“Aahh… aku mau sampai…” desahku, tubuhku menegang ketika gelombang kenikmatan hampir meledak dari dalam.
Gerakan pinggulku makin cepat, tapi pandanganku terhenti ketika melihat wajah Amanda. Istriku hanya terpejam, pasif, tanpa gairah seperti biasanya. Tidak ada lenguhan. Tidak ada balasan. Seolah aku sedang bercinta dengan tubuh tanpa jiwa. Aku menahan gerakan. “Kamu… mau keluar juga nggak?” tanyaku, suaraku tertahan di antara napas berat. Amanda menggeleng pelan, matanya tetap terpejam. “Nggak… kamu aja.” Aku tercekat mendengar jawabannya. Jawaban itu, tidak seperti biasanya. “Serius?” Aku bahkan menghentikan gerakan, berharap dia mengubah jawabannya. “Iya. Cepat! Kamu aja yang keluar!” suaranya datar, dingin. Aku terdiam sebentar. Namun getaran di bawah sana, membuat tubuhku bergerak sendiri. Aku pun kembali mengguncang pinggul. Hanya beberapa hentakan kemudian, aku tak lagi bisa menahan. Gelombang itu pecah, tubuhku menegang saat telah sampai di puncak kenikmatan dan kemudian lunglai. Nafasku terengah, namun belum sempat aku merasakannya sampai tuntas, Amanda segera mendorongku menjauh dari tubuhnya. Tanpa menatapku, dia bangkit, mengambil handuk, dan masuk ke kamar mandi. Aku terbaring di kasur, pandanganku kosong menatap langit-langit. Dadaku naik-turun. Aku berusaha meyakinkan diri—mungkin Amanda hanya tidak tahan ingin buang air kecil. Tapi… aku berpikir lagi. Kenapa ekspresinya begitu dingin? Kenapa dia tidak ikut larut seperti biasanya? Aku berusaha berpikir positif. Mungkin dia lelah dengan pekerjaannya di kantor. Namun kini, sepuluh menit telah berlalu. Amanda tak kunjung keluar dari kamar mandi. Aku pun sudah tak tahan ingin buang air kecil sekaligus membersihkan diri. Dengan langkah berat, aku mendekati kamar mandi. Tapi baru saja tanganku hendak menyentuh gagang pintu… Aku mendengar sesuatu. Desahan. Suara lirih, samar, tapi jelas… itu suara Amanda. Aku membeku. Jantungku berdegup kencang, seperti ada palu menghantam dada. Perlahan, hampir tanpa sadar, aku menempelkan telinga ke pintu. Suara itu semakin nyata—helai napas terputus, desahan yang mencoba ditahan tapi justru makin erotis. Apa… apa yang sedang dia lakukan di dalam? Apakah dia sedang berselingkuh? Tanganku mengepal pada gagang pintu, keringat dingin merembes di pelipis. Pikiran buruk menabrak kepalaku satu per satu. Apakah Amanda sedang melakukan video call dengan pria lain? Aku tidak bisa hanya berdiam. Dengan hati-hati, aku mendorong pintu, menciptakan celah kecil. Dari celah itu, pantulan cermin kamar mandi menyingkap sesuatu yang membuat darahku seketika mendidih. Amanda duduk di kloset, tubuhnya masih tanpa busana. Ponsel di tangan kirinya, sementara tangan kanannya… bergerak cepat di antara pangkal pahanya. Dunia seperti runtuh di mataku. Nafasku tercekat. Ada amarah, kecewa, sekaligus rasa tertusuk. Aku tak bisa menahan diri. Pintu kubuka lebar. “Amanda!” Dia terperanjat, matanya membelalak. “Rey!” teriaknya panik. Aku melangkah cepat, merebut ponselnya. Aku harus tahu siapa pria itu. Aku harus tahu kebenaran. Namun layar ponsel itu menampilkan hal yang berbeda. Film dewasa. Aku terpaku beberapa detik, baru kemudian mendongak. “Jadi… kamu bukan selingkuh. Kamu nonton ini?” Amanda menunduk, wajahnya merah, napasnya masih belum stabil. “A-aku… aku juga mau keluar, Rey…” Kata-kata itu menusukku lebih dalam. “Kenapa harus dengan cara begini? Kenapa bukan denganku? Tadi aku tanya, kamu mau keluar juga atau nggak, dan kamu jawab ‘nggak’. Sekarang… malah begini.” Suaraku gemetar, antara marah dan kecewa. Amanda menggigit bibirnya. “Tadi aku nggak bisa…” Keningku berkerut. “Kenapa? Bukankah selama ini kamu selalu bisa bersamaku? Atau… aku udah nggak cukup buatmu? Aku nggak menarik lagi?” Dia menggeleng cepat. “Bukan itu. Cuma… rasanya beda.” “Beda?” ulangku, tajam. Amanda terdiam lama. Aku menatapnya tanpa berkedip, menunggu jawaban yang bisa menenangkan batinku. Tapi yang keluar justru kalimat yang membuatku terdiam kaku. “Aku bosan, Rey… Bukan sama kamu. Tapi caranya. Kita selalu begitu-begitu aja. Lembut. Pelan. Terlalu… biasa.” Aku merasakan dadaku dihantam sesuatu yang berat. Bosan? Selama ini aku berpikir aku suami yang cukup, memberi cintaku seutuhnya. Ternyata, bagi Amanda, semua itu hambar. “Terus… aku harus bagaimana agar kamu nggak bosan?” tanyaku lirih, hampir seperti memohon. Dia menelan ludah, lalu menunjuk ponselnya. “A-aku… ingin seperti di video itu…” Aku kembali menatap layar ponsel yang masih menyala, untuk memastikan apa yang Amanda inginkan. Dan… di video itu… “Kamu… mau melakukan ini?” tanyaku, suaraku serak, penuh keterkejutan.“Nggak, ini… istri temanku. Aku cuma mau tahu aja gimana perasaan suaminya itu,” kataku, terbata.Haris menyipitkan mata, menatapku lekat-lekat seperti sedang membaca isi kepalaku. “Tapi kenapa kamu sangat ingin tahu, Rey? Kamu ngomongnya itu, kayak kamu pemeran utamanya.”Aku tercekat. Tangan gemetaran, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Aku paksa bibirku tersenyum, walau jelas terlihat kaku. “Nggak, aku cuma penasaran aja. Menarik gitu lho… gimana rasanya seorang suami menghadapi situasi begitu. Lagian… aku juga membayangkan, kalau… kalau itu terjadi ke istriku…” Suaraku makin mengecil, nyaris hilang.Aku buru-buru menunduk, pura-pura merapikan baju kerja. Jantungku berdetak keras, seolah bisa terdengar orang di sekitarku. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga rasa bersalah karena barusan aku tanpa sadar mengakui kalau aku pernah membayangkannya.Haris tersenyum miring, lalu menepuk bahuku pelan. “Rey, jangan dibayangin. Nanti kamu bisa gila sendiri. Istrimu itu nggak akan pernah
Tentu saja aku panik, namun aku harus bersikap normal untuk menutupi yang baru saja terjadi.“Jangan berpikir yang macam-macam. Aku cuma membantu dan wajah mama yang merah itu karena dia kesakitan, bukan karena aku menyentuhnya,” kataku dengan nada tajam dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah benteng terakhirku.Amanda menatapku lama. Ada sorot yang sulit kutebak—antara ragu dan ingin percaya. Aku pun kembali merebahkan badan, kali ini benar-benar berpura-pura hendak tidur.Hening menyelimuti kamar untuk beberapa saat. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.“Aku nggak janji bisa menahan diri,” suara Amanda pecah di keheningan, lirih tapi jelas menusuk. “Kalau aku sampai melakukannya diam-diam… aku tahu itu jauh lebih salah. Tapi aku nggak bisa bohong soal apa yang aku mau, Rey.”Aku membuka mata. Bayangan punggung Amanda yang menatap ke arah pintu membuatku ingin bangkit.“Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara lebih rendah.“Tentang keinginanku itu.” Amanda menjawab dengan suar
Aku semakin dekat. Napas ibu mertuaku terdengar berat—teratur tapi ada getaran aneh, seperti menahan sesuatu. Dari jarak ini, aroma parfum lembutnya bercampur dengan hangat tubuhnya. Bau itu seperti masuk lewat hidung lalu mengusir semua logika yang tersisa di kepalaku.Tatapan Lydia tak berpaling, menempel pada mataku seakan ingin menembus isi pikiranku.“Mama…” suaraku serak, separuh ingin bertanya, separuh takut mendengar jawabannya.“Diam saja…” bisiknya, pelan tapi tegas.Tangannya meraih dadaku, jemarinya bergerak lambat menelusuri garis otot di balik kaus tipis yang kupakai. Sentuhan itu ringan, lembut… tapi cukup untuk membuatku kehilangan fokus, dan… kehilangan akal sehat.Aku menelan ludah. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang: satu langkah maju bisa menghancurkan segalanya, tapi entah kenapa kakiku justru ingin melangkah.Dia mencondongkan tubuh. Napasnya terasa di pipiku, lalu di leherku. Semakin dekat… hanya satu gerakan kecil lagi dan bibirnya akan menyentuh kulitku.“
Untuk beberapa detik, aku hanya berdiri diam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada apapun yang Amanda ucapkan malam ini. Langkahnya terdengar pelan namun mantap, setiap hentakan tumitnya seperti membawa pesan yang tak diucapkan. Tatapannya seperti biasa—menusuk, dingin, seolah bisa menembus lapisan terdalam diriku. “Gaji kamu sebagai room service di hotel itu kecil sekali, Rey,” ucapnya, suaranya datar tapi menusuk seperti pisau tipis yang sudah lama diasah. “aku malu punya menantu miskin. Tidak bisa dibanggakan.” Aku hanya diam. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar ucapan serupa. Lidahku seakan kelu, bukan karena takut, tapi karena lelah. Kata-kata seperti ini sudah seperti hujan di musim penghujan—datang setiap hari, tanpa diminta. Aku menghela napas panjang seraya berkata dalam hati, “Ya, aku tahu aku bukan menantu idamanmu. Tapi, apa semua orang harus diukur dari isi dompetnya?” Ia berbalik, hendak kembali ke kamarnya. Namun tiba-tiba langkahnya goyah. Ada suara k
Namun aku sadar, dia mertuaku. Nafasku tercekat dan buru-buru kututup pintu kamar mandi sebelum Lydia menyadari keberadaanku. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin muncul di pelipis. Apa yang barusan kulihat… tidak seharusnya kulihat. Aku mundur beberapa langkah, lalu cepat-cepat keluar dari kamar. Aku menjatuhkan diri di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku, padahal layar hanya menampilkan halaman kosong. Jemariku bergetar. Aku masih bisa membayangkan lekuk tubuh Lydia—dan itu membuatku semakin merasa berdosa. Tak lama, pintu kamarku terbuka. Aku buru-buru merapikan posisi duduk, menahan wajahku agar tetap terlihat tenang. “Kamu sudah pulang?” suara Lydia terdengar. Aku berpura-pura terkejut, menoleh ke arahnya. “Eh, iya, Ma. Baru aja sampai.” Dia berdiri di sana, rambutnya masih sedikit basah, wajahnya dingin seperti biasa. Dia menunjuk ke lantai dua, ke arah kamarku. “Tadi Mama pinjam kamar mandinya. Di kamar Mama, showernya rusak.” Aku cepat
Keesokan harinya, aku duduk di ruang istirahat belakang resepsionis hotel tempatku bekerja. Kursi kayu keras yang biasanya hanya jadi tempat singgah sebentar, kini terasa seperti jerat yang menahanku. Pikiranku masih melayang ke kejadian tadi malam. Amanda. Video itu. Dan pengakuannya—keinginan gila yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang wanita yang aku cinta. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasanya perutku mual memikirkan ulang. Bagaimana mungkin Amanda, istriku sendiri, bisa meminta hal semacam itu? Satu laki-laki, dua perempuan. Bertiga di ranjang. Apa dia sudah gila? Atau akukah yang sebenarnya ketinggalan zaman? “Rey!” Suara keras memotong lamunanku. Aku terlonjak kecil dan buru-buru menoleh. Haris berdiri di pintu ruang istirahat, wajahnya setengah heran, setengah kesal. “Kamu kenapa bengong aja?” tanyanya sambil melangkah masuk. “Eh, nggak. Ini… lagi banyak pikiran aja,” jawabku cepat, mencoba menata wajah agar tidak terlalu kelihatan kaca