Nayla Joevantika, berusia 22 tahun. Dia seorang gadis buruk rupa yang menghadapi kehidupannya dengan penuh tantangan. Lahir dari keluarga yang tidak harmonis, ayahnya kasar dan tukang selingkuh, sementara ibunya menderita penyakit ginjal akut. Seolah penderitaannya itu belum cukup, Nayla dijadikan tumbal oleh keluarganya sendiri. Nayla dipaksa menikahi pria buta dari keluarga konglomerat demi menyelamatkan bisnis keluarga yang mengalami krisis. Namun, kehidupannya mengalami perubahan drastis setelah pernikahannya.
ดูเพิ่มเติม“Ah, Cassandra! Kamu luar biasa, Sayang .…”
“Adrian, aku tak menyangka kamu begitu tangguh!” Wajah Nayla merona merah melihat adegan panas di ponselnya. Video dewasa itu dia ambil dari sebuah situs 18+. Malam ini adalah malam pertamanya. Walaupun suami Nayla berasal dari keluarga konglomerat, sayangnya dia menikah dengan laki-laki buta. Nayla duduk di tepi ranjang besar, menunggu suaminya selesai mandi. Saat tadi memandikan suaminya, dia melakukan kesalahan. Jadi, dia diusir keluar dari kamar mandi. Nayla tidak tahu, ada sepasang mata hitam tajam mengarah padanya. Apakah mungkin, seseorang yang buta bisa menatapnya tajam seperti itu? “Kamu nonton apa?!” Nada marah itu berasal dari Evan Daviandra–suaminya. Nayla lupa mengecilkan volume ponselnya. “Oh, astaga!” pekik Nayla, terkejut dengan kehadiran Evan. Ponsel di tangan Nayla nyaris terjatuh. Dia menoleh ke belakang, melihat Evan berjalan sambil meraba-raba dinding putih tulang. Nayla meletakkan ponsel di atas ranjang dan bergegas menghampiri Evan untuk membantunya berjalan. “I–itu ... bukan apa-apa,” jawab Nayla, terbata. Menikah dengan laki-laki buta tidak membuatnya malu ataupun risih. Dia justru memperlakukan Evan dengan sangat hati-hati dan lembut layaknya seorang istri yang baik. “Evan, apakah kita langsung mulai atau ... mau melakukan pemanasan dulu?” tanya Nayla, lembut. Sehari sebelum pernikahan, Nayla mengunduh beberapa video dewasa demi memuaskan suaminya. Karena Evan buta, maka Nayla harus agresif bermain di atas ranjang–setidaknya, seperti itulah artikel dan video tentang malam pertama pernikahan yang dia dapatkan. Sambil berjalan, Evan mencibir, “Kamu sepertinya sangat ahli, ya!” Nayla gugup menggeliatkan jari-jari saat Evan mendesaknya dengan cibiran yang menusuk. “Bukan begitu, Evan. Itu hanya ....” Kata-katanya menggantung, seolah sulit sekali menemukan kata yang tepat. Evan menatapnya dengan pandangan kosong, sementara senyum miris terukir di sudut bibirnya. “Lupakan saja!” pungkas Evan. Evan merasakan kegugupan Nayla, jadi dia memilih untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Nayla menghela napas lega. Matanya turun menatap lantai sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan langkah. Dia membantu Evan duduk dengan lembut di tepi ranjang. Nayla mencondongkan tubuhnya, mencoba menawarkan secangkir teh dengan tatapan lembut. “Kamu mau teh sebelum tidur?” tanya Nayla, penuh perhatian. Nayla berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk suaminya, meski masih terbilang amatir. Evan hanya menggeleng ringan dan menolak tanpa menoleh ke arah Nayla. “Nggak, makasih.” Nayla mengangguk pelan. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang penuh bekas luka bakar. “Ya sudah, kalau kamu tidak mau,” sahut Nayla. Meskipun wajah Nayla dipenuhi bekas luka, dia tidak mengkhawatirkan penampilannya lagi. Karena Evan yang buta, tentu tidak bisa mempermasalahkannya. Karena itulah, Nayla merasa sangat percaya diri di hadapan Evan. Karena Nayla terdiam cukup lama, Evan menoleh ke arahnya. Dia bermain dengan pikirannya sendiri. “Kamu yakin, mau hidup bersama Suami buta seperti aku?” Suara Evan berat dan dingin. Nayla terkejut mendengar pertanyaan mendadak itu. “Memangnya kenapa? Aku juga cuma manusia biasa." Suara Nayla begitu lembut. Namun, ada sedikit kegetiran yang tersembunyi. Evan kembali bertanya, “Tidak sempurna? Karena luka di wajahmu?” “Itu salah satu alasannya dan ... demi Ibuku,” jawab Nayla. Nayla merasa, Evan tidak perlu tahu lebih jauh tentang masalah keluarganya. Terutama ancaman ayahnya–Ghavin. Evan mengernyitkan dahi. “Ibumu?” Evan kebingungan. Karena alasan Nayla yang tidak jelas, menambah rasa penasarannya. Dia tahu, Nayla masih sungkan dan tertutup kepadanya. "Sudahlah. Lagipula, kita sudah menikah, kan? Jadi, aku siap melayani kamu dengan baik malam ini.” Nayla perlahan menaiki ranjang dan duduk di samping Evan. Dia berusaha fokus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri yang patuh. “Evan, apa kita bisa mulai sekarang?” Nayla gugup. Dia menggigit bibirnya sedikit untuk meredam rasa gugupnya. Evan menantang dengan senyum sinis. “Menurut kamu?” Nayla tahu, dia yang harus memulai lebih dulu malam ini. Dia tidak bisa berharap banyak dari Evan yang tidak bisa melihat apa-apa. “Tunggu sebentar!" pinta Nayla. Nayla segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Dia ingin memastikan detail adegan di video 18+ sebelum memulainya lebih lanjut. ‘Aku harus lihat ini lagi,’ pikir Nayla. Kali ini, Nayla mengambil inisiatif untuk mengecilkan volume suara ponselnya. Dia tidak ingin Evan mendengar suara dari video yang akan diputar. Nayla menatap ponselnya dengan intens. Sesekali, matanya membesar memperhatikan setiap detail adegan panas di layar. Pipi Nayla memerah dan napasnya menjadi berat. Desahan lembut masih terdengar meskipun pelan. Desahan itu mampu memacu detak jantungnya yang semakin tidak menentu. “Hah! Mereka sangat bergairah.” Tanpa sadar, kata-kata itu terucap begitu saja dari mulut Nayla sambil menggigit bibirnya. Mendengar itu, Evan segera menoleh ke arah Nayla yang berada di sampingnya. Evan bertanya, “Kamu masih nonton video itu?” Nayla terkejut hingga ponselnya terlepas dari genggamannya begitu saja. “Bagaimana kamu bisa tahu aku nonton sesuatu?”“Aku benar-benar takut, Evan. Sungguh, aku takut.”Nayla terisak di dalam pelukan suaminya. Tak kuasa menahan rasa takut kehilangan ibunya.“Sudah sayang, kamu yang tenang, ya. Semuanya pasti bakalan baik-baik aja, kok,” bujuk Evan.Nayla mengangguk mengiyakan. Dia semakin membenamkan wajahnya di dada Evan.Sesampainya mereka di rumah. Nayla langsung melangkah masuk begitu saja, meninggalkan Evan di belakangnya. “Bu, tolong, Evan masih di belakang. Kamu samperin dia, ya,” pinta Nayla pada Rasti.Rasti mengangguk. “Baik, Nyonya.”Sementara Rasti segera menghampiri Evan. Nayla melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Dia menghela napas panjang, begitu membuka pintu.“Ya Tuhan … bagaimana ini? Bagaimana kalau Ibu tidak segera mendapatkan donor ginjal?” gumam Nayla, masih terbebani pikirannya mengenai Nasyila.Nayla melangkah masuk, menuju ke tempat tidur. Helaan napasnya berat, dadanya terasa sesak, dan pikirannya begitu kalut, ditambah tubuhnya yang terasa sangat lelah.Begitu sampai
“Untuk saat ini, donor ginjal tidak tersedia di rumah sakit ini.Dokter itu menjawab sambil memasang raut wajah menyesal.Nayla menatap dokter dengan tatapan nanar.“Lalu, bagaimana Dok? Apa yang harus saya lakukan?” tanya Nayla penuh desakan.Dokter itu menunduk sejenak, tampak berpikir keras.“Kami akan berusaha mencari donor ginjal secepatnya. Tapi, terus terang, Nyonya Nayla, waktu kita sangat terbatas. Kondisi ibu Anda bisa memburuk kapan saja,” balas sang Dokter.Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang kembali mendesak keluar. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Apa tidak ada rumah sakit lain yang memiliki donor ginjal?” tanya Nayla kembali.“Kami sudah menghubungi beberapa rumah sakit besar di negara kita, tapi hasilnya nihil. Semua rumah sakit juga sedang kekurangan donor ginjal,” jawab dokter dengan nada menyesal.Nayla terduduk lemas di kursi tunggu. Dunianya terasa runtuh seketika. Ibunya membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya, tapi rumah sakit tidak memi
“Maaf, Bu. Ibu nunggu lama, ya?”Nayla masuk ke dalam mobil, menatap Nasyila dengan khawatir. Disusul, Evan juga masuk ke dalam. Kali ini, Evan duduk di kursi depan, samping Tommy yang menyetir mobil mereka.“Nggak apa-apa, Nay. Ibu senang, kok, karena akhirnya Ibu bisa pergi,” balas Nasyila dengan lembut.Nayla menghela napas lega, kemudian menyunggingkan senyuman kaku. “Syukurlah, untung Evan datang.” Nayla menoleh ke depan, melihat suaminya yang duduk di kursi depan mobil, selalu kembali tersenyum.“Lain kali, jangan datang ke sini sendirian, ya, sayang,” peringat Evan dengan nada dingin. “Aku khawatir, kamu tidak bisa menangani mereka sendirian.”Nayla menghela napas panjang, kemudian tertunduk lesu.“Maafin aku, Evan. Pikiranku terlalu kacau, aku tidak berpikir sampai kesana,” keluh Nayla dengan nada sedih.Evan menghela napas berat. Dia mengerti, kenapa istrinya bisa memiliki pikiran yang cukup kotor. ‘Pasti kamu masalah di hotel,’ pikir Evan.“Maaf, aku sudah membebanimu den
“Kamu berani mengancam ayah mertuamu sendiri, Evan?!”Marissa langsung ikut angkat bicara dengan nada tinggi. Tatapannya tajam, menatap Evan tanpa rasa takut. Evan tersenyum sinis. Semakin lama, dia semakin paham bagaimana karakter masing-masing dari anggota keluarga istrinya. “Kalau memang itu diperlukan. Apa boleh buat?” sahut Evan dengan entengnya. Ghavin mendengus kesal. Mencoba mengontrol emosinya. Karena dia tahu, menantunya Evan tidak akan mudah ditundukkan seperti putrinya, Nayla. Dia harus menghadapinya dengan hati-hati. “Bukan begitu maksud Papa, Evan. Tapi, kamu juga kan seorang suami. Harusnya kamu tahu kan posisi Papa?” Ghavin mencoba menjelaskan dengan tenang dan lembut. “Bagaimana perasaan kamu, tiba-tiba istrimu sendiri dibawa tanpa seizinmu?”Evan tertunduk sesaat sambil tersenyum sinis. Dia merasa kalau perkataan ayah mertuanya itu sama sekali tidak masuk akal. Karena, sama sekali tidak mencerminkan tindakannya sendiri. “Enteng sekali Anda berbicara seperti itu,
“Tidak bisa! Kamu nggak bisa pergi dari sini. Aku tidak akan mengizinkanmu, Nasyila!”Ghavin melotot tajam. Menentang keras rencana Evan dan Nayla membawa Nasyila tinggal di rumah mereka.Nayla maju selangkah lebih dekat kepada ayahnya. Wajahnya terangkat, seolah menantang sama ayah dengan penuh keberanian. “Kenapa, Pa? Kenapa Papa nggak mau kalau aku ajak Ibu untuk tinggal di rumah kami?” tanya Nayla dengan nada menantang. Ghavin mendengus kesal. Tatapan tajamnya kini berarah kepada Nayla. “Nggak! Pokoknya Papa nggak bakal mengizinkan kalian membawa Ibu kalian pergi dari sini!” pungkas Ghavin menegaskan.Mendengar itu, Evan terdiam namun tatapannya menusuk tajam ke arah ayah mertuanya. Auranya terasa mencekam, sekaligus dingin, namun penuh otoritas. “Anda mengizinkan atau tidak, kami tetap akan membawa Ibu pergi dari sini!” Evan pun ikut mengambil keputusan dengan tegas. Membuat Ghavin tercengang menatapnya.“Kenapa? Anda keberatan, Tuan Ghavin?” Lanjut Evan bertanya dengan penu
“Kalian mau kemana?”Adelia dan Marissa seketika menghadang Nayla, dan Evan yang keluar bersama dengan Nasyila.“Mau dibawa kemana, dia?” tanya Adelia kembali mendesak.Nayla yang berdiri tegap, menelan ludahnya sambil melayangkan tatapan tajam kearah mereka berdua.“Aku mau bawa Ibu ke rumah sakit. Lalu, Ibu bakalan tinggal bareng kami.” Sejenak, Nayla melirik pada Nasyila. Lalu balik lagi menatap Adelia dan Marissa dengan tatapan tajam. “Kalau kalian mencoba menghalangiku. Aku pastikan, akhirnya nggak akan baik untuk kalian berdua,” lanjut Nayla mengancam.Adelia tertawa sinis, lalu melipatkan kedua tangannya di dada. Mengangkat wajahnya dengan angkuh. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin yang menusuk, dengan tangannya yang menunjuk tajam ke arah Nasyila.“Oh, jadi kamu mau bawa beban itu keluar dari rumah ini?” tanya Adelia dengan merendahkan, penuh sindiran terselubung. Nayla yang berdiri tak jauh dari situ, dadanya naik-turun menahan amarah, mendengus keras. Tatapannya membar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น