah sekejap lalu mendekat. Ponsel Pak Slamet menyala, nampaklah pesan dari seseorang bernama Pak Ari di aplikasi hijau. Sepintas kubaca notifikasinya, pesan itu berbunyi.
[Pak Salamet, nanti jemput saya di mall Plaza ya,] itulah isi pesan dari notifikasi tersebut. Aku yakin, itu jelas-jelas Mas Ari yang WA. Ngapain dia di mall. Bukankah dia bilang akan lembur?
Aku harus menyusulnya ke mall juga.
"Nyonya sedang apa?" aku tersentak mendengar suara itu. Ya, itu suara Pak Salamet dari arah garasi. Apa Pak Slamet tahu? Bahwa aku sedang melihat ponselnya?
"Saya hanya kebetulan lewat kok, Pak." tukasku cepat. Lelaki berbaju biru itu pun lantas mendekat dan menyambar ponselnya. Terlihat sekali gelagatnya yang aneh. Raut wajahnya seperti agak cemas.
Pak Slamet tak menjawab. Ia menundukan wajahnya dan enggan melihat ke arahku.
"Oya, Pak. Nanti saya mau ke luar, ada acara sama teman-teman arisan saya. Tolong Pak Slamet jaga rumah ya," tambahku. Tentu saja, aku akan ke luar untuk menyusul Mas Ari di tempat itu.
"Pak Ari bilang, kalau Nyonya Vina mau pergi harus saya yang antar. Tadi Pak Ari pesan seperti itu ke saya." Apa? Mas Ari benar-menjengkelkan. Keterlaluan sekali dia, menyuruh supir agar membatasi gerak-gerikku. Aku tidak bisa tinggal diam. Enak saja aku harus dikekang begini. Sedangkan dia, tengah asyik dengan wanita lain. Pikirku.
Aku harus memikirkan cara untuk membuat Pak Slamet tetap di sini dan tidak mengganggu rencanaku. Tapi, aku harus bagaimana?
Ah, iya. Aku baru ingat, mungkin Pak Slamet perlu diberi obat tidur. Agar ia tak mengacaukan semuanya.
Bagaimana jika obat tidur dalam secangkir kopi?
*
"Ya, udah, Pak. Saya masuk dulu," pamitku pada Pak Slamet dengan senyum simpul."Iya, Nya." jawabnya dengan anggukan pelan.
Aku pun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke dapur. Rencanaku membuat kopi yang akan kuberi obat tidur untuk Pak Slamet.
Kuraih cangkir berwarna putih porselen dari rak yang berada di dekat dispenser. Lantas menuang satu saset kopi bubuk yang sudah lengkap dengan gula di dalamnya.
Uap panas dari kopi yang baru saja kutuangi air panas mengepul menguarkan aroma harum yang khas. Namun, siapa sangka jika kopi harum ini nanti akan membuat mata menjadi merasa nyaman dan ingin terpejam beberapa saat.
Kuletakan cangkir tersebut. Lalu mengambil obat tidur yang berada di laci bufet. Gegas kutuang bubuk dalam kapsul obat tidur berwarna gelap yang seukuran ujung jari kelingking tersebut. Tara ... dan jadilah secangkir kopi yang akan menghanyutkan.
'Maaf, ya, Pak Slamet. Saya hanya ingin anda tidak menggagalkan rencana saya,' gumamku dalam hati.
"Mau ke mana, Mbok?!" kebetulan Mbok Darmi melintas ke arah belakang.
"Mau ambil cucian, Nya." balasnya seraya mendekat.
"Oh, Mbok tolong kasih kopi ini ke Pak Slamet ya,"
"Iya, Nya. Siap!" tanpa bertanya lebih rinci. Cangkir beserta nampan ini sudah pindah ke tangan Mbok Darmi. Sejurus kemudian, wanita berusia empat puluh tahun itu sudah melenggang ke arah garasi. Rumahku memang garasi dan teras terhubung pintu yang bisa langsung menuju ke arah luar. Jadi, Mbok Darmi tidak perlu lewat ruang tamu.
Tinggal menunggu Pak Slamet meminum kopi itu dan menyaksikannya tertidur pulas. Setelahnya aku akan pergi menyusul Mas Ari..
Entah dengan siapa dia di mall, apa jangan-jangan sama Mama mertua? Ataukah sama kekasih gelapnya. Ah, jika aku terus memikirkan itu. Lama-lama bisa emosi aku. Tahan, tahan. Lalukan semua dengan cara cantik Vina, jangan gegabah.Kutarik napas panjang. Dan menghunuskannya ke udara. Menenangkan gejolak yang rasanya semakin merongrong di jiwa.
Kugelengkan kepala dengan mengerjap rapat. Menghalau segala pikiran buruk dalam kepala.
Mataku reflek menyipit. Tatkala melihat siapa yang datang. Mbok Darmi sudah kembali.
"Kopinya sudah saya kasihkan ke Pak Slamet, Non. Katanya enak." cecar Mbok Darmi yang baru saja tiba di depanku. Iyalah kopinya enak, itukan buatan pabrik. Sekalian juga kububuhkan sedikit obat tidur. Biar nggak merecoki urusanku. Tapi, nanti jika Mas Ari marah karena Pak Slamet nggak menjemputnya. Gimana ya? Kok aku jadi ngerasa bersalah gini.
Duh, perasaanku mendadak kalut. Ah udahlah, mendingan aku pikirin nanti saja. Semoga Pak Slamet nanti bangung tepat waktu. Tapi setelah aku selesai mengorek apa pun tentang Mas Ari.
Aku kembali ke kamar untuk mengambil masker dan jaket. Agar Mas Ari tak mengenaliku nanti jika aku menguntitinya.
*
Napas ini mengunus lega saat melihat Pak Slamet sudah terkulai di lantai. Seperti yang kuperkirakan, ia tertidur pulas setelah meminum kopi buatanku.
Kututup pintu rumah dan beringsut pergi ke mall Plaza. Tak lupa mengenakan masker juga jaket boomber yang sudah kupersiapkan tadi.
Kulirik jam tangan sekilas. Angka baru menunjukan pukul lima sore. Semoga Mas Ari masih di tempat itu.
Mobil yang kukendarai dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Beradu dengan bising suara kendaraan lain. Jalannya lumayan ramai, pasti sebentar lagi akan macet karena memasuki waktu pulang kerja.
*
Sekitar setengah jam. Aku sampai di parkiran mall plaza. Langkah ini kian terpacu cepat. Agar sampai pada tempat tujuanku. Yaitu mencari keberadaan Mas Ari.Kusapu pandangan keseluruh penjuru mall. Belum kutemukan sosoknya.
Lamat-lamat kaki ini melangkah. Menyusuri setiap toko yang menjual berbagai macam barang. Belum juga kudapati batang hidungnya.
Kemana sih dia? Agak susah juga nyari satu lelaki di tempat umum begini. Rutukku dalam hati.
Akhirnya kuputuskan untuk ke lantai atas. Setelah menaiki eskalator. Mataku tertuju pada jajaran toko yang menjual mukena di sebrang sana. Lelaki yang kucari ada di sana. Ngapain Mas Ari di toko mukena?
Eh tunggu!
Itukan mamanya Mas Ari. Apa Mas Ari sengaja ngajak Mama buat beli mukena. Karena sebentar lagi akan memasuki bulan ramadhan.
Kalau begitu, syukurlah. Kecurigaanku tidak terbukti. Tapi soal cincin bernama Marisa itu bagaimana? Ah, rumit sekali masalah ini.
Kucoba untuk mendekat. Namun sasaranku toko di sebelahnya. Toko baju muslimah itu akan kujadikan tempat menguping dan berpura-pura membeli baju.
"Ma, kira-kira mukenanya pilih yang mana ya?" tanya Mas Ari pada mamanya. Dia tidak tahu kalau istrinya sedang di dekatnya.
"Pilih yang paling bagus dan mahal dong." kata Mama disela aktivitanya membolak balik kain putih berenda itu.
"Mas ...." munculah wanita dari tempat ganti baju. Siapa dia? Kenapa manggil suamiku dengan sebutan Mas.
Bersambung
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 65"Duh, maaf ya, Mas. Saya nggak sengaja," ucapku segera ikut tertunduk memunguti barang-barang yang berupa makanan ringan tersebut.Aku dan orang yang tadi kutabrak menggunakan troli itu sama sama tercengang ketika saling tatap."Kamu!" ucapku tertahan. Bisa-bisanya ya, aku juga ketemu dia di sini."Bu Vina, bisa-bisanya ya kita ketemu juga di sini?" Perkataan William mewakili apa yang aku katakan dalam hati."Haduh, nggak di kantor, enggak di mall. Semua ketemunya sama kamu kamu aja Will." Aku bersungut."Lagian sih, Bu Vina kenapa na
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 64"Papaku meninggal Vin. Barusan aku dapat telepon dari pihak rumah sakit. Katanya mamaku yang menyuruh pihak rumah sakit buat melepaskan semua alat medis yang dipakai Papa karena kami sudah tidak mampu membayar.""Innalilahi wainnailaihi rojiun," ucapku dengan dada yang berdegup cepat. Teringat pada masanya aku pernah ditinggalkan Ibu pulang ke Rahmatullah.Isak tangis terdengar dari sambungan telepon."Jess, ini sekarang kamu lagi ada di mana? Masih ada di kontrakan 'kan? tanyaku juga panik."Iya, Vin. Aku mau ke rumah sakit tapi aku nggak punya uang buat naik ojek."Aku menghela napas. Ya Allah, tadi aku lupa nggak ninggalin uang buat Jessica."Kamu tunggu aku ya, jangan ke mana-mana. Aku akan segera ke kontrakan kamu
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 63Jessica langsung menutup wajah dan meletakan ponsel yang masih menyala itu di atas kasur. Aku heran dengan perangai anehnya.Lekas kulihat gawai itu dan membaca pesan di sana. Begitupun sebuah foto testpack bergaris dua yang dikirim seseorang.Nomor bernama Mama itu yang mengirimkan foto alat tes kehamilan dengan garis dua dengan pesan bertuliskan.[Jessica! Ini apa maksudnya?! Mama menemukan testpack ini di tempat sampah kamar kamu.]
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 62"Di jalan Cempaka dekat dengan toko kue."Degh!Jalan Cempaka? Dekat dengan toko kue? Jangan-jangan …."Kamu kenapa Vin?""Hah, apa?!" Aku terhenyak saat Jessica mengibaskan tangan di depanku. Ah, pasti tadi aku melamun karena memikirkan nama jalan itu."Kok kamu ngelamun?" Jessica menatapku heran."Eh, enggak pa-pa kok. Oya, kamu sudah puas belum jenguk papamu? Kalau sudah ayo kita ke rumahku, soalnya udah mau malam."
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 61Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sebegitu tahunya Jessica tentang hidupku juga sekitarku."Vina, dosa nggak sih kalau aku menggugurkan bayi haram ini?""Astaghfirullahaladzim, Jessica!"Aku sontak beristighfar mendengar pertanyaan konyol dari Jessica. Bisa-bisanya dia berpikiran hal bodoh begitu."Katanya kamu seorang Islam. Kalau kamu muslim, pasti kamu tahu hal itu dosa apa enggak." Kucetuskan dengan tegas."Tapi aku sama sekali nggak menginginkan anak ini lahir Vin. Kamu nggak tahu gimana rasanya jadi aku." Jessica protes. Dan
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 60Menjalani hari-hari kami masing-masing tanpa bertutur sapa lagi seperti sebelumnya.Mataku berkaca-kaca, menatap seonggok cincin berkilau yang Panji berikan padaku. Aku akan menjaganya, sebagaimana pesan yang ia katakan sebelum pergi.Aku masih berdiri dengan tubuh kaku seolah berat untuk beranjak pergi meninggalkan bandara ini.Punggung Panji semakin jauh dan jauh. Meski samar terlihat ia menoleh ke arah sini. Itu tidak akan membuat perpisahan kami tertunda.Selamat jalan, kasih. Semoga kau segera bisa lekas sembuh dan bisa berlari lagi mengejar apa yang belum tersampaikan. Aku berdoa dalam diam. M