Mag-log inNamun aku sadar, dia mertuaku. Nafasku tercekat dan buru-buru kututup pintu kamar mandi sebelum Lydia menyadari keberadaanku. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin muncul di pelipis. Apa yang barusan kulihat… tidak seharusnya kulihat.
Aku mundur beberapa langkah, lalu cepat-cepat keluar dari kamar. Aku menjatuhkan diri di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku, padahal layar hanya menampilkan halaman kosong. Jemariku bergetar. Aku masih bisa membayangkan lekuk tubuh Lydia—dan itu membuatku semakin merasa berdosa. Tak lama, pintu kamarku terbuka. Aku buru-buru merapikan posisi duduk, menahan wajahku agar tetap terlihat tenang. “Kamu sudah pulang?” suara Lydia terdengar. Aku berpura-pura terkejut, menoleh ke arahnya. “Eh, iya, Ma. Baru aja sampai.” Dia berdiri di sana, rambutnya masih sedikit basah, wajahnya dingin seperti biasa. Dia menunjuk ke lantai dua, ke arah kamarku. “Tadi Mama pinjam kamar mandinya. Di kamar Mama, showernya rusak.” Aku cepat mengangguk. “Oh, iya, Ma. Pakai aja. Lagian, ini kan juga rumah Mama.” Lydia tidak menanggapi lebih jauh. Dia berjalan melewatiku, langkahnya anggun namun terasa menusuk. Wajahnya tetap judes, seolah setiap kata yang keluar dari mulutku tidak ada nilainya. Begitu pintu kamarnya tertutup, aku menarik napas panjang. Baru beberapa menit pulang, tapi rasanya sudah seperti menghadapi ujian hidup. Aku kembali ke kamarku, langsung melepas pakaian dan masuk ke kamar mandi. Aroma sabun Lydia masih tertinggal di sana. Itu membuatku gugup. Aku mengguncang kepala, mencoba mengusir pikiran yang aneh-aneh. Namun begitu air mengalir di kepalaku, pikiranku malah kembali pada Amanda. Permintaan gilanya. Fantasi bertiga. Sungguh, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku pun mengambil ponsel, membuka peramban, dan menonton ulang video yang semalam ditonton Amanda. Adegan di layar itu membuat wajahku panas. Tok! Tok! Pintu kamar mandi diketuk. “Rey!” suara Amanda. Aku panik. Cepat-cepat menutup peramban, mengunci ponsel, lalu menjawab, “Iya… sebentar. Aku mandi dulu.” Aku buru-buru menyelesaikan mandiku. Begitu keluar, hanya handuk melilit pinggangku, Amanda sudah berdiri di kamar. “Kamu langsung mandi, tumben?” tanyanya sambil mengernyit. “Iya, badanku lengket. Banyak tamu tadi, agak capek,” jawabku. Dia hanya tersenyum tipis, lalu masuk ke kamar mandi. Tidak ada sentuhan seperti dulu, tidak ada tatapan manja pada tubuhku. Aku menatap punggungnya yang menjauh—dan hatiku semakin terasa jauh darinya. Malam itu kami makan bersama tanpa banyak bicara. Setelahnya, aku berbaring di kasur lebih dulu, berusaha memejamkan mata. Amanda menyusul, lalu naik ke tempat tidur. “Rey, bagaimana dengan pembicaraan kemarin?” suaranya pelan, tapi menusuk langsung ke dalam benakku. Aku membuka mata, menoleh ke arahnya. “Pembicaraan tentang itu?” Dia mengangguk penuh harap. “Aku ingin mencobanya, Rey. Kamu mau, kan?” Jujur, setelah menonton ulang video itu, aku mencoba meyakinkan diri untuk menuruti permintaannya—setidaknya sekali. Kalau gagal, aku bisa berhenti. “Ya, aku akan coba sekali. Kalau aku nggak bisa, kita nggak akan melakukannya lagi,” kataku akhirnya. Ekspresi Amanda langsung berubah cerah. Senyumnya merekah, matanya berbinar. “Benarkah? Kamu nggak bohong, ‘kan?” Aku mengangguk. “Iya. Tapi kasih aku waktu untuk mencari wanitanya.” Dia mengangguk cepat, wajahnya jelas bahagia. Sementara aku… merasa semakin terjebak. --- Tengah malam, aku terbangun. Tenggorokanku kering. Dengan malas, aku turun dari ranjang, mengambil gelas kosong, lalu keluar kamar. Rumah sunyi. Jam dinding di ruang tengah menunjukkan lewat tengah malam. Aku melangkah ke dapur, niatku hanya mengambil air dan sedikit menghirup udara segar. Namun langkahku terhenti. Di sana, di samping meja makan, berdiri seseorang. Lydia. Aku membeku. Apa yang kulihat membuat nafasku tercekat. Dia mengenakan lingerie merah marun—tipis, nyaris transparan. Tubuhnya yang masih sangat terawat seolah menantang mataku untuk terus menatap. Kulitnya putih, kencang, dan lekuk tubuhnya begitu jelas terlihat di bawah cahaya lampu dapur yang temaram. Di usianya yang 43 tahun, dia terlihat… luar biasa. Lebih seperti wanita 30-an. Seksi. Menggoda. Aku menelan ludah. “M-Mama?” suaraku tercekat. Dia menoleh, matanya menatapku dengan sinis. “Kenapa? Lihat-lihat?” nadanya menusuk. “Kalau cari makanan, nggak ada. Jangan makan malam-malam.” Aku buru-buru mengalihkan pandangan, mencoba tenang. “Nggak, Ma. Aku cuma mau ambil air putih.” Dia meneguk minumannya perlahan. Kemudian dengan tatapan tajam, dia berkata, “Kamu seharusnya cari pekerjaan yang bagus, Rey. Seenggaknya biar setara dengan Amanda. Sekarang ini Amanda memegang peranan penting di perusahaan kakeknya. Kalau ada orang bertanya suaminya kerja apa, itu membuatnya malu. Reputasinya pun jelek.” Aku mengernyit, mencoba menahan emosi. “Iya, Ma. Aku sedang berusaha, tapi memang belum dapat.” Senyumnya tipis, tapi matanya menajam bagai pisau. “Kalau kamu nggak segera dapat kerja yang layak, aku akan suruh Amanda menceraikanmu.” Aku terbelalak. “A-apa, Ma?” Dia mencondongkan tubuh, suaranya rendah tapi menusuk. “Sudah ada orang yang siap aku jodohkan dengan Amanda. Seseorang yang jauh lebih pantas darimu. Pengusaha muda yang sukses. Kaya. Tampan.”Setelah Haris pergi, aku hanya duduk diam di kursi, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata terakhirnya terus terngiang di kepalaku.“Kalau mau tahu yang sebenarnya, kamu harus mengalaminya sendiri.”Ucapan itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti kunci dari semua tanda tanya yang selama ini menggantung di pikiranku.Aku mendesah pelan, lalu mengacak rambutku dengan kasar.“Duh… Rey, apa yang sebenarnya kamu pikirin, sih?” gumamku kesal sendiri.Tapi semakin aku mencoba menepis, semakin jelas bayangan itu datang. Bayangan tentang Amanda… disentuh oleh wanita lain.Seharusnya aku tidak merasa terganggu. Bukankah wanita yang menyentuhnya dan bukan pria? Tapi kenapa tetap saja ada sesuatu yang terasa… menusuk di dada.Aku menggigit bibir, lalu menatap lantai. “Kenapa rasanya berat, ya?” bisikku.Seolah ada dua sisi dalam diriku yang sedang bertarung. Satu sisi ingin menolak, satu sisi lagi justru penasaran, ingin tahu seperti apa kenyataan yang sebenarnya.“Duh, bagaimana ini?”
“Ada apa, Ma? Merinding?” tanyaku pelan, setengah berbisik di dekat telinganya. Dia terdiam. Bahunya menegang, tapi aku bisa melihat napasnya yang mulai tidak beraturan. Dalam diam itu, aku tahu, ada sesuatu yang sedang dia tahan. Aku ingin memastikannya. Sebenarnya, apa yang kulakukan bukan karena nekat, tapi lebih karena rasa ingin tahu. Aku ingin tahu seberapa jauh Lydia bisa menahan gejolak hatinya. Apakah dia benar-benar membenciku seperti yang diucapkannya… atau justru sebaliknya? “Rey…” suaranya pelan, tapi tegas. “Jangan terlalu dekat.” Aku tersenyum kecil. “Kenapa? Mama takut?” “Bukan takut. Aku cuma… tidak suka. Kamu bisa bicara dari kursimu,” ucapnya dengan nada yang berusaha keras terdengar tegas, meskipun jelas ada getar samar di ujung suaranya. Aku masih diam di tempat, menatap tengkuknya yang halus dari jarak sangat dekat. Rambutnya sedikit terurai, menutupi sebagian bahunya. Aku bisa mencium aroma parfumnya—l,lembut tapi menusuk. Wangi yang sama seperti
Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu, bersiap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi di balik sana. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi begitu daun pintu terbuka, rasa tegang itu perlahan memudar.Ternyata hanya Rani, asisten rumah tangga kami.“Rani?” tanyaku, berusaha menormalkan nada suaraku.“Maaf, Pak, saya ganggu,” katanya sopan sambil menunduk. “Ibu Lydia nyuruh saya panggil Bapak untuk sarapan.”Aku sempat mengerjap. “Ibu Lydia?”“Iya, Pak. Katanya Bapak disuruh sarapan sekarang sebelum Rani pergi,” jelasnya.“Oh… iya, baik. Sebentar lagi saya ke bawah,” kataku pelan. “Terima kasih, ya.”Rani tersenyum kecil lalu berlalu.Aku masih berdiri di depan pintu, memandangi tangga yang menuju lantai bawah. Pikiranku langsung penuh tanda tanya.Kenapa Mama mertua tiba-tiba menyuruhku sarapan? Sebelumnya, tidak pernah ada kejadian seperti ini.Apakah dia… ingin melanjutkan hal yang kemarin? Atau justru sebaliknya, marah karena aku sudah lancang?Aku menata
Lagi-lagi pertanyaan Amanda itu membuatku terdiam. Bukan karena aku tak tahu harus menjawab apa, tapi karena aku takut. Ya… takut kalau satu kata yang salah bisa menyalakan api cemburu. Meskipun dia meminta fantasi itu, tapi bukan berarti dia ingin aku pacaran dengan wanita lain.Dia menatapku tanpa berkedip, dengan ekspresi datar tapi tajam seperti sedang membaca isi hatiku.Aku menelan ludah, mencoba memaksa bibirku untuk bergerak.“Iya... ini dari Bu Livia,” jawabku akhirnya, jujur tapi dengan nada hati-hati. “Dia cuma nanya, aku masih bangun atau udah tidur.”“Katanya tadi pesan kerjaan?” suaranya pelan, tapi dingin.“Ya, kan ini dari Bu Livia. Pasti, nanti juga akan bahas tentang kerjaan,” jawabku.Alis Amanda naik sedikit. “Dia cuma nanya itu aja?”“Iya,” jawabku cepat. “Mungkin mau bahas soal kerjaan, atau urusan kerajaan. Nggak ada apa-apa.”Amanda menunduk sejenak, lalu berbalik menuju lemari pakaian.Aku sempat menghela napas lega, tapi belum sempat benar-benar tenang, ponse
Pertanyaan Amanda barusan seperti pisau yang menggores pelan tapi dalam.“Apa kamu pengen karena membayangkan tubuh Livia… atau karena tadi lihat Mama cuma pakai handuk?”Aku terdiam.Sumpah, aku ingin membantah, tapi lidahku seperti terikat. Gambar Lydia dengan handuk yang menempel di kulitnya masih berputar di kepala—begitu pula bayangan samar tentang Livia, dengan senyum tenangnya yang kadang bisa membuat siapa pun kehilangan arah.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan bara yang sudah naik ke dada.“Amanda,” kataku akhirnya, nada suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksud, “kamu jangan mikir yang aneh-aneh! Nggak ada hubungannya sama mereka!”Amanda menatapku lekat-lekat, tidak mundur sedikit pun. “Lantas?” tanyanya dingin.“Kalau bukan karena mereka, lalu karena apa kamu bilang lagi pengen?”Aku mendesah pelan, lalu melangkah setengah mendekat.“Aku tergoda karena kamu, Amanda. Mana ada cowok waras yang nggak tergoda ngelihat tubuhmu kayak gini?”Senyum samar terbit
Amanda menatapku lama, seolah ingin membaca isi kepalaku. Tatapan itu tajam tapi lembut, seperti pisau yang dibalut sutra.Dia mengangkat alis, lalu tersenyum samar. “Iya, Livia memang cantik,” katanya akhirnya. “Kenapa? Kamu menyukainya?”Aku menatapnya balik. “Ini bukan masalah suka atau nggak suka,” ujarku pelan. “Tapi ini tentang keinginanmu itu.”Senyumnya menipis, tapi matanya justru berkilat. “Jadi… kamu sudah mulai memikirkannya?” tanyanya, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan, tapi ada gairah terselubung di baliknya.Aku menghela napas. “Tentu saja. Kamu yang memaksaku memikirkan hal itu. Bahkan sampai mengancam segala. Mana mungkin aku nggak kepikiran?”Amanda terkekeh kecil. “Ancaman itu berhasil rupanya,” katanya sambil melangkah mendekat. Jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal sekarang. “Jadi, maksudmu… kamu mau mengajak Livia untuk melakukan itu?”Aku menatap matanya, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Rencananya sih seperti itu. Tapi hanya kalau kamu setuju.”Dia me







