LOGINDua raksasa di hadapanku tidak memberi waktu untuk basa-basi. Pria dengan tato kalajengking di lehernya bergerak lebih dulu. Tubuhnya masif, tapi kecepatannya mengerikan. Sebuah pukulan hook kanan melayang ke arah kepalaku, membawa deru angin yang mematikan.Insting lamaku berteriak untuk menghindar, tapi tubuhku bereaksi sepersekian detik lebih lambat.Bugh!Tinjunya tidak menghantam rahangku, tapi menyerempet bahu kiriku dengan keras. Aku terhuyung mundur, keseimbanganku goyah. Belum sempat aku menapakkan kaki dengan benar, si Kepala Plontos sudah menyapu kakiku dengan tendangan rendah, disusul sebuah lutut yang menghujam telak ke ulu hati."Ugh!"Darah segar menyembur dari mulutku. Pandanganku memutih sesaat. Paru-paruku seolah diperas hingga kering. Tubuhku terlempar ke belakang, menghantam tumpukan peti kayu hingga hancur berkeping-keping."Cuma segini kemampuan Tuan Muda Veleno?" ejek si Tato Kalajengking sambil meludah ke lantai.Aku mencoba bangkit, menyeka darah di dagu. Namu
Deru mesin motorku membelah kesunyian distrik industri di pinggiran Lunaris. Udara malam yang lembap menusuk pori-pori, tapi panas di dadaku jauh lebih membara. Lokasi yang dikirimkan Alfonso adalah sebuah gudang tua terbengkalai yang dikelilingi pagar kawat berkarat. Di depannya, dua buah mobil SUV hitam terparkir dengan lampu sen yang masih berkedip.Begitu aku menghentikan motor, sesosok pria tegap dengan jas abu-abu yang kini tampak sedikit berantakan melangkah keluar dari kegelapan."Tuan Muda," Alfonso membungkuk dalam, suaranya rendah namun penuh dengan getaran amarah yang tertahan. "Semua sudah siap. Tikus-tikus itu ada di dalam. Mereka sedang merayakan 'hasil jarahan' malam ini."Aku turun dari motor tanpa melepaskan helm, hanya membuka kaca depannya saja. Tatapanku lurus menembus pintu besi gudang yang tertutup rapat."Jangan buang waktu. Aku tidak punya banyak waktu sebelum matahari terbit," kataku dingin.Aku melangkah lebar menuju pintu masuk utama. Alfonso mengikuti tepa
Aku memarkirkan motor tua-ku di halaman rumah dengan sangat hati-hati, memastikan suaranya tidak membangunkan seisi rumah. Suasana sudah sangat sepi. Lampu ruang tengah sudah diremangkan, menandakan Papa Surya dan Mama Lydia sudah masuk ke peraduan mereka.Aku melangkah masuk, membawa plastik berisi kopi kaleng dan rokok di tangan sebagai bukti alibiku tadi. Langkahku terasa berat saat menaiki tangga. Kepalaku masih penuh dengan insiden dua preman itu yang kemungkinan mencatut nama Veleno, tapi setidaknya aku merasa sedikit lebih lega karena Alfonso sedang mengejar mereka.Begitu membuka pintu kamar, aku tidak melihat Amanda di atas tempat tidur. Suara kucuran air shower yang deras terdengar dari kamar mandi. Dia sedang mandi.Aku meletakkan kunci motor dan juga bungkusan berisi rokok dan kopi di meja, lalu berniat melepas jaket. Namun, mataku terpaku pada ponsel Amanda yang tergeletak di atas nakas. Layarnya menyala terang, menampilkan sebuah video yang sedang terputar tanpa suara.A
Pintu kaca lobi klub terbuka dengan kasar, menghantam dinding.Sosok Alfonso muncul. Raja dunia bawah tanah itu berlari terbirit-birit keluar dengan napas ngos-ngosan, wajahnya yang gemuk pucat pasi seputih kertas. Empat pengawal pribadinya berlari susah payah di belakangnya, mencoba menyamai langkah bos mereka yang sedang ketakutan."Bos?" Bouncer itu menurunkan tangannya, bingung melihat bos besarnya lari seperti orang dikejar setan. "Bos Alfonso. Ini ada gembel yang ngaku-ngaku kenal Bo—"PLAAAK!Sebuah tamparan sekeras halilintar mendarat di pipi bouncer itu.Tubuh raksasanya terpelanting, berputar setengah lingkaran sebelum jatuh tersungkur mencium aspal. Darah segar langsung mengucur dari sudut bibirnya."Goblok!" teriak Alfonso dengan suara menggelegar, matanya melotot nyaris keluar. "Matamu buta?! Ini tamu paling penting di dunia ini, bangsat!"Alfonso tidak mempedulikan bouncer yang memegang pipinya dengan bingung. Dia langsung berbalik ke arahku, mengabaikan tatapan kaget pa
Aku berdiri di depan cermin kamar, menatap pantulan diriku. Aku sudah berganti pakaian dengan hoodie hitam longgar dan celana taktis berwarna gelap. Sebuah topi bisbol kutarik rendah hingga menutupi sebagian wajahku.Pesan dari Jonathan yang menunjukkan markas Alfonso, membuatku langsung bergerak.Aku melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan langkah ringan tanpa suara.Tepat di ujung tangga, aku berpapasan dengan Amanda. Dia baru saja hendak naik ke kamar, wajahnya terlihat lelah.Langkah Amanda terhenti saat melihat penampilanku yang serba tertutup. Dia menatapku dengan alis sedikit terangkat."Mau ke mana malam-malam begini, Rey?" tanyanya heran.Aku memasang senyum tipis, wajah polos andalanku langsung terpasang otomatis."Mau cari angin sebentar ke minimart depan," jawabku santai sambil memutar kunci motor di jari telunjuk. "Stok rokok habis, mau cari kopi kaleng juga biar melek."Aku memberi jeda sebentar, lalu menambahkan alasan teknis agar dia tidak curiga."Sekal
Keheningan menyelimuti kedai Roti Bakar Pak Jo setelah kedua preman itu lari terbirit-birit seperti anjing yang ekornya terbakar. Para pelanggan yang tersisa masih menatapku dengan pandangan ngeri bercampur kagum. "Nak Rey..." Pak Jo mendekat dengan tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. "Nak, nggak apa-apa? Aduh, Nak... kenapa dilawan? Mereka itu orang jahat. Nanti kalau mereka balik bawa pasukan gimana?" Aku tersenyum tipis, merubah aura membunuhku kembali menjadi pemuda ramah. "Tenang saja, Pak Jo. Mereka nggak akan berani balik lagi dalam waktu dekat. Tulang rusuk patah butuh waktu lama buat sembuh." Aku mengeluarkan dompet, mengambil beberapa lembar uang merah dan meletakkannya di meja. "Ini buat ganti rugi meja yang ditendang tadi, sama bayar pesanan saya." "Eh, nggak usah, Nak! Nggak usah!" tolak Pak Jo panik. “Nak Rey udah nolong kami. Jadi kami kasih gratis.” "Ambil aja, Pak. Rezeki nggak boleh ditolak," paksaku halus sambil menaruh uang itu ke tangan Pak Jo yang kerip







