Share

Seharusnya Merasa Beruntung

Author: Falisha Ashia
last update Huling Na-update: 2025-09-12 19:25:30

Keesokan harinya, aku duduk di ruang istirahat belakang resepsionis hotel tempatku bekerja. Kursi kayu keras yang biasanya hanya jadi tempat singgah sebentar, kini terasa seperti jerat yang menahanku. Pikiranku masih melayang ke kejadian tadi malam.

Amanda.

Video itu.

Dan pengakuannya—keinginan gila yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang wanita yang aku cinta.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasanya perutku mual memikirkan ulang.

Bagaimana mungkin Amanda, istriku sendiri, bisa meminta hal semacam itu? Satu laki-laki, dua perempuan. Bertiga di ranjang. Apa dia sudah gila? Atau akukah yang sebenarnya ketinggalan zaman?

“Rey!”

Suara keras memotong lamunanku. Aku terlonjak kecil dan buru-buru menoleh. Haris berdiri di pintu ruang istirahat, wajahnya setengah heran, setengah kesal.

“Kamu kenapa bengong aja?” tanyanya sambil melangkah masuk.

“Eh, nggak. Ini… lagi banyak pikiran aja,” jawabku cepat, mencoba menata wajah agar tidak terlalu kelihatan kacau.

Haris menarik kursi, duduk di sampingku. Sikapnya santai, tapi tatapannya tajam, seolah berusaha menembus isi kepalaku. Aku jadi kaku sendiri.

“Ada apa? Cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu,” katanya.

Aku diam. Bibirku terbuka, tapi kata-kata seolah macet di tenggorokan. Masalah ini terlalu tabu. Bagaimana mungkin aku menceritakan kalau istriku menginginkan hal segila itu?

Melihat aku tak kunjung bicara, Haris mendesah. “Apa istrimu marah? Atau kamu punya utang?”

Aku menggeleng. “Bukan… bukan itu. Aku cuma lagi kepikiran cerita temanku.”

Ya, akhirnya aku memilih menyamarkan semuanya. Mengubah ceritaku jadi seolah-olah milik orang lain.

Haris mengernyit. “Cerita teman? Emangnya apa?”

Aku menarik napas panjang. “Tapi janji dulu. Jangan cerita sama orang lain. Soalnya ini agak… tabu.”

Mendengar kata itu, mata Haris justru berbinar. Dia condong ke arahku, penuh rasa penasaran. “Tabu? Maksudmu gimana?”

Aku menelan ludah. “Jadi, semalam aku ketemu teman lama. Teman sekolah dulu. Dia cerita kalau rumah tangganya lagi rumit. Istrinya punya kelainan soal hubungan suami-istri.”

“Kelainan?” Suara Haris meninggi, tubuhnya maju lebih dekat.

Aku mengangguk, pasang wajah sok bingung. “Bayangin aja, istrinya minta dia melakukan… hubungan bertiga. Satu laki-laki, dua perempuan.”

“Apa?” Haris sampai berdiri saking kagetnya.

Aku menunduk, meremas rambut sendiri, berusaha terlihat frustasi. “Gila banget, kan? Aku baru dengar ada istri yang minta kayak gitu.”

Haris tak langsung menanggapi. Dia menatap kosong beberapa detik, lalu menghela napas dan duduk lagi. Kali ini wajahnya terlihat… terlalu tenang.

“Kalau soal itu…” katanya pelan, “aku pernah dengar. Bahkan, pernah ngalamin sendiri.”

Aku mendongak, tercengang. “Maksudmu? Jadi istrimu—”

Dia cepat-cepat melambaikan tangan. “Bukan! Bukan istriku.”

“Terus?”

“Ya, sama kayak cerita temanku juga. Istrinya suka begitu. Bertiga di ranjang. Awalnya si suami nggak bisa terima, tapi sekali coba… keterusan.”

Aku merasakan darah naik ke wajah. “Mereka… melakukannya?”

“Iya.” Haris mengangguk mantap. “Dan setelah itu, hubungan mereka malah makin lengket. Dari yang awalnya dingin, sekarang mesra lagi. Aku lihat mereka kayak pasangan baru nikah.”

Kata-kata itu seperti palu menghantam kepalaku. Bagaimana bisa? Aku sama sekali tak mengerti logikanya. Bukankah melihat istri disentuh orang lain—meski perempuan—itu tetap bentuk pengkhianatan?

“Nggak mungkin! Masa suaminya nggak cemburu?” suaraku meninggi.

Haris menatapku dalam, lalu tersenyum samar. “Awalnya iya. Tapi begitu dia ngerasain… bayangin aja, Rey. Dua wanita menyentuhmu sekaligus. Semua titik lemah dijelajahi. Kamu pikir kamu masih sempat mikirin cemburu?”

Aku tercekat, tak bisa langsung membantah.

Haris melanjutkan, suaranya lebih pelan tapi menusuk, “Dan jangan lupa. Si istri juga dapat kepuasan. Fantasi yang selama ini dipendam, akhirnya tercapai. Rasa plong itu bikin dia makin dekat sama suaminya. Nggak ada lagi rahasia, nggak ada lagi ganjalan.”

Aku menunduk. Keringat dingin mulai merembes di pelipis. Jadi… bukan hanya Amanda yang punya keinginan aneh ini? Ada perempuan lain juga?

“Menurutku,” tambah Haris, “temanmu itu harusnya bersyukur. Kebanyakan pria nyari wanita lain di belakang istrinya, akhirnya ketahuan dan hancur. Kalau kayak gini? Istrinya sendiri yang minta. Dan dia bisa jujur-jujuran.”

Aku memicingkan mata. “Tapi… kalau begitu, bukannya tetap selingkuh?”

PLAK!

Haris menepuk punggungku cukup keras. “Bukan, Rey. Itu bukan selingkuh. Itu kesepakatan. Selama dua-duanya setuju, itu bukan pengkhianatan. Justru bisa bikin permainan makin seru.”

“Pokoknya yang penting itu, mereka berdua setuju dengan wanita lainnya. Jadi sama-sama sreg. Dengan begitu, permainannya akan menyenangkan,” lanjut Haris.

Aku terdiam, tak mampu menjawab. Kata-katanya terdengar begitu yakin, seolah dia sedang memberi wejangan emas.

Namun di dalam diriku, perasaan itu tetap menolak. Hati kecilku berteriak: ini salah. Sesuatu yang kotor. Tapi… bayangan Amanda semalam terus menghantui. Raut wajahnya yang menahan malu, keinginannya yang terucap dengan suara lirih.

Sial. Aku tidak tahu harus bagaimana.

Haris berdiri, merapikan bajunya. “Udah ah, aku harus kerja lagi. Nanti kalau kelamaan nongkrong di sini, bisa-bisa aku dimarahin supervisor.”

Aku hanya mengangguk, setengah tak mendengar. Kepalaku masih penuh dengan kata-katanya.

***

Sore hari, aku akhirnya pulang. Badan lelah, kepala pening, hati penuh keresahan. Aku tidak ingin membicarakan apa pun dengan siapa pun. Yang kupikirkan hanya: mandi, lalu rebah di kasur.

Aku langsung masuk ke kamar. Tapi begitu membuka pintu, aku mendengar suara air mengucur deras dari kamar mandi.

Aku berhenti sejenak. Alis berkerut.

“Amanda? Tapi tadi aku tidak melihat mobilnya di depan rumah.”

Rasa penasaran mendorongku melangkah. Aku mendekati pintu kamar mandi, jantung berdegup lebih kencang. Kugenggam gagangnya, ragu.

Akhirnya aku putuskan untuk membukanya.

Begitu pintu berderit, mataku langsung membelalak.

Air shower jatuh deras membasahi tubuh yang sama sekali tak tertutup apa pun. Kulit putih mulus, lekuk tubuh dewasa, semuanya terlihat jelas di depan mataku.

Itu bukan Amanda.

Itu Lydia.

Ibu mertuaku sendiri.

Aku tercekat. Nafasku tertahan. Dan pandanganku tak bisa beranjak.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Di Ruangan Bersama Livia

    Setelah Haris pergi, aku hanya duduk diam di kursi, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata terakhirnya terus terngiang di kepalaku.“Kalau mau tahu yang sebenarnya, kamu harus mengalaminya sendiri.”Ucapan itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti kunci dari semua tanda tanya yang selama ini menggantung di pikiranku.Aku mendesah pelan, lalu mengacak rambutku dengan kasar.“Duh… Rey, apa yang sebenarnya kamu pikirin, sih?” gumamku kesal sendiri.Tapi semakin aku mencoba menepis, semakin jelas bayangan itu datang. Bayangan tentang Amanda… disentuh oleh wanita lain.Seharusnya aku tidak merasa terganggu. Bukankah wanita yang menyentuhnya dan bukan pria? Tapi kenapa tetap saja ada sesuatu yang terasa… menusuk di dada.Aku menggigit bibir, lalu menatap lantai. “Kenapa rasanya berat, ya?” bisikku.Seolah ada dua sisi dalam diriku yang sedang bertarung. Satu sisi ingin menolak, satu sisi lagi justru penasaran, ingin tahu seperti apa kenyataan yang sebenarnya.“Duh, bagaimana ini?”

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Kamu Harus Mengalaminya Sendiri

    “Ada apa, Ma? Merinding?” tanyaku pelan, setengah berbisik di dekat telinganya. Dia terdiam. Bahunya menegang, tapi aku bisa melihat napasnya yang mulai tidak beraturan. Dalam diam itu, aku tahu, ada sesuatu yang sedang dia tahan. Aku ingin memastikannya. Sebenarnya, apa yang kulakukan bukan karena nekat, tapi lebih karena rasa ingin tahu. Aku ingin tahu seberapa jauh Lydia bisa menahan gejolak hatinya. Apakah dia benar-benar membenciku seperti yang diucapkannya… atau justru sebaliknya? “Rey…” suaranya pelan, tapi tegas. “Jangan terlalu dekat.” Aku tersenyum kecil. “Kenapa? Mama takut?” “Bukan takut. Aku cuma… tidak suka. Kamu bisa bicara dari kursimu,” ucapnya dengan nada yang berusaha keras terdengar tegas, meskipun jelas ada getar samar di ujung suaranya. Aku masih diam di tempat, menatap tengkuknya yang halus dari jarak sangat dekat. Rambutnya sedikit terurai, menutupi sebagian bahunya. Aku bisa mencium aroma parfumnya—l,lembut tapi menusuk. Wangi yang sama seperti

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Apa Yang Terjadi Tidak Mengubah Apapun

    Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu, bersiap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi di balik sana. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi begitu daun pintu terbuka, rasa tegang itu perlahan memudar.Ternyata hanya Rani, asisten rumah tangga kami.“Rani?” tanyaku, berusaha menormalkan nada suaraku.“Maaf, Pak, saya ganggu,” katanya sopan sambil menunduk. “Ibu Lydia nyuruh saya panggil Bapak untuk sarapan.”Aku sempat mengerjap. “Ibu Lydia?”“Iya, Pak. Katanya Bapak disuruh sarapan sekarang sebelum Rani pergi,” jelasnya.“Oh… iya, baik. Sebentar lagi saya ke bawah,” kataku pelan. “Terima kasih, ya.”Rani tersenyum kecil lalu berlalu.Aku masih berdiri di depan pintu, memandangi tangga yang menuju lantai bawah. Pikiranku langsung penuh tanda tanya.Kenapa Mama mertua tiba-tiba menyuruhku sarapan? Sebelumnya, tidak pernah ada kejadian seperti ini.Apakah dia… ingin melanjutkan hal yang kemarin? Atau justru sebaliknya, marah karena aku sudah lancang?Aku menata

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Aku Akan Paksa

    Lagi-lagi pertanyaan Amanda itu membuatku terdiam. Bukan karena aku tak tahu harus menjawab apa, tapi karena aku takut. Ya… takut kalau satu kata yang salah bisa menyalakan api cemburu. Meskipun dia meminta fantasi itu, tapi bukan berarti dia ingin aku pacaran dengan wanita lain.Dia menatapku tanpa berkedip, dengan ekspresi datar tapi tajam seperti sedang membaca isi hatiku.Aku menelan ludah, mencoba memaksa bibirku untuk bergerak.“Iya... ini dari Bu Livia,” jawabku akhirnya, jujur tapi dengan nada hati-hati. “Dia cuma nanya, aku masih bangun atau udah tidur.”“Katanya tadi pesan kerjaan?” suaranya pelan, tapi dingin.“Ya, kan ini dari Bu Livia. Pasti, nanti juga akan bahas tentang kerjaan,” jawabku.Alis Amanda naik sedikit. “Dia cuma nanya itu aja?”“Iya,” jawabku cepat. “Mungkin mau bahas soal kerjaan, atau urusan kerajaan. Nggak ada apa-apa.”Amanda menunduk sejenak, lalu berbalik menuju lemari pakaian.Aku sempat menghela napas lega, tapi belum sempat benar-benar tenang, ponse

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Desakan Amanda

    Pertanyaan Amanda barusan seperti pisau yang menggores pelan tapi dalam.“Apa kamu pengen karena membayangkan tubuh Livia… atau karena tadi lihat Mama cuma pakai handuk?”Aku terdiam.Sumpah, aku ingin membantah, tapi lidahku seperti terikat. Gambar Lydia dengan handuk yang menempel di kulitnya masih berputar di kepala—begitu pula bayangan samar tentang Livia, dengan senyum tenangnya yang kadang bisa membuat siapa pun kehilangan arah.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan bara yang sudah naik ke dada.“Amanda,” kataku akhirnya, nada suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksud, “kamu jangan mikir yang aneh-aneh! Nggak ada hubungannya sama mereka!”Amanda menatapku lekat-lekat, tidak mundur sedikit pun. “Lantas?” tanyanya dingin.“Kalau bukan karena mereka, lalu karena apa kamu bilang lagi pengen?”Aku mendesah pelan, lalu melangkah setengah mendekat.“Aku tergoda karena kamu, Amanda. Mana ada cowok waras yang nggak tergoda ngelihat tubuhmu kayak gini?”Senyum samar terbit

  • Hasrat Terlarang: Gairah Tersembunyi Istriku   Membuka Baju Di Hadapanku

    Amanda menatapku lama, seolah ingin membaca isi kepalaku. Tatapan itu tajam tapi lembut, seperti pisau yang dibalut sutra.Dia mengangkat alis, lalu tersenyum samar. “Iya, Livia memang cantik,” katanya akhirnya. “Kenapa? Kamu menyukainya?”Aku menatapnya balik. “Ini bukan masalah suka atau nggak suka,” ujarku pelan. “Tapi ini tentang keinginanmu itu.”Senyumnya menipis, tapi matanya justru berkilat. “Jadi… kamu sudah mulai memikirkannya?” tanyanya, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan, tapi ada gairah terselubung di baliknya.Aku menghela napas. “Tentu saja. Kamu yang memaksaku memikirkan hal itu. Bahkan sampai mengancam segala. Mana mungkin aku nggak kepikiran?”Amanda terkekeh kecil. “Ancaman itu berhasil rupanya,” katanya sambil melangkah mendekat. Jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal sekarang. “Jadi, maksudmu… kamu mau mengajak Livia untuk melakukan itu?”Aku menatap matanya, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Rencananya sih seperti itu. Tapi hanya kalau kamu setuju.”Dia me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status