Untuk beberapa detik, aku hanya berdiri diam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada apapun yang Amanda ucapkan malam ini.
Langkahnya terdengar pelan namun mantap, setiap hentakan tumitnya seperti membawa pesan yang tak diucapkan. Tatapannya seperti biasa—menusuk, dingin, seolah bisa menembus lapisan terdalam diriku. “Gaji kamu sebagai room service di hotel itu kecil sekali, Rey,” ucapnya, suaranya datar tapi menusuk seperti pisau tipis yang sudah lama diasah. “aku malu punya menantu miskin. Tidak bisa dibanggakan.” Aku hanya diam. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar ucapan serupa. Lidahku seakan kelu, bukan karena takut, tapi karena lelah. Kata-kata seperti ini sudah seperti hujan di musim penghujan—datang setiap hari, tanpa diminta. Aku menghela napas panjang seraya berkata dalam hati, “Ya, aku tahu aku bukan menantu idamanmu. Tapi, apa semua orang harus diukur dari isi dompetnya?” Ia berbalik, hendak kembali ke kamarnya. Namun tiba-tiba langkahnya goyah. Ada suara kecil seperti sendi yang tertarik. Tubuhnya miring, dan wajahnya sekejap menegang. “Aduh…” gumamnya lirih. Refleks aku melangkah cepat, menangkap lengannya sebelum ia jatuh sepenuhnya. “Hati-hati, Ma.” “Aku bisa sendiri,” balasnya cepat, menepis tanganku. Tapi aku menahan. Dari rautnya yang meringis dan suara yang tadi kudengar dari kakinya, ini bukan hal sepele. “Nggak, Ma. Duduk dulu, sebelum tambah parah,” ucapku tegas. Tanpa banyak kata, aku membopongnya menuju sofa ruang tamu. Tubuhnya terasa ringan, aroma samar parfumnya menguar—wangi yang lembut namun menusuk hidung, membuatku sedikit kikuk. Dalam jarak sedekat ini, aku melihat garis-garis halus di sudut matanya, kulitnya yang terawat, dan tatapan yang untuk pertama kalinya tak sekeras biasanya. Perlahan aku membaringkannya di sofa. Aku melihat pergelangan kakinya memerah. “Kaki mama keseleo. Biar aku pijat pelan, ya, supaya bisa cepat sembuh.” Ia hendak menolak, bibirnya bergerak, tapi entah kenapa kata-kata itu tidak keluar. Akhirnya ia hanya bersandar, membiarkanku duduk di depannya. Aku mulai memijat perlahan, menekan titik-titik di sekitar pergelangan kaki. Kulitnya hangat. Saat jemariku bergerak, tatapanku sesekali naik. Baru kali ini aku memandanginya lama, menyadari bahwa ia sebenarnya cantik—cantik dengan cara yang berbeda. Bukan sekadar paras, tapi ada daya tarik yang sulit dijelaskan. Mataku tanpa sadar bergerak ke arah pahanya. Nafasku mulai tak teratur saat melihat kulitnya yang mulus. Aku mencoba mengalihkan pandangan, namun sudut mataku tetap curi-curi kesempatan. Aku mencoba memijat lebih ke atas lagi namun dengan perlahan. Aku ingin tahu apa responnya ketika tanganku ini menyentuh kakinya lebih ke atas. Ketika mencapai betis, dia diam. Aku turunkan lagi sampai ke pergelangan kaki, lalu menaikkan lagi. Kali ini lebih atas sampai sedikit di atas lutut. Aku sempat diam dan melirik wajah ibu mertuaku itu dengan ujung mataku. Dia terpejam. Tubuhnya diam saja. Hal ini membuatku lebih berani. Kini aku naikkan lagi lebih atas dan sampai ke pahanya. Namun ibu mertuaku masih diam saja. Sudah jelas kalau tanganku sudah jauh dari pusat sakit, namun ibu mertuaku masih diam saja. Apakah dia menikmatinya? Atau dia malah tertidur? Gairahku menguat. Aku merasakan desakan di celana yang mulai menyiksa karena ternyata tongkat ajaibku telah mengeras. Jemariku kini bergerak lebih tinggi lagi, menyentuh tepi lingerie-nya dan sampai ke pangkal paha. Hangat kulitnya merambat ke kulitku, membuat dadaku terasa sesak oleh sesuatu yang sulit dikendalikan. Di kepalaku, sebuah bisikan nakal muncul: “Sentuh dia. Dia pasti suka…” Ketika aku mau sudah menyentuh pinggiran celana dalam, aku langsung menggelengkan kepala dengan keras. “Astaga, Rey … apa yang kamu lakukan? Dia itu mertuamu!” Buru-buru, aku menurunkan tanganku, tidak berani melanjutkan. Selain ingat jika dia adalah mertuaku, aku juga takut kalau nanti ibu mertuaku itu teriak. Jika itu terjadi, tamat hidupku! Aku kembali menatap wajah mertuaku, ternyata kini, ia juga sedang menatapku. Sempat terkejut, namun aku menyadari sesuatu, tidak ada tatapan dingin, tidak ada sinis. Ada sesuatu yang berbeda—hangat, tapi juga penuh tanda tanya. Tangan kanannya bergerak pelan, menyentuhku tanganku, terus ke bawah sampai ke … tongkat ajaibku. Hal ini membuatku terkejut. Aku ingin bangun, namun tidak bisa. Sentuhan itu terasa begitu nikmat. Tangan kirinya kini menyentuh wajahku, lalu ke lebar dan menarik pelan, membuatku jadi lebih dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih kencang. Ruangan seakan menjadi lebih hening dari sebelumnya. Tak ada suara, hanya tatapan yang saling mengikat dan … suara napas yang semakin cepat dan berat. Apakah aku akan melakukannya? Apakah ini boleh? Tapi … tapi aku tidak bisa menahannya.“Nggak, ini… istri temanku. Aku cuma mau tahu aja gimana perasaan suaminya itu,” kataku, terbata.Haris menyipitkan mata, menatapku lekat-lekat seperti sedang membaca isi kepalaku. “Tapi kenapa kamu sangat ingin tahu, Rey? Kamu ngomongnya itu, kayak kamu pemeran utamanya.”Aku tercekat. Tangan gemetaran, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Aku paksa bibirku tersenyum, walau jelas terlihat kaku. “Nggak, aku cuma penasaran aja. Menarik gitu lho… gimana rasanya seorang suami menghadapi situasi begitu. Lagian… aku juga membayangkan, kalau… kalau itu terjadi ke istriku…” Suaraku makin mengecil, nyaris hilang.Aku buru-buru menunduk, pura-pura merapikan baju kerja. Jantungku berdetak keras, seolah bisa terdengar orang di sekitarku. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga rasa bersalah karena barusan aku tanpa sadar mengakui kalau aku pernah membayangkannya.Haris tersenyum miring, lalu menepuk bahuku pelan. “Rey, jangan dibayangin. Nanti kamu bisa gila sendiri. Istrimu itu nggak akan pernah
Tentu saja aku panik, namun aku harus bersikap normal untuk menutupi yang baru saja terjadi.“Jangan berpikir yang macam-macam. Aku cuma membantu dan wajah mama yang merah itu karena dia kesakitan, bukan karena aku menyentuhnya,” kataku dengan nada tajam dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah benteng terakhirku.Amanda menatapku lama. Ada sorot yang sulit kutebak—antara ragu dan ingin percaya. Aku pun kembali merebahkan badan, kali ini benar-benar berpura-pura hendak tidur.Hening menyelimuti kamar untuk beberapa saat. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.“Aku nggak janji bisa menahan diri,” suara Amanda pecah di keheningan, lirih tapi jelas menusuk. “Kalau aku sampai melakukannya diam-diam… aku tahu itu jauh lebih salah. Tapi aku nggak bisa bohong soal apa yang aku mau, Rey.”Aku membuka mata. Bayangan punggung Amanda yang menatap ke arah pintu membuatku ingin bangkit.“Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara lebih rendah.“Tentang keinginanku itu.” Amanda menjawab dengan suar
Aku semakin dekat. Napas ibu mertuaku terdengar berat—teratur tapi ada getaran aneh, seperti menahan sesuatu. Dari jarak ini, aroma parfum lembutnya bercampur dengan hangat tubuhnya. Bau itu seperti masuk lewat hidung lalu mengusir semua logika yang tersisa di kepalaku.Tatapan Lydia tak berpaling, menempel pada mataku seakan ingin menembus isi pikiranku.“Mama…” suaraku serak, separuh ingin bertanya, separuh takut mendengar jawabannya.“Diam saja…” bisiknya, pelan tapi tegas.Tangannya meraih dadaku, jemarinya bergerak lambat menelusuri garis otot di balik kaus tipis yang kupakai. Sentuhan itu ringan, lembut… tapi cukup untuk membuatku kehilangan fokus, dan… kehilangan akal sehat.Aku menelan ludah. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang: satu langkah maju bisa menghancurkan segalanya, tapi entah kenapa kakiku justru ingin melangkah.Dia mencondongkan tubuh. Napasnya terasa di pipiku, lalu di leherku. Semakin dekat… hanya satu gerakan kecil lagi dan bibirnya akan menyentuh kulitku.“
Untuk beberapa detik, aku hanya berdiri diam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada apapun yang Amanda ucapkan malam ini. Langkahnya terdengar pelan namun mantap, setiap hentakan tumitnya seperti membawa pesan yang tak diucapkan. Tatapannya seperti biasa—menusuk, dingin, seolah bisa menembus lapisan terdalam diriku. “Gaji kamu sebagai room service di hotel itu kecil sekali, Rey,” ucapnya, suaranya datar tapi menusuk seperti pisau tipis yang sudah lama diasah. “aku malu punya menantu miskin. Tidak bisa dibanggakan.” Aku hanya diam. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar ucapan serupa. Lidahku seakan kelu, bukan karena takut, tapi karena lelah. Kata-kata seperti ini sudah seperti hujan di musim penghujan—datang setiap hari, tanpa diminta. Aku menghela napas panjang seraya berkata dalam hati, “Ya, aku tahu aku bukan menantu idamanmu. Tapi, apa semua orang harus diukur dari isi dompetnya?” Ia berbalik, hendak kembali ke kamarnya. Namun tiba-tiba langkahnya goyah. Ada suara k
Namun aku sadar, dia mertuaku. Nafasku tercekat dan buru-buru kututup pintu kamar mandi sebelum Lydia menyadari keberadaanku. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin muncul di pelipis. Apa yang barusan kulihat… tidak seharusnya kulihat. Aku mundur beberapa langkah, lalu cepat-cepat keluar dari kamar. Aku menjatuhkan diri di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku, padahal layar hanya menampilkan halaman kosong. Jemariku bergetar. Aku masih bisa membayangkan lekuk tubuh Lydia—dan itu membuatku semakin merasa berdosa. Tak lama, pintu kamarku terbuka. Aku buru-buru merapikan posisi duduk, menahan wajahku agar tetap terlihat tenang. “Kamu sudah pulang?” suara Lydia terdengar. Aku berpura-pura terkejut, menoleh ke arahnya. “Eh, iya, Ma. Baru aja sampai.” Dia berdiri di sana, rambutnya masih sedikit basah, wajahnya dingin seperti biasa. Dia menunjuk ke lantai dua, ke arah kamarku. “Tadi Mama pinjam kamar mandinya. Di kamar Mama, showernya rusak.” Aku cepat
Keesokan harinya, aku duduk di ruang istirahat belakang resepsionis hotel tempatku bekerja. Kursi kayu keras yang biasanya hanya jadi tempat singgah sebentar, kini terasa seperti jerat yang menahanku. Pikiranku masih melayang ke kejadian tadi malam. Amanda. Video itu. Dan pengakuannya—keinginan gila yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang wanita yang aku cinta. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasanya perutku mual memikirkan ulang. Bagaimana mungkin Amanda, istriku sendiri, bisa meminta hal semacam itu? Satu laki-laki, dua perempuan. Bertiga di ranjang. Apa dia sudah gila? Atau akukah yang sebenarnya ketinggalan zaman? “Rey!” Suara keras memotong lamunanku. Aku terlonjak kecil dan buru-buru menoleh. Haris berdiri di pintu ruang istirahat, wajahnya setengah heran, setengah kesal. “Kamu kenapa bengong aja?” tanyanya sambil melangkah masuk. “Eh, nggak. Ini… lagi banyak pikiran aja,” jawabku cepat, mencoba menata wajah agar tidak terlalu kelihatan kaca