Keesokan harinya, aku duduk di ruang istirahat belakang resepsionis hotel tempatku bekerja. Kursi kayu keras yang biasanya hanya jadi tempat singgah sebentar, kini terasa seperti jerat yang menahanku. Pikiranku masih melayang ke kejadian tadi malam.
Amanda. Video itu. Dan pengakuannya—keinginan gila yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang wanita yang aku cinta. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasanya perutku mual memikirkan ulang. Bagaimana mungkin Amanda, istriku sendiri, bisa meminta hal semacam itu? Satu laki-laki, dua perempuan. Bertiga di ranjang. Apa dia sudah gila? Atau akukah yang sebenarnya ketinggalan zaman? “Rey!” Suara keras memotong lamunanku. Aku terlonjak kecil dan buru-buru menoleh. Haris berdiri di pintu ruang istirahat, wajahnya setengah heran, setengah kesal. “Kamu kenapa bengong aja?” tanyanya sambil melangkah masuk. “Eh, nggak. Ini… lagi banyak pikiran aja,” jawabku cepat, mencoba menata wajah agar tidak terlalu kelihatan kacau. Haris menarik kursi, duduk di sampingku. Sikapnya santai, tapi tatapannya tajam, seolah berusaha menembus isi kepalaku. Aku jadi kaku sendiri. “Ada apa? Cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu,” katanya. Aku diam. Bibirku terbuka, tapi kata-kata seolah macet di tenggorokan. Masalah ini terlalu tabu. Bagaimana mungkin aku menceritakan kalau istriku menginginkan hal segila itu? Melihat aku tak kunjung bicara, Haris mendesah. “Apa istrimu marah? Atau kamu punya utang?” Aku menggeleng. “Bukan… bukan itu. Aku cuma lagi kepikiran cerita temanku.” Ya, akhirnya aku memilih menyamarkan semuanya. Mengubah ceritaku jadi seolah-olah milik orang lain. Haris mengernyit. “Cerita teman? Emangnya apa?” Aku menarik napas panjang. “Tapi janji dulu. Jangan cerita sama orang lain. Soalnya ini agak… tabu.” Mendengar kata itu, mata Haris justru berbinar. Dia condong ke arahku, penuh rasa penasaran. “Tabu? Maksudmu gimana?” Aku menelan ludah. “Jadi, semalam aku ketemu teman lama. Teman sekolah dulu. Dia cerita kalau rumah tangganya lagi rumit. Istrinya punya kelainan soal hubungan suami-istri.” “Kelainan?” Suara Haris meninggi, tubuhnya maju lebih dekat. Aku mengangguk, pasang wajah sok bingung. “Bayangin aja, istrinya minta dia melakukan… hubungan bertiga. Satu laki-laki, dua perempuan.” “Apa?” Haris sampai berdiri saking kagetnya. Aku menunduk, meremas rambut sendiri, berusaha terlihat frustasi. “Gila banget, kan? Aku baru dengar ada istri yang minta kayak gitu.” Haris tak langsung menanggapi. Dia menatap kosong beberapa detik, lalu menghela napas dan duduk lagi. Kali ini wajahnya terlihat… terlalu tenang. “Kalau soal itu…” katanya pelan, “aku pernah dengar. Bahkan, pernah ngalamin sendiri.” Aku mendongak, tercengang. “Maksudmu? Jadi istrimu—” Dia cepat-cepat melambaikan tangan. “Bukan! Bukan istriku.” “Terus?” “Ya, sama kayak cerita temanku juga. Istrinya suka begitu. Bertiga di ranjang. Awalnya si suami nggak bisa terima, tapi sekali coba… keterusan.” Aku merasakan darah naik ke wajah. “Mereka… melakukannya?” “Iya.” Haris mengangguk mantap. “Dan setelah itu, hubungan mereka malah makin lengket. Dari yang awalnya dingin, sekarang mesra lagi. Aku lihat mereka kayak pasangan baru nikah.” Kata-kata itu seperti palu menghantam kepalaku. Bagaimana bisa? Aku sama sekali tak mengerti logikanya. Bukankah melihat istri disentuh orang lain—meski perempuan—itu tetap bentuk pengkhianatan? “Nggak mungkin! Masa suaminya nggak cemburu?” suaraku meninggi. Haris menatapku dalam, lalu tersenyum samar. “Awalnya iya. Tapi begitu dia ngerasain… bayangin aja, Rey. Dua wanita menyentuhmu sekaligus. Semua titik lemah dijelajahi. Kamu pikir kamu masih sempat mikirin cemburu?” Aku tercekat, tak bisa langsung membantah. Haris melanjutkan, suaranya lebih pelan tapi menusuk, “Dan jangan lupa. Si istri juga dapat kepuasan. Fantasi yang selama ini dipendam, akhirnya tercapai. Rasa plong itu bikin dia makin dekat sama suaminya. Nggak ada lagi rahasia, nggak ada lagi ganjalan.” Aku menunduk. Keringat dingin mulai merembes di pelipis. Jadi… bukan hanya Amanda yang punya keinginan aneh ini? Ada perempuan lain juga? “Menurutku,” tambah Haris, “temanmu itu harusnya bersyukur. Kebanyakan pria nyari wanita lain di belakang istrinya, akhirnya ketahuan dan hancur. Kalau kayak gini? Istrinya sendiri yang minta. Dan dia bisa jujur-jujuran.” Aku memicingkan mata. “Tapi… kalau begitu, bukannya tetap selingkuh?” PLAK! Haris menepuk punggungku cukup keras. “Bukan, Rey. Itu bukan selingkuh. Itu kesepakatan. Selama dua-duanya setuju, itu bukan pengkhianatan. Justru bisa bikin permainan makin seru.” “Pokoknya yang penting itu, mereka berdua setuju dengan wanita lainnya. Jadi sama-sama sreg. Dengan begitu, permainannya akan menyenangkan,” lanjut Haris. Aku terdiam, tak mampu menjawab. Kata-katanya terdengar begitu yakin, seolah dia sedang memberi wejangan emas. Namun di dalam diriku, perasaan itu tetap menolak. Hati kecilku berteriak: ini salah. Sesuatu yang kotor. Tapi… bayangan Amanda semalam terus menghantui. Raut wajahnya yang menahan malu, keinginannya yang terucap dengan suara lirih. Sial. Aku tidak tahu harus bagaimana. Haris berdiri, merapikan bajunya. “Udah ah, aku harus kerja lagi. Nanti kalau kelamaan nongkrong di sini, bisa-bisa aku dimarahin supervisor.” Aku hanya mengangguk, setengah tak mendengar. Kepalaku masih penuh dengan kata-katanya. *** Sore hari, aku akhirnya pulang. Badan lelah, kepala pening, hati penuh keresahan. Aku tidak ingin membicarakan apa pun dengan siapa pun. Yang kupikirkan hanya: mandi, lalu rebah di kasur. Aku langsung masuk ke kamar. Tapi begitu membuka pintu, aku mendengar suara air mengucur deras dari kamar mandi. Aku berhenti sejenak. Alis berkerut. “Amanda? Tapi tadi aku tidak melihat mobilnya di depan rumah.” Rasa penasaran mendorongku melangkah. Aku mendekati pintu kamar mandi, jantung berdegup lebih kencang. Kugenggam gagangnya, ragu. Akhirnya aku putuskan untuk membukanya. Begitu pintu berderit, mataku langsung membelalak. Air shower jatuh deras membasahi tubuh yang sama sekali tak tertutup apa pun. Kulit putih mulus, lekuk tubuh dewasa, semuanya terlihat jelas di depan mataku. Itu bukan Amanda. Itu Lydia. Ibu mertuaku sendiri. Aku tercekat. Nafasku tertahan. Dan pandanganku tak bisa beranjak.“Nggak, ini… istri temanku. Aku cuma mau tahu aja gimana perasaan suaminya itu,” kataku, terbata.Haris menyipitkan mata, menatapku lekat-lekat seperti sedang membaca isi kepalaku. “Tapi kenapa kamu sangat ingin tahu, Rey? Kamu ngomongnya itu, kayak kamu pemeran utamanya.”Aku tercekat. Tangan gemetaran, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Aku paksa bibirku tersenyum, walau jelas terlihat kaku. “Nggak, aku cuma penasaran aja. Menarik gitu lho… gimana rasanya seorang suami menghadapi situasi begitu. Lagian… aku juga membayangkan, kalau… kalau itu terjadi ke istriku…” Suaraku makin mengecil, nyaris hilang.Aku buru-buru menunduk, pura-pura merapikan baju kerja. Jantungku berdetak keras, seolah bisa terdengar orang di sekitarku. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga rasa bersalah karena barusan aku tanpa sadar mengakui kalau aku pernah membayangkannya.Haris tersenyum miring, lalu menepuk bahuku pelan. “Rey, jangan dibayangin. Nanti kamu bisa gila sendiri. Istrimu itu nggak akan pernah
Tentu saja aku panik, namun aku harus bersikap normal untuk menutupi yang baru saja terjadi.“Jangan berpikir yang macam-macam. Aku cuma membantu dan wajah mama yang merah itu karena dia kesakitan, bukan karena aku menyentuhnya,” kataku dengan nada tajam dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah benteng terakhirku.Amanda menatapku lama. Ada sorot yang sulit kutebak—antara ragu dan ingin percaya. Aku pun kembali merebahkan badan, kali ini benar-benar berpura-pura hendak tidur.Hening menyelimuti kamar untuk beberapa saat. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.“Aku nggak janji bisa menahan diri,” suara Amanda pecah di keheningan, lirih tapi jelas menusuk. “Kalau aku sampai melakukannya diam-diam… aku tahu itu jauh lebih salah. Tapi aku nggak bisa bohong soal apa yang aku mau, Rey.”Aku membuka mata. Bayangan punggung Amanda yang menatap ke arah pintu membuatku ingin bangkit.“Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara lebih rendah.“Tentang keinginanku itu.” Amanda menjawab dengan suar
Aku semakin dekat. Napas ibu mertuaku terdengar berat—teratur tapi ada getaran aneh, seperti menahan sesuatu. Dari jarak ini, aroma parfum lembutnya bercampur dengan hangat tubuhnya. Bau itu seperti masuk lewat hidung lalu mengusir semua logika yang tersisa di kepalaku.Tatapan Lydia tak berpaling, menempel pada mataku seakan ingin menembus isi pikiranku.“Mama…” suaraku serak, separuh ingin bertanya, separuh takut mendengar jawabannya.“Diam saja…” bisiknya, pelan tapi tegas.Tangannya meraih dadaku, jemarinya bergerak lambat menelusuri garis otot di balik kaus tipis yang kupakai. Sentuhan itu ringan, lembut… tapi cukup untuk membuatku kehilangan fokus, dan… kehilangan akal sehat.Aku menelan ludah. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang: satu langkah maju bisa menghancurkan segalanya, tapi entah kenapa kakiku justru ingin melangkah.Dia mencondongkan tubuh. Napasnya terasa di pipiku, lalu di leherku. Semakin dekat… hanya satu gerakan kecil lagi dan bibirnya akan menyentuh kulitku.“
Untuk beberapa detik, aku hanya berdiri diam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada apapun yang Amanda ucapkan malam ini. Langkahnya terdengar pelan namun mantap, setiap hentakan tumitnya seperti membawa pesan yang tak diucapkan. Tatapannya seperti biasa—menusuk, dingin, seolah bisa menembus lapisan terdalam diriku. “Gaji kamu sebagai room service di hotel itu kecil sekali, Rey,” ucapnya, suaranya datar tapi menusuk seperti pisau tipis yang sudah lama diasah. “aku malu punya menantu miskin. Tidak bisa dibanggakan.” Aku hanya diam. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar ucapan serupa. Lidahku seakan kelu, bukan karena takut, tapi karena lelah. Kata-kata seperti ini sudah seperti hujan di musim penghujan—datang setiap hari, tanpa diminta. Aku menghela napas panjang seraya berkata dalam hati, “Ya, aku tahu aku bukan menantu idamanmu. Tapi, apa semua orang harus diukur dari isi dompetnya?” Ia berbalik, hendak kembali ke kamarnya. Namun tiba-tiba langkahnya goyah. Ada suara k
Namun aku sadar, dia mertuaku. Nafasku tercekat dan buru-buru kututup pintu kamar mandi sebelum Lydia menyadari keberadaanku. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin muncul di pelipis. Apa yang barusan kulihat… tidak seharusnya kulihat. Aku mundur beberapa langkah, lalu cepat-cepat keluar dari kamar. Aku menjatuhkan diri di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku, padahal layar hanya menampilkan halaman kosong. Jemariku bergetar. Aku masih bisa membayangkan lekuk tubuh Lydia—dan itu membuatku semakin merasa berdosa. Tak lama, pintu kamarku terbuka. Aku buru-buru merapikan posisi duduk, menahan wajahku agar tetap terlihat tenang. “Kamu sudah pulang?” suara Lydia terdengar. Aku berpura-pura terkejut, menoleh ke arahnya. “Eh, iya, Ma. Baru aja sampai.” Dia berdiri di sana, rambutnya masih sedikit basah, wajahnya dingin seperti biasa. Dia menunjuk ke lantai dua, ke arah kamarku. “Tadi Mama pinjam kamar mandinya. Di kamar Mama, showernya rusak.” Aku cepat
Keesokan harinya, aku duduk di ruang istirahat belakang resepsionis hotel tempatku bekerja. Kursi kayu keras yang biasanya hanya jadi tempat singgah sebentar, kini terasa seperti jerat yang menahanku. Pikiranku masih melayang ke kejadian tadi malam. Amanda. Video itu. Dan pengakuannya—keinginan gila yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang wanita yang aku cinta. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasanya perutku mual memikirkan ulang. Bagaimana mungkin Amanda, istriku sendiri, bisa meminta hal semacam itu? Satu laki-laki, dua perempuan. Bertiga di ranjang. Apa dia sudah gila? Atau akukah yang sebenarnya ketinggalan zaman? “Rey!” Suara keras memotong lamunanku. Aku terlonjak kecil dan buru-buru menoleh. Haris berdiri di pintu ruang istirahat, wajahnya setengah heran, setengah kesal. “Kamu kenapa bengong aja?” tanyanya sambil melangkah masuk. “Eh, nggak. Ini… lagi banyak pikiran aja,” jawabku cepat, mencoba menata wajah agar tidak terlalu kelihatan kaca