Share

Semakin Larut

Author: Falisha Ashia
last update Huling Na-update: 2025-09-15 10:30:45

Aku semakin dekat. Napas ibu mertuaku terdengar berat—teratur tapi ada getaran aneh, seperti menahan sesuatu. Dari jarak ini, aroma parfum lembutnya bercampur dengan hangat tubuhnya. Bau itu seperti masuk lewat hidung lalu mengusir semua logika yang tersisa di kepalaku.

Tatapan Lydia tak berpaling, menempel pada mataku seakan ingin menembus isi pikiranku.

“Mama…” suaraku serak, separuh ingin bertanya, separuh takut mendengar jawabannya.

“Diam saja…” bisiknya, pelan tapi tegas.

Tangannya meraih dadaku, jemarinya bergerak lambat menelusuri garis otot di balik kaus tipis yang kupakai. Sentuhan itu ringan, lembut… tapi cukup untuk membuatku kehilangan fokus, dan… kehilangan akal sehat.

Aku menelan ludah. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang: satu langkah maju bisa menghancurkan segalanya, tapi entah kenapa kakiku justru ingin melangkah.

Dia mencondongkan tubuh. Napasnya terasa di pipiku, lalu di leherku. Semakin dekat… hanya satu gerakan kecil lagi dan bibirnya akan menyentuh kulitku.

“Ma…” aku mencoba bersuara, ingin menghentikan ini, tapi seluruh tubuhku kaku.

Lydia tersenyum tipis. “Rey…” suaranya kali ini dalam, menggoda, membuat bulu kudukku berdiri. “Kenapa malam ini kamu terlihat begitu macho?”

Aku mengangkat tangan, jariku menyentuh pipinya. Dia tak menolak. Lalu jemariku turun, mendekati bibirnya—

CREK!

Terdengar pintu kamar di lantai dua terbuka. Kami berdua refleks menoleh, menunggu suara lanjutan.

Dan ketika suara pintu tertutup dan diikuti dengan suara langkah kaki, ibu mertuaku dengan cepat mendorong dadaku dengan keras.

“Menjauh!” katanya cepat, hampir terdengar seperti bentakan.

Aku terhuyung ke belakang, jantungku berpacu.

Tidak lama kemudian, Amanda berdiri di anak tangga terakhir, tatapannya tajam menatap kami yang berada di sofa. Wajahnya mengkerut, penuh tanya. “Apa yang sedang kalian lakukan?”

“Eh, b-bukan… bukan apa-apa,” aku berusaha terdengar santai. “kaki Mama keseleo.”

Amanda melangkah mendekat. Lalu dia bertanya dengan nada yang terdengar Tidak percaya. “Keseleo? Kok bisa?”

Ibu mertuaku berusaha berdiri, namun tidak sanggup dan kembali duduk. “Tadi Mama habis minum, terus mau ke kamar lagi, eh, nggak tahu, tiba-tiba aja Mama kesandung kaki sendiri, dan akhirnya keseleo.”

“Untungnya ada Rey, jadi dia menangkap Mama. Kalau nggak ada dia, Mama pasti jatuh. Mungkin lebih parah sakitnya,” lanjutnya.

Amanda langsung menunduk, melihat kaki mamanya. Dan ternyata benar, kakinya merah dan terlihat sedikit bengkak.

“Sini, biar aku urut, Ma,” kata Amanda.

“Nggak usah. Tadi Reu udah urut sebentar,” jawab ibunya cepat. “Mama udah baikkan. Bantu Mama ke kamar saja.”

Dengan cepat, aku menawarkan, “Biar aku bopong, Ma.”

“Nggak perlu, Rey,” jawabnya, suaranya tegas. “tuntun saja. Mama udah bisa jalan, kok.”

Amanda masih terlihat curiga, tapi ia memegang tangan mamanya, sementara aku di sisi lain menuntun pelan. Langkah-langkah itu terasa lebih lama dari seharusnya, karena pikiranku masih berputar pada apa yang hampir terjadi tadi.

Sesampainya di kamar orang tua Amanda, ayah mertuaku, Surya Kusuma, terbangun. Dia duduk di tepi ranjang dengan wajah bingung.

“Ada apa ini?” tanyanya.

“Mama keseleo,” jawabku. “tadi aku sudah urut sebentar, tapi Mama bilang udah cukup. Sekarang biarkan dia istirahat saja. Besok kalau masih belum sembuh, Rey urut lagi.”

Tiba-tiba saja aku kepikiran untuk memijat lagi mertuaku itu. Sensasi yang terjadi tadi, masih tersisa cukup banyak di dalam diriku.

Ayah mertuaku mengangguk, menerima tubuh istrinya, sementara aku segera berbalik dan melangkah cepat menuju ke kamarku.

Sesampainya di kamar, aku langsung menutup pintu. Kemudian aku duduk di tepi ranjang, menunduk, mencoba menenangkan degup jantung. Bayangan tadi kembali bermain di kepalaku—tatapan itu, sentuhan itu, jarak yang hanya tinggal beberapa senti…

Aku menghembuskan napas panjang. “Gila…”

Aku merebahkan badan di kasur sambil menutup mata dengan telapak tangan. Saat ini, bayangan tentang keinginan Amanda, terlintas di benakku dan kami melakukannya. Namun wanita satunya itu adalah Lydia.

Ketika sedang membayangkan yang terjadi, terdengar pintu kamar dibuka, aku terkejut, lamunanku buyar.

Amanda duduk di sampingku yang masih rebahan. Dia menoleh dan menatapku.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kalian lakukan tadi? Sepertinya ada sesuatu yang berbeda,” tanya Amanda.

Aku mengerutkan kening. Lalu bertanya, “Apa yang berbeda? Aku hanya menolong mama, aja. Dia keseleo dan aku berusaha mengurutnya. Kan kamu sendiri yang sering bilang kalau pijatanku itu enak, jadi, aku coba lakukan ke mama, siapa tahu membuat kakinya nggak terlalu parah.”

“Enak yang aku maksud itu berbeda, Rey,” kata Amanda. “pantas saja wajah mama merah seperti itu.”

Deg!

Apakah Amanda mengetahui apa yang aku lakukan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Di Ruangan Bersama Livia

    Setelah Haris pergi, aku hanya duduk diam di kursi, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata terakhirnya terus terngiang di kepalaku.“Kalau mau tahu yang sebenarnya, kamu harus mengalaminya sendiri.”Ucapan itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti kunci dari semua tanda tanya yang selama ini menggantung di pikiranku.Aku mendesah pelan, lalu mengacak rambutku dengan kasar.“Duh… Rey, apa yang sebenarnya kamu pikirin, sih?” gumamku kesal sendiri.Tapi semakin aku mencoba menepis, semakin jelas bayangan itu datang. Bayangan tentang Amanda… disentuh oleh wanita lain.Seharusnya aku tidak merasa terganggu. Bukankah wanita yang menyentuhnya dan bukan pria? Tapi kenapa tetap saja ada sesuatu yang terasa… menusuk di dada.Aku menggigit bibir, lalu menatap lantai. “Kenapa rasanya berat, ya?” bisikku.Seolah ada dua sisi dalam diriku yang sedang bertarung. Satu sisi ingin menolak, satu sisi lagi justru penasaran, ingin tahu seperti apa kenyataan yang sebenarnya.“Duh, bagaimana ini?”

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Kamu Harus Mengalaminya Sendiri

    “Ada apa, Ma? Merinding?” tanyaku pelan, setengah berbisik di dekat telinganya. Dia terdiam. Bahunya menegang, tapi aku bisa melihat napasnya yang mulai tidak beraturan. Dalam diam itu, aku tahu, ada sesuatu yang sedang dia tahan. Aku ingin memastikannya. Sebenarnya, apa yang kulakukan bukan karena nekat, tapi lebih karena rasa ingin tahu. Aku ingin tahu seberapa jauh Lydia bisa menahan gejolak hatinya. Apakah dia benar-benar membenciku seperti yang diucapkannya… atau justru sebaliknya? “Rey…” suaranya pelan, tapi tegas. “Jangan terlalu dekat.” Aku tersenyum kecil. “Kenapa? Mama takut?” “Bukan takut. Aku cuma… tidak suka. Kamu bisa bicara dari kursimu,” ucapnya dengan nada yang berusaha keras terdengar tegas, meskipun jelas ada getar samar di ujung suaranya. Aku masih diam di tempat, menatap tengkuknya yang halus dari jarak sangat dekat. Rambutnya sedikit terurai, menutupi sebagian bahunya. Aku bisa mencium aroma parfumnya—l,lembut tapi menusuk. Wangi yang sama seperti

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Apa Yang Terjadi Tidak Mengubah Apapun

    Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu, bersiap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi di balik sana. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi begitu daun pintu terbuka, rasa tegang itu perlahan memudar.Ternyata hanya Rani, asisten rumah tangga kami.“Rani?” tanyaku, berusaha menormalkan nada suaraku.“Maaf, Pak, saya ganggu,” katanya sopan sambil menunduk. “Ibu Lydia nyuruh saya panggil Bapak untuk sarapan.”Aku sempat mengerjap. “Ibu Lydia?”“Iya, Pak. Katanya Bapak disuruh sarapan sekarang sebelum Rani pergi,” jelasnya.“Oh… iya, baik. Sebentar lagi saya ke bawah,” kataku pelan. “Terima kasih, ya.”Rani tersenyum kecil lalu berlalu.Aku masih berdiri di depan pintu, memandangi tangga yang menuju lantai bawah. Pikiranku langsung penuh tanda tanya.Kenapa Mama mertua tiba-tiba menyuruhku sarapan? Sebelumnya, tidak pernah ada kejadian seperti ini.Apakah dia… ingin melanjutkan hal yang kemarin? Atau justru sebaliknya, marah karena aku sudah lancang?Aku menata

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Aku Akan Paksa

    Lagi-lagi pertanyaan Amanda itu membuatku terdiam. Bukan karena aku tak tahu harus menjawab apa, tapi karena aku takut. Ya… takut kalau satu kata yang salah bisa menyalakan api cemburu. Meskipun dia meminta fantasi itu, tapi bukan berarti dia ingin aku pacaran dengan wanita lain.Dia menatapku tanpa berkedip, dengan ekspresi datar tapi tajam seperti sedang membaca isi hatiku.Aku menelan ludah, mencoba memaksa bibirku untuk bergerak.“Iya... ini dari Bu Livia,” jawabku akhirnya, jujur tapi dengan nada hati-hati. “Dia cuma nanya, aku masih bangun atau udah tidur.”“Katanya tadi pesan kerjaan?” suaranya pelan, tapi dingin.“Ya, kan ini dari Bu Livia. Pasti, nanti juga akan bahas tentang kerjaan,” jawabku.Alis Amanda naik sedikit. “Dia cuma nanya itu aja?”“Iya,” jawabku cepat. “Mungkin mau bahas soal kerjaan, atau urusan kerajaan. Nggak ada apa-apa.”Amanda menunduk sejenak, lalu berbalik menuju lemari pakaian.Aku sempat menghela napas lega, tapi belum sempat benar-benar tenang, ponse

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Desakan Amanda

    Pertanyaan Amanda barusan seperti pisau yang menggores pelan tapi dalam.“Apa kamu pengen karena membayangkan tubuh Livia… atau karena tadi lihat Mama cuma pakai handuk?”Aku terdiam.Sumpah, aku ingin membantah, tapi lidahku seperti terikat. Gambar Lydia dengan handuk yang menempel di kulitnya masih berputar di kepala—begitu pula bayangan samar tentang Livia, dengan senyum tenangnya yang kadang bisa membuat siapa pun kehilangan arah.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan bara yang sudah naik ke dada.“Amanda,” kataku akhirnya, nada suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksud, “kamu jangan mikir yang aneh-aneh! Nggak ada hubungannya sama mereka!”Amanda menatapku lekat-lekat, tidak mundur sedikit pun. “Lantas?” tanyanya dingin.“Kalau bukan karena mereka, lalu karena apa kamu bilang lagi pengen?”Aku mendesah pelan, lalu melangkah setengah mendekat.“Aku tergoda karena kamu, Amanda. Mana ada cowok waras yang nggak tergoda ngelihat tubuhmu kayak gini?”Senyum samar terbit

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Membuka Baju Di Hadapanku

    Amanda menatapku lama, seolah ingin membaca isi kepalaku. Tatapan itu tajam tapi lembut, seperti pisau yang dibalut sutra.Dia mengangkat alis, lalu tersenyum samar. “Iya, Livia memang cantik,” katanya akhirnya. “Kenapa? Kamu menyukainya?”Aku menatapnya balik. “Ini bukan masalah suka atau nggak suka,” ujarku pelan. “Tapi ini tentang keinginanmu itu.”Senyumnya menipis, tapi matanya justru berkilat. “Jadi… kamu sudah mulai memikirkannya?” tanyanya, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan, tapi ada gairah terselubung di baliknya.Aku menghela napas. “Tentu saja. Kamu yang memaksaku memikirkan hal itu. Bahkan sampai mengancam segala. Mana mungkin aku nggak kepikiran?”Amanda terkekeh kecil. “Ancaman itu berhasil rupanya,” katanya sambil melangkah mendekat. Jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal sekarang. “Jadi, maksudmu… kamu mau mengajak Livia untuk melakukan itu?”Aku menatap matanya, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Rencananya sih seperti itu. Tapi hanya kalau kamu setuju.”Dia me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status